To Be Your Mistress
“Ayahmu sudah pergi meninggalkanmu. Wanita yang kamu sebut Ibu hanyalah manusia tak tahu malu yang bahkan tak ingin melahirkanmu. Kamu itu tidak diinginkan!”
Omelan penuh teriakan emosi memang sering Olivia dapatkan, tapi kali ini sungguh membuatnya sedih dengan hatinya seperti baru saja disayat.
Kedua bibir gadis itu bergetar, ia menatap lurus ke wajah memerah bibinya dengan kedua mata berlinang.
“Apa maksudnya, Bi? Ibu sudah lama meninggal dunia saat melahirkanku," tanyanya.
Sarah, wanita berusia 41 tahun itu berkacak pinggang dan mendesah panjang. “Bukan meninggal dunia, tapi sengaja meninggalkanmu!”
Olivia tahu dirinya telah melakukan kesalahan dengan tidak membantu urusan restoran lantaran sakit menstruasi yang dialaminya sangat parah hari ini.
Ia pun tahu betul bahwa bibinya memang terbiasa mendapatkan semua yang ia inginkan dan akan meledak penuh amarah saat itu tak terpenuhi. Namun, dirinya merasa tidak bisa menerima amarah itu begitu saja.
Kedua mata Olivia memanas, bisa ia rasakan dirinya berkaca-kaca saat ini. Meski bergetar, ia mencoba mengeluarkan suaranya. “Bibi tidak boleh mengatakan kebohongan seperti ini hanya karena aku bolos untuk istirahat sebentar... “ Ia kehilangan suaranya beberapa saat. “Ini keterlaluan, Bi. Jangan begini lagi.”
Sarah mendongak dan membuang napas dengan kasar. “Wah, sulit dipercaya anak ini! Kamu dengar ya—“
“Sayang, sudah, tenanglah.”
Ketika kejadian ini hampir tidak dapat dikendalikan, Buditomo datang dan memeluk tubuh Sarah, membawanya menjauh dari Olivia.
Seakan ada tali besar yang mengikat dadanya, Olivia kesulitan bernapas. Kedua matanya mengikuti gerak kedua pasangan suami istri itu.
“Om Budi, aku minta maaf sudah tidak membantu hari ini. Aku janji tidak akan melakukannya lagi. Sekarang mohon izinkan aku kembali ke kam—“
“Dasar anak buangan! Tak tau diri! Kembali sana ke orang tua tak becusmu itu!” Meski Buditomo selalu menenangkannya, Sarah kembali kehilangan kontrol diri. “Tanya sama ayah tercintamu itu dan rasakanlah semua kebohongan yang telah dia katakan seumur hidupmu.”
Setelah kalimat terakhir yang dilontarkan Sarah, Olivia berlari ke arah belakang di mana kamarnya berada. Dadanya bergemuruh dan air matanya turun dengan deras, ia mengunci pintu kamarnya dan terduduk di lantai bersandar pada bongkahan kayu itu.
Entah bagian tubuh mana yang tidak terasa sakit, karena baginya sakit itu telah menjalar ke sekujur tubuh.
Hidup menumpang memang tidak mudah, merelakan setiap keinginan pribadinya apalagi. Namun, selama lebih dari separuh usianya, ia telah melakukan itu untuk bertahan.
Usia yang baru menginjak delapan belas tahun dan menstruasi pertama yang baru ia dapatkan selama hidupnya, sudah cukup menjelaskan betapa melelahkan hidup yang ia jalani, baik secara fisik maupun psikis.
Tidak setiap orang mendapatkan keberuntungan di hidup, Olivia paham betul dan ia sudah ikhlas dengan fakta ini, tapi rupanya ikhlas saja masih tidak cukup.
Satu-satunya hal manis di hidupnya adalah sang ayah, yang meski berada jauh darinya, tapi tidak sekali pun membiarkannya merasa kekurangan kasih sayang dan perhatian.
Aditomo–ayahnya tengah berada di Inggris. Ia bekerja demi menghidupi mereka berdua. Dua kali di setiap minggunya, secara rutin mereka selalu bertukar kabar dengan menelepon bahkan juga panggilan video. Tidak heran mengapa perkataan bibinya terdengar sulit dipercaya. Seakan tidak cukup, bibi yang selalu memperlakukannya tidak adil itu pun ingin menghancurkan satu-satunya harapan hidupnya.
“Astaga, sudah, Olivia," bisiknya pada diri sendiri.
Akhirnya Olivia mengatur emosinya, dadanya sudah terlalu bergemuruh hingga mulai terasa sesak, ia tak ingin keadaan fisiknya memburuk lebih daripada sebelumnya.
Perlahan, ia bangkit dari lantai dan mulai menyeka air matanya. Ia berjalan dan duduk di ujung ranjangnya, lalu terdengar suara ketukan pintu disusul suara Buditomo memanggilnya pelan.
Olivia menggigit bibirnya beberapa kali sebelum membuka pintu kamar. Ia membuka lebar pintu dan membiarkannya terbuka. Buditomo pun masuk dan dirinya tidak pernah menyangka hal yang akan dikatakan pria itu terdengar sama seperti perkataan bibinya.
“Dengan penuh pertimbangan, sungguh berat hati Om mengatakan ini padamu. Olivia, yang dikatakan bibimu tadi tidak sepenuhnya salah. Kakakku–ayahmu berada di London bertahun-tahun ini demi bersama dengan ibumu. Dan benar bahwa ibumu itu tidak menginginkanmu, bahkan sejak tahu dirinya hamil, ia mengancam untuk tidak akan melahirkanmu.”
Semua kosa kata yang ia tahu, semua kemampuan tubuh yang sehat, dan semua hak yang ia punya untuk mengamuk, tapi Olivia hanya mematung.
Perkataan yang keluar dari adik ayahnya, satu-satunya kerabat yang baik padanya dan tidak pernah terlintas sedikit pun di benaknya bahwa pria itu seorang pembohong, mengantarkan Olivia menjadi hancur berkeping-keping.
Kini tidak hanya mengunci diri di kamar, Olivia pun masih mengunci rapat kedua bibirnya.
Hingga saat hari sudah berganti, pada dini hari, ia meraih ponselnya dan menelepon sang ayah.
“Anak Gadis Ayah! Apa kabar, sayang?”
Tiba-tiba Olivia menelan ludahnya dengan susah payah. Semua udara yang masuk ke tenggorokannya terasa panas, ia merasa sangat tidak nyaman untuk sekedar bersuara.
“Olivia? Nak, kamu mendengarkan?”
Pikiran Olivia pun mengembara entah ke mana, membuat panggilan lembut dari sang ayah seakan lewat begitu saja di telinganya.
“Olivia, kamu baik-baik saja? Ayah mulai khawatir, Nak. Olivia... “
“Iya, Ayah, aku di sini.”
“Nak, Ayah sudah khawatir. Ayah kira kamu kenapa tadi.”
“Ayah, aku ingin menanyakan sesuatu. Aku mohon... jawablah jujur.”
“Tanya saja, Nak.”
“Ayah, bagaimana kabar Ibu?”
Terdapat sedikit jeda di antara pertanyaan Olivia dengan jawaban Aditomo. Namun, pria itu berhasil menanganinya dengan baik.
“Ibumu sudah tenang di sana, Nak. Ada apa? Kamu merindukan ibumu, ya?”
“Ayah, aku memintamu untuk jujur. Jadi, aku mohon jangan berbohong.”
“Nak, kita berdua tahu ibumu sudah meninggal—“
“Iya, dia meninggalkanku. Bukan karena meninggal dunia, tapi dia memilih untuk meninggalkanku dan membuangku.”
“Olivia, tidak begitu, kamu mendengar ini dari mana, Nak?”
“Om Budi yang bilang. Dan kita sama-sama tahu, bukan kepribadiannya untuk berbohong. Jadi, biar aku tanya sekali lagi. Apa kabar Ibu, Ayah?”
“Ibumu sudah meninggal, Nak.”
“Sudah cukup Ayah menyembunyikannya seumur hidupku. Aku... “ Jeda yang tercipta karena cekikan tak kasat mata yang terasa di lehernya. Olivia butuh beberapa waktu sebelum kembali melanjutkan. “Siapa yang bisa aku percayai lagi kalau ternyata Ayah juga tidak benar-benar ada di pihakku?”
Jeda itu bukan saja oleh Olivia, namun Aditomo pun membutuhkan beberapa saat untuk menjawab pertanyaan sang putri. Dari pengeras suara ponselnya, yang hanya terdengar adalah deru mesin pendingin ruangan. Suara yang lembut itu sekarang terdengar jauh lebih keras dibanding keheningan dan ketidakmampuan Aditomo menjawab pertanyaannya.
“Ayah percaya yang dibicarakan Ommu itu tidak berlebihan, itu benar. Tapi, tidak semuanya benar. Ibumu menghembuskan napas terakhirnya enam tahun lalu. Kini Ayah benar-benar di sini cuma untuk bekerja demi kamu.”
“Aku mau menyusul Ayah. Aku harus lihat sendiri makam wanita yang tidak menginginkanku itu, supaya bisa percaya dengan perkataan Ayah.”
“Baiklah, Nak... “
♧♧♧
Jalan setapak yang baru mereka lewati, semilir angin, dan cahaya matahari yang mengintip dari balik tebalnya awan abu-abu, Olivia yakin ia akan mengingat semua ini hingga hari kematiannya.
Bagaimana batu nisan yang bertuliskan nama ibunya, penjelasan langsung dari sang ayah, alasan dan pembenaran yang memang harus dilakukan. Semua itu dilakukan demi kebaikan dirinya.
Ibunya memang tidak menginginkannya pada awalnya, namun melakukan kebaikan setelah belajar dari keburukan bukanlah suatu hal keji, setidaknya ibunya melakukan itu.
Hal yang terjadi adalah Daphne Joceline Rhode–ibunya ialah seorang model pendatang baru yang sangat cantik dan penuh potensi. Di saat awal merintis karir, ia jatuh cinta dengan sangat dalamnya kepada Aditomo hingga memutuskan menikah, walaupun hanya pemberkatan tanpa satu pun pesta perayaan, tapi mereka sangat bahagia kala itu.
Kebahagiaan itu rupanya hanya sementara karena saat manajer Daphne mengetahui bahwa mereka telah menikah, semuanya menjadi runyam. Ketakutan yang ditanamkan sang manajer akan karier modelnya yang terancam gagal mulai mempengaruhinya.
Hingga itu semua memuncak saat Daphne menemukan dirinya memegang alat pengecek kehamilan dan dua garis di sana menjadi mimpi buruk paling menakutkan baginya.
Semua hasil kerja keras manajernya dalam menakut-nakuti Daphne berhasil membuat wanita itu bersikeras tidak akan melahirkan bayinya.
Aditomo mencoba semua cara untuk mengubah pemikiran sang istri, namun ketakutan akan gemilang karier yang hampir didapatkan bisa hilang begitu saja membuat Daphne tetap tak tergoyahkan.
Akhirnya dengan satu perjanjian terakhir, semua mendapatkan keuntungan bagi setiap pihak, yakni Daphne hanya perlu melahirkan bayinya saja dan setelah itu Aditomo akan menghilang bersama buah hati mereka tanpa mengganggunya lagi. Semua pun terjadi sesuai rencana, bahkan seakan tak pernah terjadi sama sekali.
Namun, beberapa tahun sejak mereka berpisah, karier Daphne tidak kunjung membaik. Ini membuat manajernya mengambil jalan pintas dengan menjodohkannya dengan seorang fotografer majalah populer demi kelancaran karier.
Semua berjalan lancar, kepopuleran itu meski tidak begitu besar, tapi berhasil diraih Daphne. Namun, rupanya harga yang harus dibayar adalah hidupnya.
Saat dokter mengatakan bahwa ia mengidap HIV diakibatkan kekasihnya yang diam-diam sering melakukan hubungan seksual dengan banyak model pemotretan dengan bualan akan membantu mereka dalam kesuksesan, seketika itu dunia Daphne jadi hancur berantakan.
Bukan masalah waktu hingga ia ditinggalkan oleh setiap orang yang ia kira akan mendukungnya di segala keadaan, ia hanya menemukan dirinya terbaring lemah di atas ranjang di tengah hunian kosong. Setiap orang kecuali Aditomo.
Semua yang telah terjadi, tetap terjadi. Olivia tahu itu. Maka, ia pun memaafkan perlakuan ibunya. Lalu dengan keyakinan kuatnya, ia pun meminta sebuah permintaan yang cukup berat untuk dipenuhi oleh Aditomo.
“Aku ingin tinggal di sini bersama Ayah.”
Begitulah, meski berulang kali kesusahan mengumpulkan keberanian untuk membujuk atasannya, akhirnya Aditomo diperbolehkan membawa Olivia tinggal bersama di kediaman besar nan mewah milik keluarga yang dilayaninya.
Kesetiaan dan kedisiplinan dirinya selama menjadi supir pribadi hampir sepuluh tahun ini membuat permintaan Aditomo disanggupi dengan senang hati.
Kehadiran Olivia dan cerita di balik kehidupan gadis itu membuatnya mudah diterima oleh seluruh staf dan penghuni kastel kadipaten. Ia bahkan memiliki julukan yang terkenal, yaitu gadis lusuh yang begitu cantik.
Semua orang akan setuju begitu mendengar julukan itu. Tak terkecuali oleh sang pewaris satu-satunya gelar kebangsawanan sekaligus semua kekayaan besar ini.
The Duke of Ainsworth, Simon Dominic-Ainsworth saat dari jauh ia melihat seorang gadis berkeliaran di kediamannya, sepasang kakinya yang semula berjalan cepat pun terhenti. Melihat ke belakang, ia bertanya pada sekretarisnya.
"Siapa gadis itu?"
...♧♧♧...
^^^** the picture belongs to the rightful owner, i do not own it except for the editing^^^
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 39 Episodes
Comments
范妮·廉姆
bunga untuk author BS semangat
2024-07-29
1
agnesia brigerton
Lusuh asal cantik mah gak papa banget 😌😌
2024-06-27
0
agnesia brigerton
Bowleeh
2024-06-27
0