Penyelamatan yang dilakukan Luna pada seorang Kakek membawanya menjadi istri dari seorang Danzel, CEO dingin yang tak memepercayai sebuah ikatan cinta. Luna yang hidup dengan penuh cinta, dipertemukan dengan Danzel yang tidak percaya dengan cinta. Banyak penolakan yang Danzel lakukan, membuat Luna sedikit terluka. Namun, apakah Luna akan menyerah? Atau, malah Danzel yang akan menyerah dan mengakui jika dia mencintai Luna?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aquilaliza, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Perlahan Berubah
Hari demi hari terus berganti. Luna tidak henti-hentinya memberi banyak perhatian pada Danzel. Meski sering ditolak Danzel, Luna tetap berusaha menjadi seorang istri yang baik dan selalu peduli pada suaminya. Usaha Luna perlahan mulai membuahkan hasil. Akhir-akhir ini, Danzel sedikit lebih penurut dari biasanya.
Walaupun sering menolak segala bentuk perhatian Luna, tapi tidak setegas dulu. Jika dulu Luna harus mengancam dengan menggunakan nama kakek Berto, sekarang Luna cukup memaksanya dua sampai tiga kali, tanpa harus menggunakan nama kakek Berto.
Seperti saat ini. Luna sudah memegang sebuah kemeja yang dipilihnya untuk Danzel kenakan ke kantor. Dia hendak membantu Danzel mengenakannya. Tapi, laki-laki itu menolak.
"Aku bisa memakainya sendiri," ucap Danzel dengan wajah dinginnya.
"Danzel, biarkan aku yang memakaikan untuk mu."
"Tidak!"
"Kenapa tidak? Ini kewajibanku membantumu. Sekarang menunduk sedikit. Kau terlalu tinggi." Tanpa membantah sedikitpun, Danzel mengikuti ucapan Luna.
Wajah Luna seketika tersenyum. Danzel yang mulai menerima semua perhatiannya itu, membuat perasaannya senang tak terkira. Danzel kembali menegakkan tubuhnya setelah Luna selesai memakaikan baju tersebut.
Luna berbalik mengambil dasi. Semua gerak gerik Luna tak terlepas dari tatapan Danzel. Sejak beberapa hari terakhir ini, dia suka sekali memperhatikan Luna.
Danzel segera mengalihkan tatapannya ke arah lain ketika Luna berbalik ke arahnya. Wajahnya tenang, seolah tidak terjadi apa-apa.
"Menunduk sedikit," perintah Luna hendak memakaikan dasi untuk Danzel.
Laki-laki itu berdecak pelan, tapi tetap menuruti ucapan Luna. Ketika Luna sedang serius memakaikan dasi untuknya, Danzel kembali memperhatikan Luna.
Kenapa sekarang aku suka sekali menatap gadis ini? Apa aku mulai menyukainya? Tidak. Aku tidak mungkin menyukainya. Batin Danzel.
"Nah, sudah selesai. Sekarang, pakai jasmu, setelah itu turun sarapan. Aku mau bersiap-siap dulu."
Tak banyak berkata, Danzel meraih jasnya dari tangan Luna, kemudian berjalan keluar. Hari ini jadwalnya cukup padat. Dia harus ke kantor lebih cepat dari biasanya.
Setelah Danzel keluar, Luna segera bersiap-siap untuk berangkat ke kantornya. Tidak banyak yang harus ia lakukan. Hanya memakai riasan tipis dan menyisir rambutnya. Setelah itu, dia segera menuju ruang makan untuk sarapan.
Sementara itu, di ruang makan, Danzel duduk diam di kursi meja makan. Tidak sedikitpun dari sarapan yang terhidang ia sentuh. Bibi Marry dan Bibi Berna sampai heran melihat tuan mereka. Tidak biasanya Danzel menunda sarapannya. Meski dalam keadaan sibuk apapun, jika sudah waktunya sarapan, dia akan sarapan. Begitu juga dengan waktu makan siang dan makan malam.
Danzel menunduk, menatap jam yang melingkar di pergelangan tangannya. Setelah itu, dia kembali mengangkat wajahnya, menoleh ke arah pintu masuk ruang makan.
Kenapa Luna lama sekali? Bukankah dia sudah mandi dan berpakaian? Apa dia mengulangi mandinya? Jika begitu, aku bisa terlambat ke kantor. Batin Danzel.
Tak lama kemudian, terdengar suara Luna yang bernanyi pelan memasuki ruang makan. Dengan cepat Danzel mengeluarkan handphonenya dan mulai memainkannya.
Bibi Marry dan Bibi Berna yang sejak tadi memperhatikannya pun mulai paham sekarang. Danzel sengaja belum sarapan hanya karena menunggu Luna. Dua wanita itu tersenyum tipis. Mereka yakin, Luna pasti mampu meluluhkan hati Danzel yang keras.
"Kau belum sarapan?" tanya Luna, duduk di sebelah Danzel.
"Belum," jawab Danzel dingin. Dia mengetikkan pesan untuk sekretaris Beni agar sedikit memundurkan jadwal rapatnya pagi ini dan menjemputnya 10 menit lagi. Alhasil, sekretaris Beni yang sudah berada di depan gerbang rumah pun berbalik arah. Laki-laki itu memilih memarkirkan mobilnya 50 meter dari rumah Danzel. Sepuluh menit lagi, dia baru menjemput tuannya itu.
Luna yang melihat Danzel sibuk mengetikkan sesuatu di layar handphone pun menarik nafasnya. Dia yakin, pasti suaminya itu sangat sibuk. Tidak biasanya Danzel menunda waktu makannya.
Luna meraih piring Danzel dan mengisinya dengan menu sarapan. Setelah itu, dia menyendokkan sarapan tersebut dan membawanya ke mulut Danzel.
"Aaa... Ayo makan. Aku akan menyuapimu," ucap Luna yang langsung membuat Danzel mendongak menatapnya.
Laki-laki itu tak menjawab. Ia meletakkan handphonenya kemudian meraih sarapan tersebut dari Luna. "Aku bisa sendiri!" jawab Danzel dingin.
Bibi Marry dan Bibi Berna yang melihat pun ingin menyemburkan tawa mereka. Tingkah sang tuan membuat mereka merasa Lucu. Berbeda dengan kedua artnya, Luna mendengus pelan dan memanyunkan bibinya. Gadis itu meraih sarapannya dan melahapnya.
Dan tanpa Luna sadari, Danzel meliriknya beberapa kali dan tersenyum tipis. Jujur, Luna yang memanyunkan bibirnya terlihat lucu di mata Danzel.
***
Luna duduk diam di ruang tamu sambil membalas pesan dari sahabatnya, Selly dan Ivan, di sebuah grup chat yang hanya beranggota mereka bertiga. Selly yang membentuk grup tersebut. Katanya, jika tidak ada waktu bergosip di kantor, mereka masih bisa bergosip di rumah.
"Nyonya, ini sudah waktunya kami kembali," ucap Bibi Berna, memberitahu Luna mengenai waktu kerja mereka yang telah selesai. Di sebelahnya ada Bibi Marry yang berdiri diam menatap Luna.
"Kalian pulanglah, istirahat."
"Baik, Nyonya," ucap kedua wanita itu serentak.
Luna mengangguk. Setelah kedua wanita itu pergi, Luna membaringkan tubuhnya di sofa. Sebenarnya, dia baru saja pulang dari kantornya. Pekerjaannya sangat banyak hari ini, membuat dia harus melewatkan jam pulangnya.
Meskipun dia lelah, dia tetap ingin menunggu Danzel yang masih belum kembali juga. Selama pernikahan mereka yang sudah berjalan beberapa bulan ini, Danzel sangat jarang pulang tepat waktu. Dia selalu kembali saat tengah malam.
Karena kelelahan, Luna tanpa sadar tertidur di sofa. Bunyi notifikasi di handphonenya tak mampu mengusik tidurnya. Dia begitu terlelap.
Dan sekitar 2 jam dari Luna tertidur, Danzel tiba. Dia yang hendak menuju ke arah tangga langsung berbelok menghampiri Luna. Meletakkan tas kerjanya di atas meja, kemudian berjongkok tepat di depan Luna yang tertidur.
Danzel menarik sudut bibirnya membentuk senyum tipis. "Selalu seperti ini," gumamnya, kemudian langsung menggendong Luna menuju kamar.
Danzel membaringkan Luna dengan pelan. Seandainya Luna tidak sedang tertidur, sudah pasti gadis itu akan sangat bahagia dan mengatakan, "Jantungku berdetak cepat, dan aku tidak bisa bernafas dengan baik".
Setelah menyelimuti Luna, Danzel kembali keluar dari kamar untuk mengambil tasnya. Setelah itu, dia kembali ke kamar dan langsung menuju walk in closet untuk mengganti pakaiannya. Beruntung dia sudah membersihkan dirinya di ruang istirahat di kantornya tadi. Selesai mengganti pakaian, Danzel kembali ke kamar dan duduk di sofa, bersandar sembari menatap Luna yang terlelap.
Danzel tak mengalihkan pandangannya sedetik pun. Cukup lama dia menatap Luna, hingga pergerakan dan erangan kecil Luna membuatnya dengan cepat mengalihkan tatapannya. Dengan cepat Danzel meraih IPadnya, dan berpura-pura membaca sesuatu.
"Emh... Aku... Kenapa ada di kamar?" ucap Luna dengan suara seraknya yang cukup pelan, namun masih bisa didengar Danzel.
Luna beranjak bangun dan duduk. Matanya langsung menangkap sosok Danzel yang duduk di sofa.
"Emh... Danzel, kau sudah pulang?" tanya Luna. Danzel meliriknya sekilas, kemudian kembali fokus pada layar IPad. Baginya, pertanyaan Luna tak perlu dia jawab. Pertanyaan diabaikan sudah biasa bagi Luna. Meski begitu, terkadang dia merasa kesal.
"Aku masih ingat dengan jelas. Aku menunggumu di ruang tamu, dan tertidur disana. Kenapa bisa aku di kamar sekarang?"
"Aku datang, dan kau sudah di kamar."
"Ini aneh. Aku sangat yakin, aku di ruang tamu tadi. bibi Marry dan bibi Berna juga melihatnya."
"Kau mungkin mengigau dan berjalan ke kamar tanpa sadar," ucap Danzel yang seketika membuat Luna terdiam. Dalam pikirannya, dia cukup setuju dengan ucapan pria itu.
Setelah terdiam beberapa saat, Luna kembali menatap Danzel. "Apa kau sudah makan?"
"Hmm."
Luna membuang nafasnya kasar. Dia tidak suka Danzel menjawabnya dengan deheman. Luna menyibak selimutnya kemudian mendekati Danzel.
"Ayo, tidur! Di rumah waktunya istirahat, bukan bekerja," ucap Luna. Ia memegang tangan kekar Danzel yang memegang IPad.
"Aku belum mengantuk."
"Danzel, ayo tidur. Aku sudah sangat mengantuk," ucap Luna tak peduli dengan penolakan Danzel. Dan tak dia sangka, Danzel mematikan IPadnya dan berdiri. Luna tak membuang kesempatan. Gadis itu menarik tangan Danzel menuju ranjang. Dia semakin senang saat Danzel berbaring tanpa membantah.
Luna tersenyum kemudian ikut berbaring. "Aku senang kau seperti ini."
"Aku sedang malas berdebat," jawab Danzel dingin. Laki-laki itu mulai memejamkan matanya, namun tidak tertidur.
"Danzel, aku—"
"Diamlah Luna, aku lelah!"
"Kau lelah? Sini, biar ku pijat," ucap Luna antusias. Gadis itu mendekat dan menyentuh lengan Danzel, hendak memijat. Namun, Danzel dengan cepat menepisnya dan menatapnya tajam.
"Kenapa? Kau bilang lelah, jadi biarkan aku memijatmu."
"Lelah bukan berarti kau harus memijat!" sahut Danzel dingin.
"Aku hanya ingin membantumu."
"Tidak perlu! Aku hanya ingin tidur."
Luna mendengus pelan kemudian menjauhkan tubuhnya dari Danzel. Dia berbaring membelakangi suaminya itu.
"Aku hanya ingin tidur. Cih! Kalau ingin tidur, pulang langsung tidur. Bukan malah kerja lagi," ucap Luna pelan.
Dan tanpa Luna tahu, Danzel tersenyum mendengar gumamannya.