"Assalamualaikum, ini pak Ahmad. Bapak, anak anda sedang tidak baik-baik saja. Bila anda mau bertemu langsung, dengan anak anda... Serahkan kepada saya 1M secepatnya, jangan banyak alasan. Ketemu di depan gedung Serbaguna"
"Apa! Apa maksud mu! Siapa kau!! "
....
Ahmad Friko, pengusaha sukses setelah ia mengadopsi anak panti asuhan, yang diberi nama Rara, pak Ahmad bekerja dengan serius sampai terkadang lupa dengan kewajibannya untuk mengurus anak. Hingga saat ia bangkrut, ia mendapat pesan dari seseorang bahwa anaknya sedang di sekap, ditawan dan dimintai uang satu milliar, yang jumlahnya tak biasa. Apa yang akan dilakukan Ahmad setelah ini?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bu Alisa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 9-Putriku, ditawan preman 1 milliar
Sudah kuduga, Ahmad jahat sekali wak!
Kesel...
Selamat membaca ya kawan-kawan semua, kasih jejak pliseuu...
Σ(゜゜)
Winda masuk ke dalam rumah, suasana begitu senyap saat anaknya pergi begitu saja memberikan tatapan cuek, meninggalkan kesan anak tiri berhadapan dengan ibu tiri. Winda menghela nafas resah, mengambil sapu rumah akan membersihkan rumah karena keadaan rumah sangat kotor, banyak tisu berceceran, "Huh... Memang beginilah lika-liku menjadi seorang istri. Jadi babu terus! " seru Winda menyapu sisi-sisi rumah, lalu membersihkan meja dan sofa dengan kanebo.
"Oh ya, es buah nya! Ya allah, bisanya gue lupa. "
"Ck, ck, "
Winda lupa dengan plastik es buah yang diberi tetangganya, tadi ada sisa acara nikahan lalu Winda ikut di kasih, padahal cuma jalan-jalan, gosip sedikit, ikut dikasih gak ikut rewang-rewang, Winda dapat rejeki. Hemm...
Wanita itu membuang sampah di dalam cikrak ke tong sampah masyarakat kota yang sudah di sediakan pemerintah, jadi tinggal menunggu truk hijau mengangkut sampah rumah tangga setiap lingkungan komplek. Winda berjalan ke meja dapur, tangan wanita itu mengambil sendok dan garpu. Lalu menuangkan es buah ke dalam mangkok sampai titik penghabisan tetesan terakhir, bahkan Winda tak membiarkan setetes air mubazir di meja.
Jadi dia langsung mengambil tetesan itu dengan jemarinya lalu di emut. Tipikal orang-orang yang tak mau rugi, saat enak-enak menonton televisi Kiya berjalan keluar. Akhirnya anak itu keluar juga dari kamar, setiap hari Kiya marah pada mama nya sendiri dan mengurung diri di kamar. Mungkin Winda terlalu berlebihan, "Mau? "
Tawar Winda, menunjukan sesendok buah semangka dan campuran lain ke arah anaknya yang hanya ditatap saja. Kiya menggeleng, berjalan melewati Winda dan membuka kulkas. "Cari apa sih kamu Kiya? "
"Gak ada makanan, suruh ayah kamu tuh nanti malam bawain makanan buat kamu... " ucap Winda, padahal bukan Kiya yang mau cuma Winda saja yang pengen martabak atau terang bulan yang sering suaminya bawakan. Kiya menggeleng menutup pintu kulkas kembali, duduk di depan meja tetapi tetap menjaga jarak pada mamanya. "Masih marah sama mama? "
"Maaf deh, ya.. Ya... Mama salah, nih kalo lapar atau haus minta aja gak papa... " ucap mama Winda menyodorkan mangkok es buah pada anaknya, yang terus mengalihkan wajah ke samping. Tak berniat di ajak bicara, Winda sedikit geger dengan sikap anaknya yang membuat Winda bingung sendiri.
"Kalau gak mau gak usah gak apa! Biar mama aja yang makan, "
Ucap Winda, perkataan nya yang sedikit kasar berbeda dengan pikiran wanita itu. Berharap anaknya melihat dirinya, dan meminta maaf atau merasa menginginkan apa yang Winda makan sekarang. Bahkan Winda menggoda dengan es batu yang sengaja di remas dalam gigi. "Em.. Seger... "
"Mama jahat! "
"Apa? "
Winda sedikit melotot, Tiba-tiba anaknya bicara seperti itu. Apa salah Winda? Anaknya menganggap ia salah, memang betul kan dia menjaga anaknya agar tetap sehat? Tapi cara Winda salah, wanita itu tak tahu bagaimana perasaan anaknya sebenarnya. Kiya sedikit memukul meja makan, "Pokoknya mama yang paling jahat sedunia! "
"Mama gak tahu bagaimana perasaan Rara! Rara teman aku, tapi mama... Mama selalu melarang ku bermain sama Rara. "
"Memang apa salahnya, Kiya? " tanya Winda terheran-heran, gemas sendiri. Tak ada yang salah, tapi seharusnya otak wanita ini yang harus di teliti sekarang. Kiya meremas tangannya erat-erat, "Rara... Rara gak masuk, beberapa hari ini... Aku khawatir, " ucap Kiya tiba-tiba terbuka padanya, padahal beberapa hari yang lalu tak se terbuka ini atau dua kata saja yang diucapkan. Winda mengendik bahu masa bodoh, "Hm, terus urusan sama mama apa? Ya udah sih kalau dia gak masuk, seharusnya kamu bersyukur Kiya, kalau gak ada dia kamu gak terkontaminasi sama kenakalan Rara. Itu lebih baik bagi mama, " ucap Winda egois, menyendokkan buah bersama kuahnya ke dalam mulut cepat.
Kiya menoleh tajam, seolah anak itu memiliki pemikiran terbuka daripada mamanya yang seperti anak kecil. "Bagi mama seseru itu ya? "
"Rara itu anak kecil seperti Kiya, Kiya juga anak mama. Coba mama bayangkan, kalau Kiya itu ada pada posisi Rara, lalu Rara yang ada di posisi Kiya, apa mama bisa membayangkan bagaimana sakit hatinya Kiya saat mendengar mama Rara berbicara begitu pada Kiya? "
"Sakit hati ma, Kiya sakit hati teman ku dibicarakan jelek seperti itu. Cukup ma! " seru Kiya sedikit emosi, tubuhnya berdiri dengan postur pendeknya, Winda melebarkan mata, terdiam sesaat. Mulai masuk ke dalam pemikiran anaknya yang diluar nalar, Kiya jadi Rara, Rara jadi Kiya?! Apa-apaan itu?!
"Gak ada, gak ada kamu jadi dia. Atau dia jadi kamu Kiya! "
"Pikirkan saja keluarga kita dulu, kenapa kamu selalu memikirkan temanmu itu hah?! Dia tidak ada di sisi mu tapi masih kamu cari"
"Kenapa??? "
Kiya menempelkan tangan di dadanya, "Karena Rara teman Kiya, Kiya pantas dong bicara seperti ini sama mama. "
"Oh sekarang berani ya lawan mama, bicaranya makin di tinggi-tinggiin? " tatap Winda sedikit melotot, mengalihkan pembicaraan ke arah pribadi hatinya sendiri. Kiya mengangguk, berani durhaka. Apapun akan anak itu lakukan demi temannya yang sekarang abu entah dimana keberadaannya. Kiya sedih, semua orang di sini menghina Rara... Tapi Rara tak memasukkan kata-kata mereka ke dalam hati, justru Rara selalu ceria dan penuh tantangan.
Hati Kiya tergerak, tak sama seperti anak manja orang-orang kaya yang ada di luar sana. Keduanya saling bertatap-tatapan. "Iya... Kiya berani, "
"Rara masih sehati, dalam dada Kiya. "
"Walau mama bilang berdekatan dengan perempuan haram, bagi Kiya Rara sudah seperti sahabat, keluarga Kiya sendiri. "
"Kalau keluarga, bukan lagi arti haram pantas ma... "
"Mama harus mengerti... "
"Kenapa, mama selalu... Memilih kasih? "
"Sedangkan saat aku dekat dengan Sindy, mama hanya biasa-biasa saja padahal Sindy perempuan. Mama tahu kan? Kiya bukan anak kecil lagi, Kiya tahu mana kebaikan dan mana keburukan, mama selalu mengajarkan agama, tapi entah... Kiya merasa mama dengan perkataan tak pantas mama, membuat Kiya semakin terjerumus... "
"Ucap Ustadz, orang yang tidak menghargai orang lain adalah tindakan memalukan diri sendiri. Apalagi Rara juga temanku, "
"Apa mama tak malu? "
Brak! Winda memukul meja makan kaca kencang, tak terima diceramahi anaknya yang sok agamis, padahal Winda sendiri dulu adalah mantan anak pondok pesantren, tapi sekarang dia lupa akan ajaran-ajaran gurunya terdahulu. Malah sekarang, Winda lah yang mendapat ceramah instan anaknya yang dia besarkan sendiri.
"Tak sepatutnya ya kamu bicara seperti itu pada mama mu sendiri! "
"Mama juga tahu, mana yang salah dan mana yang benar! "
"Mama juga seperti ini karena kamu kok, kalau tidak percaya coba gigit mama ataupun selain itu, mama akan tetap melindungimu apapun itu. Tapi mengapa kamu selalu menganggap mama jahat! Mama kurang apa dimatamu Kiya!! "
Bentak Winda benar-benar melotot, kedua matanya memerah menyala. Kiya meneguk ludah kecil, seakan tubuh besar mama Winda di depannya bisa menampar wajah anak itu kapan saja, Kiya paling benci kalau mama nya marah karena keputusannya di tentang, dirinya ingin sang ayah segera pulang. "Ck, "
"Sial-"
"SIAL!!! " Umpat Winda sengaja di besarkan volumenya, agar anaknya mendengar dirinya bicara kasar. Winda tertawa sendiri, menggigit kuku jemarinya, menyibak rambut pendek nya ke belakang. "Kau sama saja seperti ayahmu Kiya, tak ada yang menghargai Mama. Padahal ada diriku disini, tapi mereka semua, ah... Gue salah... Semua ini gak bakal terjadi kalo dia gak menghamili ku, bang**sat! "
Kiya meneguk ludah kecil, baru pertama kali ini mamanya marah seperti ini. Di hadapan nya, Kiya mengerjap mata memegang tangan mama nya pelan. "Ma... Istighfar ma... Istighfar... "
Seru Kiya mencoba meredam amarah mama nya yang sudah merenggut hati dan wajah Winda kepalang merah tomat. Winda tak menoleh sedikitpun, menghela nafas kecil, dia baru saja menakuti anaknya itupun karena perbuatannya. Winda menggigit bibir kecil, "Dengar Kiya... "
Seru Winda berjongkok, berhadapan dengan anak itu. Di depannya kini Kiya sedikit gemetar melihat wajah mama nya untuk pertama kali. Winda menghirup nafas dalam, "Jangan lagi berpikir Rara lagi sayang, ya hm? " gumam Winda sedikit terdengar, mengelus pipi anak nya pelan lalu mencium kening Kiya lembut, dan lama.
"Maafkan mama, mama gak bermaksud marah sama kamu. Tapi, "
"Mama juga tak ingin kamu terluka, "
"Maaf ya kalau mama egois, mama tak akan melukai kamu lagi... "
"Jangan menangis, jangan takut sama mama ya... "
Kiya tak menjawab, wajah anak laki-laki itu sedikit memucat melihat perubahan mama nya yang begitu drastis. "Sanggup, atau tidak? "
"Tolong jawab pertanyaan mama, "
"Kiya, mama mohon... "
Kiya memandang mama nya lalu mengangguk kecil, terpaksa memberikan senyuman yang sekarang dapat membuat Winda ikut senang melihat anaknya. Winda pun dibuat tersenyum, memeluk Kiya cepat dan dalam dekapan erat.
Winda sedikit berbisik, sambil mengelus rambut anaknya pelan. "Kiya... "
"Maafkan mama ya, jangan membenci mama, "
'Rara pasti sudah mati, dia tak akan kembali. Sayang, jangan menghawatirkan temanmu itu lagi ya, aku yakin dia tak akan kembali lagi... '
"Jadi tak usah lagi marah sama mama, oke? "
"Maafin mama, mama tak akan menghalangi jalan mu lagi... " ucap Winda pelan mengelus rambut anak itu, setelah dilepas pelukannya. Kiya sedikit mengerjap mata, "Benar? "
"Hem, benar... "
*****
Di sepanjang jalan per komplek kan rumah, ruko sewa dan beberapa tempat makanan yang belum terbuka. Seorang siswi menenteng tas bersama kakinya yang berjalan pincang, perempuan itu tak menatap ke mana-mana tatapannya hanya ke bawah seolah mengais tanah dan mengikuti arah semut menuntunnya.
Perempuan itu berjalan hingga sampai ke arah kolong terbuka, di dalamnya ada beberapa bar liar dan rumah kosong, sebagian tidak dan itu tempat tinggalnya masih di dalam sana. Perempuan itu menoleh kesana-kemari, berjalan masuk ke dalam dengan kaki yang diseret-seret.
"Byur!! "
"Ya ampun, ya ampun! "
"Ku kira anjing dan kucing yang bertengkar. Hei nak! Apa kau tak apa?! "
Siswi itu menelan ludah pahit saat air bekas cucian di lempar ke arahnya melalui lantai atas oleh seorang tetangga, entah sengaja atau tidak dia tak peduli. Dan kembali berjalan tak menghiraukan orang itu sama sekali yang meneriaki dirinya, "Hei nak! Hei! "
"Bagaimana sih, dipanggil kok gak dijawab, aduh... Apa yang terjadi padaku, tadi jelas ku dengar ada anjing dan kucing yang sedang bertengkar, tapi saat ku siram malah seorang gadis remaja... "
"Benar-benar deh aku itu, setelah aku bertemu dengannya lagi aku minta maaf saja, "
Siswi itu berjalan dengan seragam basah kuyup. Setelah sampai ke ujung kolong gang yang berlumut dan tertutup oleh tembok besar, dia masuk ke dalam dengan membuka ganjelan kertas yang mengunci rumah. Siswi itu terdiam di ambang pintu, kaki nya yang bening bersama rok se lutut, memerah nya melihat keadaan rumah ini yang begitu kotor.
Banyak sekali botol-botol minuman keras, bahkan pengaman untuk pasangan yang akan begituan juga ada berceceran di mana-mana, remaja itu menatap jengah dengan keadaan rumahnya sendiri. Antusias nya tergerak untuk membersihkan rumah ini selagi orang itu pergi keluar, entah kemana. Dia mengusap keringat lelah, "Benar-benar merepotkan... "
Bersambung...