"Semua tergantung pada bagaimana nona memilih untuk menjalani hidup. Setiap langkah memiliki arti yang berbeda bagi setiap orang," ucapan itu terdengar menyulut hati Lily sampai ia tak kuasa menahan gejolak di dada dan berteriak tanpa aba-aba.
"Ini benar-benar sakit." Lily mengeram kesakitan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Gledekzz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ch ~
Pintu gudang terbuka dengan sedikit suara derit, meski masih dalam kondisi baik karena sering digunakan. Udara di dalam terasa pengap, dengan aroma kertas tua bercampur debu yang menyelimuti ruangan.
Ini bukan gudang yang terlupakan, melainkan tempat penyimpanan barang-barang dan dokumen perusahaan yang jarang disentuh atau dirapikan.
Rak-rak logam berjajar rapi di kedua sisi, penuh dengan kotak arsip dan peralatan kantor lama. Lampu neon di langit-langit menyala terang, tetapi tak mampu sepenuhnya menyembunyikan lapisan debu tipis yang menutupi hampir setiap permukaan.
Lantai beton yang kasar dipenuhi jejak sepatu, tanda bahwa tempat ini masih sering diakses, meski tak pernah diberi perhatian khusus untuk kebersihan.
Lily berdiri di tengah ruangan, menghela napas panjang. "Ini pasti pekerjaan yang akan menghabiskan waktu seharian," gumamnya sambil menyeka dahinya. Ia tahu tugas ini adalah bentuk hukuman dari Zhen, tapi tetap saja, melihat keadaan gudang ini membuat semangatnya langsung merosot.
Ia meraih sapu dan kain lap dari sudut ruangan, siap memulai tugasnya. Namun, baru saja ia akan menyeka meja pertama, langkah kaki yang terdengar dari koridor menarik perhatiannya.
Langkah itu terdengar tegas, hak sepatu yang beradu dengan lantai, mendekat dengan ritme yang pasti. Tak lama kemudian, pintu gudang kembali terbuka, dan sosok Daisy muncul dengan gaya khasnya, anggun dan percaya diri.
Gaun Daisy yang rapi dan sepatu berkilau terasa kontras dengan suasana gudang yang penuh debu. Aroma parfum mahalnya dengan cepat menyelimuti udara sekitar, menambah kesan bahwa ia tidak seharusnya berada di tempat seperti ini.
"Lily," sapa Daisy dengan senyuman tipis terukir di wajahnya. Suaranya terdengar ramah, tapi Lily bisa merasakan nada palsu yang tersembunyi di baliknya.
"Ada apa?" tanya Lily datar tanpa menoleh, tangannya sibuk merapikan tumpukan kertas di atas meja.
Daisy berjalan mendekat, melangkah dengan hati-hati agar tidak mengotori sepatunya. "Aku hanya ingin bicara. Ada hal penting yang harus kusampaikan."
Lily mendesah pelan, berusaha mengabaikan keberadaan Daisy. Namun, Daisy tidak menyerah.
"Aku tau aku salah," lanjut Daisy dengan nada yang terdengar menyesal. "Aku hanya khilaf saat itu. Itu benar-benar tidak disengaja."
Lily berhenti sejenak, meletakkan kain lap di meja. Ia menatap Daisy sekilas dengan pandangan dingin, lalu kembali melanjutkan pekerjaannya. "Kalau hanya untuk meminta maaf, kau tidak perlu datang ke sini. Aku tidak tertarik mendengar alasanmu."
"Aku serius, Lily!" seru Daisy, suaranya naik setengah oktaf, meski ia mencoba mempertahankan ekspresi lembutnya. "Itu hanya satu malam. Sisanya, aku dan Hugo hanya teman. Tidak ada yang lebih."
Lily tersenyum tipis, meski tanpa kehangatan. "Satu malam atau satu menit, itu tidak ada bedanya. Kesalahan tetap kesalahan."
Daisy tampak terkejut dengan jawaban itu. Ia mencoba memasang wajah sedih, bahkan membiarkan beberapa air mata mengalir di pipinya. "Aku benar-benar menyesal. Aku hanya ingin kau dan Hugo kembali bersama. Aku ingin semuanya kembali seperti dulu."
Namun, Lily tetap tenang. Ia menatap Daisy dengan tajam, seperti mencoba menembus topeng kepalsuan di wajah wanita itu. "Maaf, Daisy, tapi aku tidak akan kembali ke masa lalu. Pertunangan itu sudah berakhir, dan tidak ada yang bisa mengubah keputusanku."
Daisy tampak terguncang, tetapi dengan cepat ia mengganti strateginya. Senyum tipis kembali menghiasi wajahnya, kali ini dengan nada sindiran yang halus. "Yah, kalau itu keputusanmu, aku hanya bisa mendukung. Tapi aku sungguh berharap kau tidak membiarkan emosi sesaat merusak masa depanmu."
Lily hanya memutar mata, tidak ingin meladeni Daisy lebih lama. Ia kembali fokus pada pekerjaannya, mengelap rak-rak yang penuh debu sambil berusaha mengabaikan keberadaan Daisy.
Namun, Daisy tidak menyerah begitu saja. Ia mendekati Lily, suaranya terdengar lebih ringan tetapi sarat sindiran. "Oh, dan selamat atas tugas barumu ini. Bersih-bersih gudang ya? Aku yakin kau akan melakukannya dengan baik. Lagi pula, ini hanya satu minggu bukan? Mungkin ini kesempatanmu untuk lebih mengenal tuan Zhen. Dia pasti senang melihat pegawai yang tekun."
Lily berhenti sejenak, jari-jarinya mengepal kain lap dengan erat. Ia tahu Daisy sedang berusaha memancing emosinya, tetapi ia tidak akan memberinya kepuasan itu.
Daisy menyadari Lily tidak bereaksi, lalu menambahkan, "Kau tau, Hugo memang bukanlah tipeku. Tapi tuan Zhen, dia berbeda. Pria seperti dia jauh lebih menarik. Kurasa Hugo memang lebih cocok untukmu. Jadi, kau tidak perlu khawatir."
Lily tetap diam, tetapi matanya memancarkan kemarahan yang ditahannya dengan susah payah. Ia menarik napas panjang, mencoba mengendalikan dirinya.
Daisy akhirnya merasa puas dengan reaksi Lily, lalu berbalik dan berjalan menuju pintu. "Semangat, Lily. Aku yakin kau bisa menyelesaikan pekerjaanmu dengan baik."
Begitu pintu tertutup, ekspresi Daisy berubah. Senyum anggun di wajahnya lenyap, digantikan oleh tatapan dingin dan penuh penghinaan. Dalam pikirannya, Lily hanyalah gadis biasa yang mudah dipermainkan.
Sementara itu, Lily berdiri di tengah gudang dengan napas berat. Ia mencoba menenangkan dirinya, meski amarah dan rasa jijik terus menggelayut di benaknya.
"Aku tau permainanmu, Daisy," gumam Lily pelan. “Dan aku tidak akan membiarkanmu menang."
Dengan semangat baru, Lily mulai bekerja, mencoba melupakan kata-kata Daisy. Tapi jauh di lubuk hatinya, ia tahu bahwa permainan ini belum selesai.
Daisy bukanlah tipe orang yang akan menyerah begitu saja. Lily menghela napas panjang, menatap rak-rak berdebu di hadapannya. Tangannya sibuk bekerja, tapi pikirannya melayang jauh.
Jauh di lubuk hatinya, ia merasa seperti jatuh ke dalam jurang yang gelap dan tak berdasar. Masalah-masalah yang bertubi-tubi menghampirinya membuatnya nyaris kehilangan pijakan.
Rasanya seperti semua beban dunia kini menumpuk di pundaknya. Pertunangannya yang hancur, penghinaan terselubung dari Daisy, dan hukuman dari Zhen yang terus mengingatkannya akan kesalahannya. Semua itu membuat Lily merasa terjebak dalam lingkaran masalah yang tak berujung.
Ia ingin berlari, ingin meninggalkan semuanya di belakang. Ada dorongan kuat untuk melarikan diri sejauh mungkin, meninggalkan rasa sakit dan tekanan yang terus menghantui.
Tapi Lily tahu, berlari tidak akan menyelesaikan apa pun. Masalah-masalah itu akan tetap ada, menunggu untuk mengejarnya.
"Kalau aku berhenti sekarang, mereka menang," bisiknya pelan, mencoba menyemangati dirinya sendiri. Tapi suaranya terdengar lemah, seolah bahkan keyakinannya pun mulai runtuh.
Ia memejamkan mata sejenak, mengumpulkan kekuatan dari sisa-sisa tekadnya. Lily tahu, jalan keluar dari jurang ini hanya bisa ia temukan jika ia terus melangkah. Meskipun berat, ia harus menghadapi semuanya, satu per satu, sampai akhirnya ia bebas dari belenggu ini.
Dengan napas panjang, Lily membuka matanya lagi dan kembali bekerja. Tumpukan dokumen, debu, dan rak-rak yang kusam bukanlah apa-apa dibandingkan dengan badai yang berkecamuk di dalam dirinya.
Tapi setidaknya, itu adalah langkah pertama untuk membuktikan pada dunia, dan pada dirinya sendiri, bahwa ia masih bisa bertahan.
Dah itulah pesan dari author remahan ini🥰🥰🥰🥰