Follow Ig Author @shan_neen2601
📢Novel update setiap hari senin sampai jumat 3 kali sehari masing-masing 1000 kata
Sabtu-minggu dan tanggal merah 1 bab saja, kecuali jika memungkinkan untuk double up📢
❗Novel ini Murni karangan dari Author. Jika anda suka, silakan tinggalkan like dan komentar. Jika mau kasih kritik dan saran yang membangun juga silakan. Jika memang tidak suka, tidak dipaksa untuk lanjut membaca. Trimakasih🙏
Seorang gadis belia bernama Liana Yu, harus kehilangan kedua orang taunya diusia yang masih sangat muda. Dia terpaksa tinggal dengan bibi dan sepupunya yang selalu menyusahkan setiap hari, hampir selama sepuluh tahun terakhir.
Karena merasa iri dengan paras cantik Liana yang selalu menjadi pusat perhatian, sepupunya dengan kejam menyiram gadis itu dengan air mendidih, hingga membuat wajah Liana melepuh dan menyisakan bekas di beberapa bagian, hingga dia menjadi buruk rupa.
Dengan kegigihan dan sikap pantang menyerahnya, Liana terus berusaha mengumpulkan modal agar bisa mewujudkan impiannya, yaitu mengambil kembali benda peninggalan orang tuanya dan pergi dari rumah bak neraka itu, serta mengobati wajahnya yang buruk rupa.
Suatu ketika, sang bibi ingin menjual Liana kepada seorang pria tua, untuk dijadikan istri yang ke sekian, sebagai penebus hutang.
"Aku mau dibawa ke mana?" tanya Liana gemetar.
"Tentu saja pulang ke rumah calon suamimu. Bibi akan kirimkan semua barang-barangmu kesana. Cepat pergi lah!" seru Bibi Carol.
"Tidak, Bi. Tolong jangan lakukan ini. Aku mohon," pinta Liana.
Namun, disaat keputusasaan menghampiri, sebuah kejadian tak terduga terjadi, dan mengubah hidup gadis itu.
Apa yang menanti Liana dikemudian hari? Akankah gadis itu mampu meraih bahagia di hidupnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Shan_Neen, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Relief hiasan dinding
Dream hill, mansion besar kediaman Kakek Joseph. Di halaman belakang, tepatnya di sebuah tanah kosong, tampak beberapa pekerja tengah berkumpul di sana. Mereka terlihat tengah berdiskusi tentang sesuatu.
Kebetulan, saat itu Liana hendak memberi makan kuda-kuda milik Kakek Joseph, yang berada di seberang tanah kosong itu.
Dari kejauhan, terlihat jika para pekerja pria hendak membuat sesuatu, dilihat dari bahan-bahan bangunan yang sudah terkumpul di sana, mulai dari besi yang sudah di ikat dan dirangkai dengan kawat, serta semen, pasir dan juga baru split.
Liana yang seorang mahasiswa arsitek pun, merasa penasaran dengan semua bahan bangunan yang ada di sana.
Gadis itu terlebih dahulu menyelesaikan tugasnya, memberi makan kuda-kuda yang berjumlah enam ekor itu dengan hati-hati. Tak lupa juga dia membersihkan sisa rumput yang sempat diberikan kepada mereka, dan menaruhnya di sebuah tong besar, tempat pembuatan pupuk kompos.
Dia menutup tong itu rapat-rapat, agar semua yang ada di dalamnya terurai dengan sempurna, hingga bisa segera digunakan.
Saat Liana hendak kembali ke dalam rumah, dia melihat jika para pekerja pria nampak kesulitan saat mengerjakan pekerjaan mereka.
Nampak besi yang sempat dipasang, kini kembali tergeletak dengan sisa campuran semen dan pasir yang melekat di beberapa bagiannya.
Liana pun mendekat dan memperhatikan sekilas apa yang hendak mereka buat.
“Ehm, Paman. Apa kalian sedang mencoba membangun suatu miniatur taman?” tanya Liana menerka.
Salah seorang pekerja bernama Morgan, menoleh dan melihat keberatan gadis muda itu di belakang mereka.
“Tuan meminta kami membuat sebuah hiasan dinding yang nampak alami di sini,” Jawab Morgan.
“Kenapa tak meminta ahlinya saja yang membuat? Bukankah akan lebih bagus jika dibuat oleh profesional?” tanya Liana yang merasa heran.
“Tuan bilang, hanya membuat hiasan di taman belakang saja, jadi tak perlu memanggil jasa profesional. Padahal, kami tak tau sama sekali cara membuat hiasan yang tuan maksud,” sahut pekerja yang lain.
Liana memperhatikan kerangka besi yang masih tak tau akan diapakan.
“Kalau memang mau membuat hiasan dinding, berarti yang kita perlukan pertama adalah dindingnya dulu. Di sini tak ada dinding, jadi sebaiknya kita buat dulu dindingnya,” ucap Liana.
Gadis itu nampak memegangi dagunya sembari berpikir. Matanya melihat ke kanan dan kiri seolah tengah mencari sesuatu.
“Bagaimana kalau kita buat dindingnya menyambung dari pagar sebelah sana saja dan membentuk sudut siku-siku di sini sampai sana sekitar dua meter,” lanjut Liana sembari menunjuk ke arah pagar yang berada di samping kandang kuda.
“Kenapa harus di sana? Bukankah di sini lebih luas karena tanah kosong,” tanya Morgan.
“Memang benar. Tapi yang namanya taman atau hiasan, bukankah tujuannya untuk memperindah. Menurutku, sebaiknya kita buat di sana saja, jadi bisa sekalian menutupi pemandangan kandang-kandang yang terkesan kumuh dan kotor, dengan hiasan ini kan,” jelas Liana.
Para pekerja yang lain nampak berbisik-bisik. Mereka tengah berdiskusi tentang ide yang dicetuskan oleh gadis beliau itu.
“Semua terserah kalian. Aku hanya membantu memberi masukan saja. Kalau memang Kakek Joseph meminta untuk membuatnya di sebelah sana ya, silakan saja. Selamat bekerja,” ucap Liana.
Gadis itu kembali mengangkat ember wadah pakan kuda, yang tadi ia letakkan di atas tanah, saat memperhatikan para pekerja yang kebingungan.
Saat Liana hendak memasuki area paviliun, seseorang memanggilnya.
“Hei, gadis kecil!” panggilnya.
Liana yang merasa terpanggil, karena hanya dirinya yang tak memiliki nama di tempat itu pun menoleh. Dia melihat pria bernama Morgan itu berjalan menghampirinya.
“Sepertinya kau tau banyak tentang membuat hiasan dinding itu. Apa kamu bisa membantu kami?” tanya Morgan.
“Apa kau yakin, Paman? Biasanya, para pria akan merasa harga dirinya jatuh saat ada perempuan yang lebih bisa melakukan pekerjaan mereka. Apa kalian tak merasa seperti itu?” tanya Liana tentang pendapat pribadi para pekerja saat meminta bantuannya.
“Di sini, kami tak sempat berpikir seperti itu. Perintah tuan adalah mutlak, dan bagaimana pun caranya, kami harus menyelesaikan perintahnya dengan baik dan benar. Jadi, sekalipun kami harus di perintah oleh anak kecil seperti mu, itu tak masalah,” ucap Morgan.
“Wah... Apa orang tua itu se menakutkan itu? Baiklah, Paman. Aku akan bantu. Tapi, kalian bangunlah dulu dindingnya seperti yang ku bilang tadi. Setelah dindingnya jadi, aku akan melihatnya lagi. Pastikan pondasi dindingnya kuat, karena relief hiasan dinding akan sangat berat,” seru Liana.
“Baiklah. Kami akan buat dindingnya terlebih dulu,” sahut Morgan.
Dia pun kembali pada rekan-rekannya, dan meninggalkan Liana yang masih harus menyelesaikannya pekerjaan yang lain.
Menjelang sore hari, Liana yang saat itu tengah berada di dapur, karena harus membantu Siska di area masak memasak itu, dikejutkan dengan kedatangan Morgan.
“Gadis kecil, ikut aku sebentar!” seru Morgan.
“Paman Morgan, kenapa Anda meminta dia ikut denganmu? Jangan coba-coba untuk menindasnya ya,” ujar Siska berkacak pinggang.
“Kakak, paman ini ada urusan denganku. Kalau Kakak khawatir, ikut saja dengan kami,” sahut Liana.
“Baiklah. Aku ikut,” ucap Siska.
“Hah, dasar curigaan. Memangnya tampang ku kriminal apa? ” keluh Morgan.
Liana terkekeh geli karena melihat Morgan kesal, ditambah Siska yang terlibat acuh dan tak peduli dengan kekesalan Morgan.
Kini, mereka tiba di belakang rumah, tepatnya di samping kandang.
“Kenapa ada tembok di sini?” tanya Siska.
Morgan tak menyahut. Dia kembali bertanya kepada Liana.
“Apa seperti ini?” tanya Morgan.
“Lumayan. Biarkan semennya kering dulu. Besok pagi, aku akan membantu kalian untuk membuat hiasannya. Sekarang, sebaiknya kalian pulang dan istirahat, kecuali jika ada pekerjaan lain lagi,” jawab Liana.
“Baiklah. Kalau begitu, besok pagi kami tunggu kamu di sini,” sahut Morgan.
Semuanya pun kembali ke tempat masing-masing, karena hari pun sudah menjelang senja.
Keesokan harinya, Liana memulai tugasnya lebih pagi dari biasanya, karena hari ini dia akan membantu Morgan dan para pekerja lain untuk membuat relief hiasan dinding.
Setelah semua tugasnya ia selesaikan, dia pun bergegas ke bagian belakang rumah, dan melihat jika para pekerja telah berkumpul di sana.
Tanpa basa basi, Liana langsung meminta salah satu orang mencampur sementara dan pasir. Dia kemudian mengambil beberapa batu bata dan meletakkannya di samping dinding.
Liana dengan cekatan memasang batu bata, di bantu dengan para pekerja lainnya. Setelah itu, dia menutup semuanya dengan campuran semen pasir dengan cukup tebal.
Di beberapa bagian, dia menempelkan batu bata lagi agar nampak menonjol ke depan, dan menimbulkan efek tak rata. Dia kemudian menutup nya lagi dengan adukan, hingga mirip seperti bebatuan tebing.
Semakin ke bawah, tonjolan-tonjolannya semakin tebal dan terlihat menumpuk. Beberpa bagian diserut hingga menimbulkan efek tak rata, dan melubangi di beberapa bagian.
Semuanya Liana kerjakan dengan begitu cermat dan cekatan. Tentu saja dengan dibantu oleh para pekerja lainnya.
Tak lupa juga, mereka membuat kolam di bagian bawahnya, yang nanti akan dijadikan sebagai tempat penampungan air terjun.
Kakek Joseph yang saat itu memeriksa pekerjaan para pekerjanya, dibuat kaget dengan keberadaan Liana di sana, ditambah keahliannya dalam pekerjaan yang lebih cocok untuk kaum pria itu. Dia kagum, dengan kepandaian Liana memerintah para pria yang usianya jauh di atas gadis itu dengan sangat tepat.
Senyum pun muncul dari sudut bibir keriput kakek tua itu, melihat kelakuan Liana, si gadis unik yang dengan berani selalu menentang perkataannya, hingga membuatnya membiarkan dia tinggal di kediaman pribadinya ini.
.
.
.
.
Mohon dukungan untuk cerita ini😊🙏
Jangan lupa like dan komentar yah😘
bagussssssss bgt ceritanya rela bergadang demi nge gas bacanya...terimakasih author sudah terbitin cerita sebagus ini/Determined//Kiss/