NovelToon NovelToon
Mahar Nyawa Untuk Putri Elf

Mahar Nyawa Untuk Putri Elf

Status: sedang berlangsung
Genre:Reinkarnasi / Perperangan / Elf / Action / Budidaya dan Peningkatan / Cinta Murni
Popularitas:1.8k
Nilai: 5
Nama Author: Tiga Alif

Dibuang ke neraka Red Line dengan martabat yang hancur, Kaelan—seorang budak manusia—berjuang melawan radiasi maut demi sebuah janji. Di atas awan, Putri Lyra menangis darah saat tulang-tulangnya retak akibat resonansi penderitaan sang kekasih. Dengan sumsum tulang yang bermutasi menjadi baja dan sapu tangan Azure yang mengeras jadi senjata, Kaelan menantang takdir. Akankah ia kembali sebagai pahlawan, atau sebagai monster yang akan meruntuhkan langit demi menagih mahar nyawanya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tiga Alif, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 12: Hutan Kabut Maut

Lantai hutan yang lembap dan tertutup lumut hitam terasa seolah menghisap setiap langkah kaki Kaelan yang masih gemetar. Bau busuk tanaman rawa yang membusuk bercampur dengan aroma belerang tipis yang keluar dari pori-porinya, sisa dari pembersihan racun yang hampir merenggut nyawanya beberapa jam lalu. Di belakangnya, sisa-sisa Legiun Karang berjalan dalam keheningan yang mencekam, hanya suara napas tersengal dan gesekan zirah besi mereka yang memecah kesunyian Hutan Kabut Maut.

"Kaelan, kau harus beristirahat. Napasmu terdengar seperti mesin uap yang rusak," bisik Mina sembari menahan lengan Kaelan agar tidak terjatuh.

Kaelan menyeka keringat dingin di dahinya dengan punggung tangan. "Kita tidak punya kemewahan untuk berhenti, Mina. Ksatria sihir Council tidak akan membiarkan kita pergi setelah apa yang terjadi di gudang elit. Jika kita tertangkap sekarang, pengorbanan Bara akan menjadi sia-sia."

"Tapi kau baru saja bangun dari ambang kematian! Esensi murni yang kuberikan memang menstabilkan jantungmu, tapi sumsum tulangmu masih dalam tahap adaptasi yang menyiksa," Mina bersikeras, matanya yang lelah mencerminkan kekhawatiran yang mendalam.

"Aku bisa merasakannya, Mina. Dingin... sumsum tulangku terasa seperti dialiri es cair," gumam Kaelan parau. "Tapi martabat kita sebagai manusia bebas lebih berharga daripada rasa sakit ini."

Tiba-tiba, kabut di sekitar mereka mulai menebal, berubah warna dari abu-abu menjadi perak yang berpendar aneh. Spora-spora halusinogen yang melayang di udara mulai masuk ke sistem pernapasan mereka. Kaelan merasakan kepalanya berdenyut hebat. Pemandangan hutan yang gelap perlahan-lahan memudar, digantikan oleh dinding-dinding kristal yang sangat ia kenali.

"Kaelan? Kenapa kau diam saja?" suara Mina terdengar menjauh, seolah-olah ia berada di ujung terowongan panjang.

Kaelan mengerjapkan mata. Di hadapannya kini bukan lagi pohon-pohon raksasa yang melintir, melainkan ruang sidang tinggi di Benua Langit. Ia melihat dirinya sendiri yang sedang dirantai dengan obsidian dingin, bersimpuh di lantai marmer yang keras. Dan di atas sana, berdiri seorang wanita dengan gaun Azure yang indah, menatapnya dengan tatapan jijik yang sama seperti saat fitnah itu pertama kali dilontarkan.

"Lyra?" bisik Kaelan, suaranya tercekat di tenggorokan.

"Kenapa kau kembali, Kaelan?" ilusi Lyra itu melangkah maju, suaranya bergema dengan nada menghina yang mematikan. "Bukankah aku sudah mengatakannya di depan para tetua? Kau hanyalah budak rendahan yang mencoba mencuri cahaya keluarga Elviana. Kau adalah noda dalam hidupku."

Kaelan memejamkan mata rapat-rapat, namun bayangan itu tidak hilang. Ia merasakan perih yang membakar di bahunya—resonansi dari luka yang dialami Lyra yang asli di istana—namun ilusi di depannya tetap tersenyum sinis.

"Berhenti... kau bukan dia," raung Kaelan sembari memegang kepalanya yang seakan mau pecah.

"Aku adalah apa yang kau takutkan, Kaelan," ilusi itu terus mendekat, wangi melati yang lembut mulai menutupi bau busuk hutan, mencoba menipu indra penciumannya. "Kau pikir cinta bisa menghapus kasta? Kau pikir pengorbanan teman-temanmu akan mengubah fakta bahwa kau tetaplah seorang manusia fana yang kotor?"

Di Benua Langit yang asli, Lyra Elviana jatuh terduduk di lantai balkon kamarnya. Ia mencengkeram dadanya yang terasa sesak. Melalui jalur batin, ia bisa merasakan Kaelan sedang berteriak dalam kegelapan. Ia bisa mencium bau spora hutan yang menyesakkan di paru-parunya sendiri.

"Kaelan, jangan dengarkan kabut itu!" Lyra berbisik dalam isak tangisnya. "Aku di sini... aku tidak pernah menganggapmu noda. Kumohon, buka matamu!"

Resonansi itu semakin kuat. Lyra mencoba mengirimkan bayangan kenangan mereka saat pertama kali bertemu di Akademi Aetheria, saat mereka berbagi roti gandum di bawah pohon kuno secara sembunyi-sembunyi, namun kabut di Terra terlalu pekat untuk ditembus oleh emosi yang murni.

Kembali di hutan, para budak yang mengikuti Kaelan mulai berjatuhan. Beberapa dari mereka mulai menangis, teringat akan keluarga yang mereka tinggalkan atau kegagalan yang mereka alami. Mina mencoba menyadarkan mereka dengan membakar daun herbal pelindung, namun asalnya terlalu kecil untuk melawan hutan yang luas ini.

"Kaelan! Sadarlah! Itu hanya kabut!" Mina berteriak sembari mengguncang bahu Kaelan.

Kaelan menatap ilusi Lyra itu dengan mata yang mulai memerah—tanda bahwa energi Spark miliknya mulai beresonansi dengan amarah yang ditekan. Tangannya bergerak menuju kapak besinya. Martabatnya sebagai pria yang dikhianati menuntut pembalasan, namun martabatnya sebagai kekasih yang tulus menahannya.

"Jika kau ingin aku mati, kenapa kau tidak membunuhku saat aku dirantai di sidang itu?" tanya Kaelan pada ilusi tersebut dengan suara yang bergetar karena emosi yang mendalam.

Ilusi Lyra itu tertawa, sebuah suara yang terdengar seperti pecahan kaca. "Karena melihatmu menderita di Terra jauh lebih memuaskan daripada kematian yang cepat, Kaelan. Kau adalah bukti bahwa keberanian hanyalah nama lain dari kebodohan."

Kaelan menarik napas panjang, menghirup lebih banyak spora yang merusak jiwanya. Ia mengangkat wajahnya, menatap lurus ke mata ungu ilusi itu. Kesedihan yang luar biasa terpancar dari wajahnya, namun ada sebuah keteguhan yang mulai mengeras di sana.

"Mungkin aku bodoh," kata Kaelan dengan nada rendah yang mengandung wibawa seorang komandan. "Tapi kebodohanku adalah karena aku tetap mempercayaimu meski dunia menyuruhku untuk membencimu. Dan jika kabut ini ingin aku menyerah pada kebencian, maka kabut ini tidak mengenalku sama sekali."

Kaelan melepaskan pegangan kapaknya dan maju satu langkah tanpa senjata. Ia tidak menyerang ilusi itu; ia justru merentangkan tangannya, membiarkan bayangan Lyra itu mendekatinya.

"Aku mengampunimu," bisik Kaelan lirih. "Bukan karena kau benar, tapi karena aku menolak menjadi monster yang memelihara dendam terhadap wanita yang pernah kucintai."

Seketika, ilusi Lyra itu membeku. Wajah cantiknya mulai retak dan pecah seperti keramik yang dijatuhkan. Jeritan melengking yang tidak manusiawi terdengar saat halusinasi itu hancur, berubah menjadi asap hitam yang terbawa angin hutan.

Kaelan tersungkur ke tanah, napasnya memburu. Matanya yang merah perlahan-lahan kembali ke warna aslinya, namun ada sisa pendaran perak yang kini menetap di pupilnya.

"Kaelan! Kau kembali!" Mina memeluk bahu Kaelan dengan lega. "Kabutnya mulai menipis di area ini."

Kaelan hanya bisa mengangguk lemah. Ia merasakan sisa kehangatan dari resonansi Lyra yang asli di dahi jiwanya. Namun, kedamaian itu hanya berlangsung sesaat. Dari balik kegelapan pohon-pohon di depan mereka, terdengar suara tarikan busur yang sangat akrab di telinga Kaelan.

"Sangat mengesankan bagi seorang budak untuk bisa mengalahkan spora maut dengan kekuatan mental," sebuah suara dingin terdengar dari balik bayang-bayang.

Seorang pria dengan zirah ringan berwarna hijau gelap melangkah keluar. Ia adalah Kaelis, letnan kepercayaan Pangeran Alaric, ahli sabotase yang selama ini memburu mereka tanpa suara. Di tangannya, sebuah busur besar sudah terbentang dengan anak panah yang ujungnya berpendar hijau beracun, membidik tepat ke jantung Kaelan.

Kaelis menarik napas panjang, menstabilkan bidikannya sementara sisa kabut perak menari-nari di sekitar busurnya. Tatapannya dingin, tidak menunjukkan kebencian yang meledak-ledak, melainkan efisiensi seorang algojo yang sedang menyelesaikan tugas administratif. "Kau seharusnya mati di persidangan itu, Kaelan. Membiarkanmu hidup hanya menambah beban kerja bagi kami semua."

Kaelan mencoba berdiri, namun kakinya terasa seperti terbuat dari timah. Ia bersandar pada batang pohon yang bergetah hitam, menatap lurus ke arah Kaelis. "Beban kerja? Jadi, ribuan nyawa budak yang hampir mati di Sektor 4 hanya kau anggap sebagai tumpukan kertas di meja Alaric?"

"Dalam pandangan Pangeran Alaric, kau bukan nyawa. Kau hanyalah anomali statistik yang harus dihapus," Kaelis melepaskan jari telunjuknya sedikit, membiarkan tali busur bergetar halus. "Dan Putri Lyra... dia sudah melupakanmu. Dia sedang mempersiapkan diri untuk menjadi permaisuri yang sempurna bagi tuanku."

Kaelan terkekeh lirih, sebuah suara yang penuh dengan kepahitan namun tanpa rasa takut. "Jika dia benar-benar melupakanku, kau tidak akan dikirim sejauh ini ke dalam hutan terkutuk ini hanya untuk membungkamku. Alaric takut, Kaelis. Dia takut pada apa yang bisa dilakukan oleh seorang budak yang sudah kehilangan segalanya."

"Cukup bicara!" Kaelis melepaskan anak panahnya.

Wush!

Anak panah hijau itu melesat membelah udara, membawa aroma kematian yang menyengat. Namun, tepat sebelum ujungnya menembus dada Kaelan, sebuah pendaran perak meledak dari dalam tulang Kaelan. Tanpa sadar, Kaelan menggunakan teknik Iron Bone Marrow secara instan. Tangannya bergerak secepat kilat, menangkap batang anak panah itu tepat beberapa inci dari jantungnya.

Gesekan antara telapak tangan Kaelan dan kayu anak panah itu menciptakan suara mendesis. Racun hijau mulai membakar kulitnya, namun sumsum tulang Kaelan yang telah berevolusi menyerap rasa sakit itu dan mengubahnya menjadi energi dorongan.

"Mustahil..." Kaelis terperangah. "Seorang Spark tahap awal tidak mungkin memiliki refleks seperti itu!"

"Aku bukan lagi budak yang kau injak di akademi dulu," Kaelan mematahkan anak panah itu dengan satu tangan, membiarkan racunnya menguap menjadi asap putih. "Mina! Bawa yang lain pergi ke arah utara. Aku akan mengurus tikus ini."

"Kaelan, kau tidak bisa bertarung sendirian!" teriak Mina sembari mencoba mendekat.

"Pergi, Mina! Ini perintah Komandan!" suara Kaelan menggelegar, mengandung otoritas yang membuat langkah Mina terhenti. "Lindungi sisa pasukan kita. Aku akan menyusul."

Mina menggigit bibir bawahnya, menahan isak tangis yang mulai muncul. Ia tahu martabat Kaelan tidak akan mengizinkannya lari jika rekan-rekannya terancam. "Berjanjilah kau akan kembali, Kaelan! Jangan biarkan pengorbanan Bara menjadi sia-sia!"

Setelah Mina dan rombongan budak menghilang di balik kerimbunan kabut, Kaelan kembali menatap Kaelis. Ia merasakan tubuhnya memanas, sebuah tanda bahwa ia sedang menyentuh batas Spark Tahap 6. Tulang-tulangnya berderak, menciptakan bunyi krek yang kokoh di tengah keheningan hutan.

"Kau pikir kau bisa menang melawanku hanya dengan menangkap satu panah?" Kaelis tertawa sinis, ia mencabut sebilah belati dari pinggangnya. "Aku adalah letnan elit. Kau hanya sampah yang beruntung."

"Keberuntungan tidak membawaku selamat dari Celah Void," Kaelan memungut sepotong dahan pohon yang keras dan berlumuran energi peraknya. "Keadilan yang membawaku."

Keduanya menerjang secara bersamaan. Hutan Kabut Maut menjadi saksi bisu benturan antara teknik pembunuh bayaran yang licin dan kekuatan mentah dari tulang besi manusia. Setiap benturan menciptakan gelombang tekanan yang mengusir kabut di sekitar mereka, memperlihatkan tanah yang hancur oleh jejak kaki mereka.

Di Benua Langit, Lyra merasakan setiap detak jantung Kaelan yang berpacu kencang. Ia bisa merasakan perih di telapak tangan Kaelan yang terbakar racun. Ia berlutut di lantai kamarnya, tangannya mencengkeram erat sapu tangan Azure yang kini telah compang-camping.

"Kaelan, gunakan amarahmu sebagai perisai, bukan sebagai pedang," bisik Lyra dalam doa yang sunyi. "Jangan biarkan dirimu tenggelam dalam kegelapan yang sama dengan mereka."

Resonansi itu mencapai puncaknya. Kaelan merasakan bisikan Lyra di telinganya, mendinginkan darahnya yang mendidih. Di tengah pertarungan, ia melihat celah di pertahanan Kaelis. Bukannya membunuh, Kaelan menghantamkan dahan pohonnya ke pergelangan tangan Kaelis, mematahkan tulang pria itu dalam satu serangan presisi.

"Argh!" Kaelis terjatuh, belatinya terlepas.

Kaelan berdiri di atasnya, ujung dahan pohon yang tajam tertuju ke leher Kaelis. Napas Kaelan tersengal-sengal, namun matanya menatap dengan kejernihan yang menakutkan. "Pulanglah pada tuanmu. Katakan padanya, Hutan Kabut Maut tidak menerima tamu pengecut sepertinya."

"Kau... kau melepaskanku?" Kaelis menatap Kaelan dengan tidak percaya.

"Membunuhmu hanya akan mengotori tanganku dengan pengecut. Aku ingin kau melihat saat aku menghancurkan singgasana palsu Alaric dengan tanganku sendiri," Kaelan berbalik dan berjalan menjauh, masuk ke dalam kabut yang mulai menutup jalannya.

Kaelan terus berjalan hingga ia yakin Kaelis tidak lagi mengikutinya. Di bawah sebuah pohon besar dengan bunga-bunga Azure yang layu berjatuhan di akarnya, Kaelan akhirnya ambruk. Tubuhnya telah mencapai batas maksimal. Darah merembes dari luka-luka kecil di sekujur tubuhnya, namun ia tersenyum tipis. Ia berhasil melindungi pasukannya.

Melalui sisa kekuatan resonansinya, ia merasakan kehadiran Lyra yang sedang menangis bahagia di atas sana.

"Aku masih hidup, Lyra," bisik Kaelan sebelum matanya tertutup oleh kelelahan yang luar biasa. "Aku masih... hidup."

1
prameswari azka salsabil
awal keseruan
Kartika Candrabuwana: iya betul
total 1 replies
prameswari azka salsabil
sungguh pengertian
prameswari azka salsabil
kasihan sekali kaelan
Kartika Candrabuwana: iya betul
total 1 replies
prameswari azka salsabil
luar biasa
Kartika Candrabuwana: jos pokoknya👍
total 1 replies
prameswari azka salsabil
ujian ilusi
Kartika Candrabuwana: iya betul
total 1 replies
prameswari azka salsabil
sesuai namanya
Kartika Candrabuwana: iya betul
total 1 replies
prameswari azka salsabil
syukurlah kaelan meningkat
Kartika Candrabuwana: iya betul
total 1 replies
prameswari azka salsabil
ada petubahan tradisi?
Kartika Candrabuwana: pergerseran nilai
total 1 replies
prameswari azka salsabil
kaelan bertahanlah
Kartika Candrabuwana: ok. makasih
total 1 replies
prameswari azka salsabil
bertarung dengan bayangan🤣
Indriyati
iya. untuk kehiduoan yang lebih baik
Kartika Candrabuwana: betul sekali
total 1 replies
Indriyati
ayo kaelan tetap semanhat😍
Kartika Candrabuwana: iya. nakasih
total 1 replies
Indriyati
bagus kaelan semakinnkuat👍😍
Kartika Candrabuwana: iya betul
total 1 replies
Indriyati
iya..lyra berpikir positif dan yakin👍💪
Kartika Candrabuwana: betul
total 1 replies
Indriyati
seperti di neraka😄🤭🤭
Kartika Candrabuwana: iya. makssih
total 1 replies
prameswari azka salsabil
wuihhh. asyik benere👍💪
prameswari azka salsabil
iya kasihan juga ya🤣🤣
Kartika Candrabuwana: iya betul
total 1 replies
prameswari azka salsabil
ini pertambangan ya😄
Kartika Candrabuwana: kurang lebih iya
total 1 replies
prameswari azka salsabil
hidup kaelan👍💪
Kartika Candrabuwana: baik. ayo kaelan
total 1 replies
prameswari azka salsabil
bersabar ya
Kartika Candrabuwana: iya. makasih
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!