“Oke. Tapi, there's no love and no *3*. Kalau kamu yes, saya juga yes dan serius menjalani pernikahan ini,” tawar Linda, yang sontak membuat Adam menyeringai.
“There’s no love? Oke. Saya tidak akan memaksa kamu untuk mencintai saya. Karena saya juga tidak mungkin bisa jatuh cinta padamu secepat itu. Tapi, no *3*? Saya sangat tidak setuju. Karena saya butuh itu,” papar Adam. “Kita butuh itu untuk mempunyai bayi,” imbuhnya.
***
Suatu hari Linda pulang ke Yogyakarta untuk menghadiri pernikahan sepupunya, Rere. Namun, kehadirannya itu justru membawa polemik bagi dirinya sendiri.
Rere yang tiba-tiba mengaku tengah hamil dari benih laki-laki lain membuat pernikahan berlandaskan perjodohan itu kacau.
Pihak laki-laki yang tidak ingin menanggung malu akhirnya memaksa untuk tetap melanjutkan pernikahan. Dan, Linda lah yang terpilih menjadi pengganti Rere. Dia menjadi istri pengganti bagi pria itu. Pria yang memiliki sorot mata tajam dan dingin.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tianse Prln, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Percakapan Serius
...Linda POV
...
Aku berdiri di depan cermin, memandangi bayangan diriku sendiri. Gaun pendek berwarna cokelat mahogany membalut tubuhku dengan pas, terlalu pas. Potongannya jatuh tepat di lutut, dan bagian dadanya... terbuka lebih dari yang kuinginkan.
Aku menarik napas pelan, mencoba menenangkan gelombang perasaan yang tak bisa kujelaskan. Rasanya enggan, gugup, dan sedikit gelisah.
Gaun ini bukan tipeku. Mas Adam memberikannya padaku tepat sebelum dia keluar dari kamar beberapa saat lalu. Dia memintaku memakainya malam ini.
‘Bersiaplah.’ Kata-katanya itu masih tersemat jelas di benakku, dia berbicara dengan nada yang tak bisa kutolak.
Aku tahu maksudnya. Ketika Mas Adam berkata seperti itu, dia menginginkan sesuatu. Sesuatu yang lebih dari sekadar menghabiskan malam bersama.
“Apa aku benar-benar sudah siap?” gumamku pada diriku sendiri, merasa tak yakin melepaskan mahkotaku pada pria itu. Apakah ini keputusan yang benar?
Namun, bagaimanapun sekarang dia adalah suamiku. Ada hak dan kewajiban yang harus dilaksanakan. Dan aku tidak bisa lepas dari itu.
Sudah sepuluh menit sejak Mas Adam keluar dari kamar. Aku menatap jam dinding, jarumnya bergerak lambat, seolah ikut merasakan ketegangan yang mengisi ruangan.
Aku duduk di tepi ranjang menunggunya. Jari jemariku menyentuh kain gaun yang terasa asing di kulitku ini. Lembut, tapi dingin.
Tak lama kemudian, pintu kamar terbuka. Itu dia. Mas Adam kembali.
Dia terdiam di ambang pintu, matanya menatapku dengan intens. Jika aku tidak salah menilai, ada sepercik kekaguman dalam tatapannya, mungkin juga hasrat. Tapi yang paling jelas adalah keterkejutan. Seolah dia tak menyangka aku benar-benar mau mengenakan gaun ini.
Penampilanku yang selama ini dia lihat, kini terlihat berbeda di matanya. Aku bisa merasakannya dari cara dia menatapku—seperti melihat lukisan yang baru saja selesai digoreskan. Terlihat baru dan segar.
Mas Adam melangkah mendekat. Langkahnya pelan, seperti seseorang yang takut merusak momen.
Aku bisa mendengar napasnya, sedikit berat. Ada sesuatu yang gugup dalam gerakannya, dan itu membuatku bertanya-tanya, apa dia juga merasa canggung?
Mas Adam kemudian duduk di sampingku, tapi rasanya seperti ada jarak satu dunia di antara kami. Tangannya menyentuh ujung gaun yang menutupi pahaku, ringan, nyaris tak terasa. Aku tak bergerak. Bukan karena nyaman, tapi karena bingung harus bereaksi seperti apa.
Aku menoleh pelan, menatap wajahnya. Matanya menatap ke depan, bukan ke arahku. Seperti sedang mencari sesuatu di udara, atau mungkin dia sedang memikirkan sesuatu.
“Gaunnya cocok,” katanya sambil menoleh ke arahku. “Cantik,” lanjut Mas Adam.
Aku tersenyum kaku. Kata-kata itu terasa baru, membuat jantungku mendadak berdebar tak seperti biasanya. Detaknya terasa begitu cepat.
Aku berdiri, berusaha menghilangkan rasa gugupku, berjalan ke arah jendela. Tirai tipis bergoyang pelan diterpa angin malam.
“Linda,” suara Mas Adam memanggilku. Aku menoleh, dan dia sudah berdiri di belakangku. Wajahnya tampak ragu, seperti ingin mengatakan sesuatu.
“Bagaimana perasaanmu selama satu minggu lebih menikah denganku?” tanyanya.
Aku menatapnya, wajahnya tampak lelah. Seharian ini dia pasti bekerja sangat keras. Dan aku sebagai istrinya hanya disuruh untuk menikmati hasil kerja kerasnya saja. Mungkin itu terdengar menyenangkan, tapi entah bagaimana aku justru merasa kasihan padanya.
“Aku tidak yakin,” ucapku. Tidak mau memberi jawaban pasti.
Aku tidak tahu apakah aku bahagia atau tidak. Aku mungkin bahagia tapi aku juga merasa sedikit terkekang, beberapa hal bahkan harus aku relakan setelah pernikahan dadakan ini terjadi.
“Boleh aku tanya sesuatu?” ujarku kemudian.
Mas Adam mengangguk, dia menatapku lekat, menungguku berbicara.
“Kamu... sama Rere. Apa kalian....”
“Hari akad nikah itu adalah hari pertama kali kami bertemu. Sebelumnya aku enggak pernah ketemu sama dia. Jadi kalau kamu bertanya tentang perasaanku pada wanita itu, aku sama sekali tidak memiliki perasaan apa pun padanya,” jelas Mas Adam sebelum aku sempat menyelesaikan pertanyaanku.
Aku terdiam, tubuhku kembali tertuju ke arah jendela, memunggungi Mas Adam yang ada di belakangku.
“Jadi kamu sama Rere enggak pernah ngobrol?”
“Pernah. Lewat telepon. Dan itu pun ada kedua orang tua kami,” jawab Mas Adam.
“Kalau seandainya hari itu Rere tidak merusak pernikahan kalian dan kalian resmi menjadi suami istri. Apa kamu akan memperlakukan Rere seperti kamu memperlakukanku sekarang?”
“Ya. Tapi sekarang yang aku nikahi kamu, bukan dia.”
Aku menghela napas panjang, kemudian melangkah kembali menuju ranjang, aku duduk di sana dengan kepala tertunduk, menatap jari-jariku yang beradu.
“Aku mau bicara jujur sama kamu,” ucapku. “Sebenarnya aku masih bingung dengan pernikahan kita. Rasanya terlalu mendadak. Aku seperti belum siap menerima semua perubahan jalan hidup yang harus aku hadapi saat ini. Semua terasa asing dan aku tidak yakin bisa melewatinya.”
Mas Adam tidak menanggapi. Dia masih berdiri di hadapanku, tapi bibirnya tak mengeluarkan sepatah kata apa pun. Dia hanya diam membisu.
“Aku... merasa sedikit tertekan,” ucapku, kembali melanjutkan, suara yang keluar lebih lirih dari yang kuharapkan. “Menjadi istri pengganti... menikah dengan seseorang yang bahkan tidak kukenal sebelumnya... itu berat.”
Aku bisa merasakan jantungku berdetak lebih cepat. Kata-kata itu seperti membuka pintu yang selama beberapa hari ini kukunci rapat. Aku tahu ini bukan hal yang mudah untuk dikatakan, tapi aku lelah memendam pikiranku sendiri.
“Apalagi... dunia kita berbeda, Mas. Kamu berasal dari keluarga terpandang, terbiasa dengan segala kemewahan. Sedangkan aku... aku hanya Linda, gadis dari keluarga sederhana yang tumbuh besar di kampung.”
Mas Adam masih diam. Hanya suara jam dinding yang terdengar, berdetak pelan seperti menghitung detik-detik ketegangan di antara kami.
“Munafik kalau aku tidak menikmati fasilitas yang kamu berikan. Itu adalah impian semua wanita, termasuk aku,” lanjutku, mencoba tersenyum meski pahit. “Tapi aku merasa... kebebasanku terikat. Seolah aku bukan lagi diriku sendiri.”
Aku menunduk, menatap lantai marmer yang dingin. Di rumah sederhana orang tuaku, lantainya retak dan berdebu, tapi aku bisa berjalan tanpa alas kaki dan merasa bebas. Di sini, aku harus selalu tampil sempurna, bahkan saat hatiku berantakan.
Kulihat Mas Adam akhirnya bergerak. Ia duduk di sampingku, cukup dekat hingga aku bisa merasakan hangat tubuhnya, tapi tetap terasa jauh.
“Aku tidak tahu kamu merasa seperti itu,” katanya pelan. Suaranya datar, tapi ada sesuatu di baliknya—namun aku tidak tahu apa yang ada di dalam pikirannya. “Jadi, apa yang kamu inginkan sekarang? Apa kamu ingin pernikahan kita... berakhir sampai di sini?”
Kesunyian malam menjadi saksi bisu percakapan kami. Di luar, angin berdesir pelan, seolah ikut mendengarkan. Aku tidak tahu ke mana arah pernikahan ini akan membawa kami. Tapi malam ini, untuk pertama kalinya, aku merasa jujur. Dan mungkin, ini adalah langkah pertama menuju kebebasan yang selama ini kuimpikan.
Tapi....
Keputusan apa yang akan aku pilih? Aku gelisah dengan pikiranku sendiri, rasanya bimbang. Apa aku sungguh ingin mengakhiri pernikahan ini?