Kinara, seorang gadis berusia 24 tahun, baru saja kehilangan segalanya, rumah, keluarga, dan masa depan yang ia impikan. Diusir ibu tiri setelah ayahnya meninggal, Kinara terpaksa tinggal di panti asuhan sampai akhirnya ia harus pergi karena usia. Tanpa tempat tujuan dan tanpa keluarga, ia hanya berharap bisa menemukan kontrakan kecil untuk memulai hidup baru. Namun takdir memberinya kejutan paling tak terduga.
Di sebuah perumahan elit, Kinara tanpa sengaja menolong seorang bocah yang sedang dibully. Bocah itu menangis histeris, tiba-tiba memanggilnya “Mommy”, dan menuduhnya hendak membuangnya, hingga warga sekitar salah paham dan menekan Kinara untuk mengakui sang anak. Terpojok, Kinara terpaksa menyetujui permintaan bocah itu, Aska, putra satu-satunya dari seorang CEO muda ternama, Arman Pramudya.
Akankah, Kinara setuju dengan permainan Aksa menjadikannya ibu tiri atau Kinara akan menolak?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aisyah Alfatih, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 17
Mobil berhenti tepat di depan teras rumah besar itu.
Sejak dari jauh, sudah terlihat seseorang menunggu.
Seorang wanita paruh baya berdiri tegak di depan teras, balutan busana elegan menempel sempurna di tubuhnya. Wajahnya kaku, sorot matanya tajam dan penuh wibawa. Di sisi kanan dan kirinya, dua pelayan tampak gelisah, yang satu sibuk mengipas tubuh wanita itu, sementara yang lain berdiri dengan nampan minum di tangan, seolah takut melakukan kesalahan sekecil apa pun.
Begitu pintu mobil terbuka, Kinara turun lebih dulu. Dia lalu membuka pintu belakang.
“Aksa, ayo,” ucapnya lembut.
Aksa melompat turun, namun langkahnya terhenti. Pandangan bocah itu langsung tertuju pada wanita yang berdiri di dekat para pelayan.
“Oma!”
Suara itu meluncur begitu saja, penuh kerinduan. Aksa berlari kecil dan memeluk pinggang wanita itu tanpa ragu, Kinara terpaku.
'Oma…' Dia melirik sekilas ke arah Aksa yang tengah memeluk wanita tersebut.
Jantungnya berdegup sedikit lebih cepat. Tanpa perlu penjelasan panjang, ia tahu wanita itu adalah nenek Aksa. Dan besar kemungkinannya ibu Arman.
Wanita itu menunduk sedikit, membalas pelukan Aksa dengan gerakan kaku, nyaris canggung. Tangannya hanya menepuk punggung cucunya sekali, seolah itu batas afeksi yang mampu ia berikan.
Barulah pandangannya terangkat, menatap Kinara dari ujung rambut hingga ujung. Arman tidak turun, wajahnya datar, nyaris tanpa perubahan ekspresi.
“Saya menunggu Rudi,” katanya singkat. “Setelah itu langsung ke kantor.”
Kinara menoleh. “Tapi … sepertinya ada yang menunggu Anda, Pak.”
Arman menatap wanita di teras itu sekilas. “Saya tahu.”
Nada suaranya dingin, seolah kedatangan sang ibu bukan sesuatu yang mengejutkan. Suara mobil taksi terdengar berhenti di belakang. Rudi turun dengan langkah cepat.
Arman langsung menoleh padanya. “Kita berangkat sekarang.”
Tanpa menunggu reaksi siapa pun. Rudi mengangguk, meski sempat melirik ke arah wanita paruh baya itu dengan raut canggung.
Sementara itu, Kinara masih berdiri di tempatnya, merasakan atmosfer yang berubah.
Kinara akhrinya menarik napas pelan, lalu melangkah mendekat.
“Sore, Nyonya,” sapanya sopan, menundukkan kepala sedikit sebagaimana mestinya. Wanita paruh baya itu tidak langsung menjawab.
Sepasang mata tajam menelusuri wajah Kinara perlahan, turun ke pakaiannya, lalu kembali menatap lurus ke matanya. Tatapan menilai dan dingin, penuh perhitungan. Jelas sekali wanita itu sudah tahu segalanya.
Para pelayan sebelumnya telah memberi laporan,
'Tuan Arman sudah menikah lagi.'
Dan tanpa perlu ditegaskan, wanita itu bisa menebak, perempuan di hadapannya inilah yang kini menyandang status tersebut.
Tangan kecil Aksa tiba-tiba menggenggam tangan Kinara erat. Bocah itu menatap neneknya dengan mata berbinar.
“Oma,” katanya polos, “ini Mommy Aksa. Aksa suka Mommy Kinara.”
Kinara tersentak kecil mendengar pengakuan itu. Namun wanita itu tetap diam. Wajahnya tak berubah sedikit pun. Tidak ada senyum, tidak ada penolakan, hanya kekosongan yang dingin. Ia kemudian berbalik, melangkah masuk ke dalam rumah tanpa menunggu siapa pun.
“Siapkan ruang keluarga,” katanya pada pelayan, suaranya tenang namun mengandung perintah mutlak. “Aku akan berbicara dengan perempuan itu.”
Pelayan-pelayan itu langsung bergerak cepat.
Kinara berdiri terpaku sesaat, lalu menunduk menatap Aksa yang masih menggenggam tangannya.
Dalam hati, ia bergumam lirih,
'Ibunya Tuan Arman … dingin. Kaku dan tegas.
Persis seperti dirinya.'
Dan entah kenapa, kesadaran itu tidak membuatnya gentar, justru membuat dadanya terasa sedikit lebih siap menghadapi apa pun yang akan datang.
Ruang keluarga itu luas dan sunyi, dipenuhi nuansa warna gelap dan perabot berkelas. Kinara melangkah masuk dengan tenang, lalu langsung duduk di sofa yang berhadapan dengan wanita paruh baya itu.
Baru saja tubuhnya menyentuh sandaran, suara dingin terdengar.
“Aku belum mempersilakanmu duduk.”
Kinara mendongak, tatapan wanita itu tajam, dan menguji.
Tanpa ragu, Kinara menjawab dengan suara stabil,
“Saya duduk karena sebelum masuk ke ruangan ini, pelayan mengatakan Anda ingin berbicara dengan saya.”
Ia menegakkan punggung.
“Apakah Anda berniat berbicara dengan saya dalam keadaan saya berdiri? Itu tidaklah sopan, Nyonya.”
Kening ibu Arman berkerut. Jelas ia tidak menyangka perempuan muda ini akan berani menjawab dan menjawab dengan logika yang sulit dibantah.
Beberapa detik berlalu dalam keheningan yang menegangkan. Lalu wanita itu mengangkat tangannya.
“Panggil pelayan.”
Jantung Kinara berdegup lebih cepat. Sekilas terlintas kemungkinan terburuk di kepalanya.
Di balik pintu, Aksa yang sejak tadi menguping ikut menahan napas. Tangannya mengepal kecil, takut Omanya tidak menyukai Mommy Kinara.
Pelayan masuk dan menunduk hormat.
Wanita itu berkata tegas, “Mulai hari ini, semua di rumah ini harus menghormati wanita ini.”
Kinara tersentak, Pelayan itu membelalakkan mata, lalu mengangguk cepat.
“Dia istri Arman,” lanjut wanita itu. “Dan ibu bagi cucuku.”
Aksa tak tahan lagi.
“Oma!”
Bocah itu berlari masuk dan langsung memeluk wanita tua itu erat-erat. “Aksa sayang Oma!”
Ekspresi kaku itu perlahan melunak. Tangannya terangkat, membelai rambut Aksa pelan. Wanita itu menunduk, suaranya melembut. “Lalu … apakah kamu mencintai wanita di depan Oma?”
Aksa menoleh ke Kinara, lalu mengangguk kuat. “Sangat mencintainya! Mommy Kinara baik!”
Perempuan itu tersenyum muncul di wajah wanita itu. Dia lalu mengangkat pandangannya ke arah Kinara.
“Namaku Ratna Pramudya. Ibu Arman.”
Kinara menunduk hormat. “Saya Kinara.”
“Aku tidak tahu apa yang dipikirkan Arman saat memutuskan menikahimu,” lanjut Ratna dengan jujur. “Tapi aku menghormati pernikahan itu.”
Kinara terdiam.
“Pertahankan pernikahan ini,” ucap Ratna pelan namun tegas. “Demi Aksa.”
Kata-kata itu membuat Kinara bingung, dadanya terasa sedikit sesak.
'Pernikahan kontrak,' batinnya. 'Sampai Aksa dewasa nanti apa mungkin aku bisa bertahan?'
Ia melirik Aksa, lalu teringat wajah Arman yang dingin dan tertutup. Bagaimana mungkin ia mempertahankan sesuatu yang sejak awal tidak pernah benar-benar dimulai.
Namun di hadapan wanita ini, ibu Arman, Kinara hanya bisa mengangguk pelan.
“Baik, Nyonya.”
Meski di dalam hatinya, ia tahu janji itu tidak sesederhana yang terdengar.
"Panggil saya Mama, kamu adalah menantu saya," katanya lembut dan kembali tersenyum. Kinara mengangguk.
"Mama,"
"Heem,"
Pandangan keduanya bertemu, dan melirik kearah samping, terlihat jelas di mata Kinara jika Aksa mungkin akan terus berharap jika dirinya mungkin akan menemani hingga dewasa nanti dan tak akan berhenti menemaninya.
pilih yg pasti pasti Ajja Arman..
yg sudah jelas tulus tanpa syarat 👍👍
jangan dekat dekat mantan itu ibarat sampah.....masa iya kamu mau tercemar dengan aroma nya yang menjijikan....
Kini kalian telah menjadi satu...,, satu hati,, satu rasa dan satu pemikiran. Harus saling percaya dan jujur dgn pasangan,, karna ke depannya si Mak Lampir ibu kandungnya Aksa akan merongrong ketenangan,, kedamaian dan kebahagiaan keluarga kalian.
Waspada lah ....