Jelita Pramono seorang gadis periang, namun jangan sampai kalian mengusik nya, apalagi keluarga maupun orang yang ia sayang disekitarnya. Karena jika kamu melakukannya, habislah hidupmu.
Hingga suatu hari, ia sedang pergi bersama kakak nya, tapi di dalam perjalanan, mobil mereka tertabrak mobil lain dari arah belakang. Sehingga, Jelita yang berada di mobil penumpang mengeluarkan darah segar di dahi nya dan tak sadarkan diri.
Namun, ia terbangun bukan di tubuh nya, tapi seorang gadis bernama Jelita Yunanda, yang tak lain merupakan nama gadis di sebuah novel yang ia baca terakhir kali.
Bukan sebagai pemeran utama atau si antagonis, melainkan figuran atau teman antagonis yang sikapnya dingin dan jarang bicara sekaligus jarang tersenyum.
Mengapa Jelita tiba-tiba masuk kedalam novel menjadi seorang figuran? Apa yang akan terjadi dengannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lily Dekranasda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pacar Apa Mantan
Suasana ruang VIP rumah sakit itu kini terasa hening. Di sudut ruangan, Meyriska dan Tiara tertidur lelap di sofa, berselimutkan selimut tipis, hanya tersisa dua orang yang masih terbangun yaitu Jelita dan Dara.
Keduanya duduk bersandar di ranjang pasien, sibuk memainkan game di ponsel masing-masing.
"Yes! Kena!" seru Jelita sambil tertawa puas.
Tapi tiba-tiba, Dara menghentikan permainan. Jemarinya berhenti di atas layar, dan ia menguap kecil sambil memegangi perut.
"Yah, Dara! Kenapa berhenti? Lagi asyik juga ini, musuhnya masih hidup tuh!" protes Jelita kesal.
Dara melirik sahabatnya dan menjawab malas, "Aku lapar, Lit."
Jelita mengangkat alis, lalu ikut memegangi perutnya. "Ah, bener juga. Aku juga pengen makan sesuatu."
"Kamu mau makan apa?" tanya Dara sambil menutup aplikasinya.
"Hmm, apa aja deh. Tapi kalau ada terang bulan cokelat, aku maunya itu!" ucap Jelita sambil membayangkan manisnya cokelat leleh dan tekstur lembut adonannya.
Dara tertawa geli. "Mana ada rumah sakit jual terang bulan, Jelita. Itu mah makanan abang-abang di pinggir jalan!"
Dara tertawa geli. "Mana ada rumah sakit jual terang bulan, Jelita. Itu mah makanan abang-abang di pinggir jalan!"
"Ya kali ada cabangnya di sini." gumam Jelita tidak rela mimpinya dibatalkan begitu saja.
Lalu ia menatap pintu kamar dengan kesal. "Lagian, mana sih kakak-kakak kembarku itu? Dibilangin bawain terang bulan, malah nggak balik-balik. Dasar ninja telat janji!"
Dara berdiri dan merapikan jaketnya. "Ya udah deh, aku keluar dulu cari makan di bawah. Siapa tau ada yang buka di sekitar rumah sakit. Mau nitip sesuatu?"
Jelita berpikir sejenak, lalu berkata, "Kalau nemu terang bulan, angkut dua. Kalau nggak ada, roti cokelat pun jadi."
"Sip, Madam Zombie Amnesia. Tunggu di sini, jangan kabur ke atap rumah sakit ya."
"Heh! Aku pasien, bukan ninja!"
Keduanya tertawa pelan, berusaha tidak membangunkan dua sahabat mereka yang tertidur pulas.
Lalu Dara keluar dari ruangan Jelita.
Dalam kesendiriannya, Jelita bersandar pada ranjang rumah sakit, lampu redup menemani lamunannya yang semakin dalam.
"Woy! Jelita Yunanda, hadir gak kamu? Ini gimana nasibku? Kenapa tiba-tiba ada di dunia absurd ini? Gimana caranya balik ke dunia nyata?" batinnya mulai gaduh.
Ia menutup wajahnya dengan tangan. "Astoge! mama dan papa ku yang ganteng se-Jakarta. Kak Jordi yang nyebelin tapi ngangenin. Dan tiga sahabat soplakku. Uh, aku kangen kalian semua!"
Hatinya mulai nyeri. Rasa sepi dalam tubuh yang asing ini sungguh membuatnya ingin menjerit.
Namun, tak berselang lama, pintu terbuka perlahan. Seorang laki-laki berdiri di ambang pintu. Langkahnya tenang, namun tatapannya menyimpan badai yang tak terbaca.
“Kenapa laki-laki ini datang? Sendirian pula. Mana dua kakak kembarku? Dan mana terang bulan coklatku?” batin Jelita meringis, hampir menangis.
Devano berjalan mendekat. Tatapannya dalam, seperti hendak membaca isi hati Jelita.
“Lah, dia ngapain natap aku gitu? Ku colok juga tuh mata! Apa kamu lihat-lihat! Turunin gak mata kamu itu?!” pikir Jelita sambil melotot lucu ke arahnya.
"Ada apa? Mana kedua kakak kembarku?" tanya Jelita dengan suara datar tapi penuh curiga.
Tanpa menjawab, Devano mengulurkan tangan dan mengelus kepala Jelita dengan lembut.
Jelita langsung menepis cepat. "Hello! Jangan merusak rambutku, ya. Aku gak suka kamu pegang-pegang rambutku gitu!"
Devano hanya tersenyum kecil, getir. "Tapi... dulu kamu suka aku beginiin."
Jelita mengerutkan kening. "Ha? Apa? Benarkah?" Nada suaranya naik setengah oktaf. Bingung. Ragu.
Devano menghela napas pelan, lalu duduk di tepi ranjang. Sorot matanya berubah sendu.
"Iya... Kamu dulu suka banget kalau aku elus rambut kamu waktu lagi cemberut kayak gini. Dulu kamu bakal senyum manja sambil bilang, 'Gue kan cewek manis, masa marah terus'..."
Jelita menatapnya bingung, lalu menunduk. Degup jantungnya sedikit berdebar. Namun mulutnya masih ketus.
"Cepat sembuh ya... sayang. Aku gak mau lihat kamu sakit. Aku khawatir."
Deg.
"Sa... sayang?" lirih Jelita. Wajahnya memerah, antara malu, bingung, dan jijik karena amnesia ini makin gila aja.
"Kamu siapa sih? Sok pakai sayang-sayangan."
Devano menunduk. Suaranya nyaris bergetar.
"Aku... aku..."
"Aku-aku-aku apaan? Kalau ngomong jelas dong!" bentak Jelita, sudah nyaris melempar bantal.
Devano memejamkan mata, lalu akhirnya menatap Jelita lurus-lurus, penuh keteguhan.
"Aku mohon, Jelita. Jangan mutusin aku. Aku gak mau kita putus. Aku... aku masih sayang kamu. Aku beneran sayang banget."
Jelita terdiam. Matanya membesar. Mulutnya menganga sedikit.
Dalam hatinya, ia berteriak, "HEH?! MANTANNYA JELITA?! ASTOGE! DRAMA APA LAGI NIH?! WELL... SELAMAT DATANG DI SINETRON 'CINTA DALAM AMNESIA'!"
"Jadi... kamu mantan aku?" tanya Jelita dengan nada mencurigakan, matanya menyipit curiga seolah sedang menyelidiki pelaku kejahatan di film detektif.
"No, no, no. Bukan mantan, tapi pacar," jawab Devano cepat, nada suaranya meyakinkan atau lebih tepatnya, memaksa untuk dipercaya.
Jelita menatap Devano tanpa berkedip, lalu...
“Lah ini cowok gimana sih? Tadi bilang ‘jangan mutusin aku’, berarti udah putus dong? Jadi mantan doooong... ini yang amnesia aku atau dia sih?” batinnya menjerit sambil memutar bola mata pelan.
Ia menghela napas panjang, lalu bersandar ke bantal lagi.
"Oke 'pacar' Jelita," katanya dengan nada setengah mengejek, "Kalau kamu bener pacarku, kasih aku bukti. Gimana aku tahu kalau kamu gak cuma cowok random yang tiba-tiba nonton drama Korea terus ngaku-ngaku pacar cewek amnesia."
Devano menghela napas. Ia merogoh saku jaketnya, lalu mengeluarkan ponsel.
"Aku tahu kamu gak percaya, tapi lihat ini." katanya sambil membuka galeri ponsel.
Jelita melihat layar. Beberapa foto berjejer. Ada ia dan Devano... duduk berdua di kafe, tertawa di taman, selfie dengan ekspresi konyol. Bahkan ada satu video pendek di mana Jelita, versi lain dari dirinya, berteriak, "Gue sayang banget sama cowok tampan ini, duniaaa!" sambil peluk Devano dari belakang.
Jelita membelalak.
"Oh My Good, itu aku? Kenapa aku kelihatan kayak orang jatuh cinta banget sih?! Muka ku kayak alpukat busuk kesenggol cinta," gumamnya pelan.
Devano tersenyum miris. "Kamu yang dulu lucu banget. Kamu selalu bilang cinta gak harus diumbar, tapi setiap hari kamu tetap ngumbar ke aku."
Jelita mengangguk pelan. "Ya udah deh, aku percaya, sementara. Tapi bukan karena video-video itu ya. Cuma biar gak bikin rame ruangan. Meyriska sama Tiara masih tidur tuh. Kalau mereka bangun, bisa heboh seantero rumah sakit."
Devano mengangguk penuh harapan. "Terima kasih, Jelita."
Jelita melirik. "Tapi jangan panggil aku sayang dulu. Amnesiaku gak menutupi rasa ilfeel kalau kamu buru-buru sok romantis. Paham?"
Devano tertawa kecil. "Paham, nona amnesia yang galak."
Jelita memutar bola mata lagi. "Duh, hidup macam apa sih ini, pacar misterius, sahabat yang keluar dari karakter, amnesia dadakan, dan terang bulan coklat yang tak kunjung datang. Fix, ini sinetron 700 episode. Nanti kejutan apalagi yang akan datang padaku?"
gak rela rasanya harus terpisah sama kak jordi nya 🥺