Naila baru saja turun dari bus dari luar pulau. Ia nekat meninggalkan keluarga karena demi menggapai cita-cita yang terhalang biaya. Naila lulus jalur undangan di sebuah kampus negeri yang berada di ibu kota. Namun, orang tuanya tidak memiliki biaya hingga melarangnya untuk melanjutkan pendidikannya hingga memaksanya menikah dengan putra dari tuan tanah di kampung tempat ia berasal.
Dengan modal nekat, ia memaksakan diri kabur dari perjodohan yang tak diinginkan demi mengejar mimpi. Namun, akhirnya ia sadar, biaya perguruan tinggi tidak bisa dibayar hanya dengan modal tekad.
Suatu saat Naila mencari pekerjaan, bertemu dengan balita yang keluar dari pekarangan tanpa penjagaan. Kejadian tak terduga membuat ia bekerja sebagai pengasuh bagi dokter tampan yang ditinggal mati oleh istri yang dicintainya.
#cintaromantis #anakrahasia
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon CovieVy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
17. Terbukanya Tabir
Hari-hari berlalu dengan tenang setelah insiden demi insiden yang sempat mengguncang rumah besar itu. Naila kini telah diterima sebagai bagian keluarga, setidaknya secara tidak resmi. Ia akrab dengan semua asisten rumah tangga, dan sering bercanda di dapur.
Bu Juwita pun makin sering datang, bukan hanya untuk menjenguk cucu, tapi diam-diam menyusun siasat halus. Ia selalu memuji Naila di depan Martin, menyodorkan momen-momen kecil agar putranya melihat sisi keibuan dalam diri gadis itu.
“Kau lihat sendiri, Martin. Reivan makin banyak tertawa jika bersama Naila,” katanya suatu siang sambil menyuapi Rindu yang duduk manja di pangkuan Naila.
Martin hanya mengangguk, bibirnya menyumbarkan senyum tipis tanpa memberikan ekspresi yang jelas.
Namun ketenangan itu mulai retak seiring dimulainya masa perkuliahan Naila.
Jadwal ospek yang padat dan tugas-tugas yang menumpuk membuatnya nyaris tak punya waktu bermain dengan anak-anak. Ia menitipkan anak-anak pada Bu Juwita atau Mbak Mel, ART paling muda, dan selalu pulang malam, dan pasti dalam keadaan kelelahan. Tak ada lagi dongeng sebelum tidur. Tak ada lagi sarapan buatan tangan Naila.
Dan Rindu merasa kehilangan.
Awalnya ia hanya diam. Lalu mulai susah makan. Setiap kali Mbak Mel menyuapinya, bocah itu akan menggeleng pelan dan bergumam, “Bukan Mama Naila... nggak mau…”
Martin mencoba memahami karena ia merasa kesibukan Naila seperti ini, tidak akan lama. Tapi ketika suatu malam Reivan menangis tak henti dan Rindu mulai panas tinggi, hatinya mulai goyah. Rindu dilarikan ke klinik milik Martin sendiri. Dalam tidurnya yang tak nyenyak, gadis kecil itu terus mengigau.
“Mama… Mama Naila… jangan tinggalin Rindu…”
Martin duduk di samping ranjang putrinya, memegang tangan mungil itu sambil menunduk. Dadanya sesak. Ia merasa gagal, sebagai ayah… dan sebagai seseorang yang telah membiarkan gadis itu pergi demi urusan duniawi.
Saat pulang larut malam, Naila datang tergesa ke klinik. Begitu melihat Rindu terbaring lemah, wajahnya yang lelah, menjadi semakin pucat.
“Aku… aku tak menyangka akan menjadi seperti ini, Pak,” bisiknya dengan suara bergetar.
Martin menatapnya dalam-dalam. “Jujur, aku tak sanggup menjalani ini sendirian, Naila.”
Naila tercengang. “Apa maksudnya?”
Martin berdiri, menarik napas dalam. “Menikahlah denganku, Naila.”
Naila menatapnya, seolah waktu berhenti sesaat.
“Jadi istri yang sebenarnya. Jadi ibu yang sesungguhnya buat anak-anakku. Aku tahu beasiswamu melarang pernikahan, tapi jika kamu kehilangan itu… aku tak akan keberatan membiayai kuliahmu."
"Namun, jika kamu masih ragu, kita bisa merahasiakan status pernikahan ini dari semua orang di kampusmu. Aku berjanji akan menjaga semua yang kamu perjuangkan.”
Naila hanya bisa terdiam. Di luar jendela, matahari pagi menembus kaca, menerangi wajah Rindu yang mulai tenang di ranjangnya. Suara ‘Mama…’ yang lirih kembali terdengar dari mulut kecil itu—dan hati Naila seolah runtuh bersamaan.
****************
Keesokan pagi, Naila terbangun dari tidurnya yang tak melepaskan genggamannya dari jemari Rindu, duduk di samping brangkar tempat Rindu terlelap. Hanya terdengar suara monitor detak jantung dan penyejuk udara di sudut ruangan. Naila bangkit dan segera berwudhu melaksanakan kewajibannya setiap bangun.
Naila merasa sedikit bimbang, apakah harus ke kampus atau meminta izin. Namun, dari informasi yang diberikan para senior, sebagai mahasiswa yang mendapat beasiswa, ia harus memiliki sertifikat PKMB (*ospek) ini. Namun, ia memilih untuk segera membersihkan diri ke kamar mandi.
Tak lama, setelah ia mengenakan seragam ke kampus, suara pintu terbuka membuatnya menoleh. Tampak wanita muda, cantik dan rapi, masuk dengan membawa dua kantong makanan.
"Ah ..." Naila langsung teringat siapa yang baru saja hadir ini.
“Mas ... Mas Martin?” panggilnya dari balik pintu tanpa menyadari siapa yang tengah menatapnya.
Akhirnya, ia terhenti saat matanya menangkap sosok Naila berada di dalam ruangan ini. Ia mendapat kabar dari sang ibu, bahwa Rindu, putri Martin diopname di klinik, yang biasa ia datangi, demi menemui Martin.
“Loh? Kamu?" gumam Vini, nada suaranya langsung berubah.
Tak lama, Martin pun masuk ke ruang rawat putrinya ini, menyambut Vini tanpa antusias. “Ada apa datang pagi-pagi begini?”
“Aku denger, putri kamu dirawat. Makanya, pagi-pagi aku datang untuk bawain makanan buat kamu. Kamu pasti belum sarapan,” katanya sambil menyerahkan kantong itu. “Kamu pasti capek banget, ya. Semalam menjaga putrimu?”
Martin menerima kantong itu, tapi tidak membukanya. “Terima kasih. Kamu boleh kembali, karena aku sibuk." Kantong itu diserahkan kepada Naila.
Hal ini tentu membuat mata Vini terbelalak menatap Naila yang menerima pemberiannya kepada Martin.
“Pak, semalam Rindu sedikit muntah. Apa mungkin karena efek obatnya?" Naila pun tidak begitu memperhatikan bungkusan yang telah berada di tangannya.
“Terima kasih atas informasi darimu, Nai. Aku akan cek lagi dosisnya,” ujar Martin akrab, nyaris tak mengacuhkan kehadiran Vini.
Menyadari dirinya yang tak dianggap, membuat Vini cemberut. Ia menatap Naila penuh curiga, lalu berpura-pura tersenyum manis.
“Aku dengar, kamu bekerja sebagai pengasuh di rumah Mas Martin ya? Atau sekarang udah pindah ke sini juga?”
“Aku… hanya menjaga Rindu,” jawab Naila sopan.
Martin menyadari tatapan mereka yang terlihat cukup akrab. "Apa kalian saling mengenal?"
"Wah, kamu belum tahu ya? Apa dia tidak menceritakan pernah tinggal di rumah kami?" sela Vini cepat memasang senyum semanis mungkin.
Martin menatap Naila. "Benar kah? Kenapa aku tidak tahu?"
"Wah, dia tidak menceritakan padamu ya?" Vini menaruh kedua tangan di pinggangnya mencondongkan badan ke arah Naila. "Bener-bener kamu ya? Bahkan, pakaianmu pun adalah milikku."
Martin mengerutkan keningnya. "Maksudnya?"
"Ah, iya ... Maaf, karena saya tidak terlalu banyak menceritakan kepada Bapak. Soalnya saya tak tahu harus memulai dari mana."
"Apa kamu juga tak menceritakan bahwa sebenarnya kamu kabur dari pernikahan di kampung halamanmu?" sela Vini lagi penuh siasat.
Naila menunduk. Kata-kata Vini terasa seperti tamparan yang menyayat. Ia menatap Martin sekilas, berharap pria itu tidak langsung menelan bulat-bulat tuduhan Vini. Tapi wajah Martin tetap datar, sulit ditebak apa yang ia pikirkan.
“Vini, cukup,” suara Martin terdengar tenang, tapi ada ketegasan tak terbantahkan di baliknya. “Jangan terus menyudutkan dia tempat seperti ini. Kamu benar-benar tak memiliki empati sedikit pun seperti biasanya.”
“Tapi aku hanya ingin kamu tahu saja, Mas. Bagaimana jika orang yang kamu bawa masuk ke rumahmu ternyata seorang penipu ulung? Bahkan, sekarang udah nyelonong ke klinik ini seolah-olah—”
“Dia di sini karena Rindu. Dia merawat putriku, sesuatu yang tidak pernah kamu lakukan walau walau kita saling mengenal selama bertahun-tahun,” potong Martin tajam.
Vini tercekat. Tatapannya berganti—dari congkak menjadi tersinggung. Tapi ia masih berusaha mempertahankan senyumnya.
“Baiklah. Tapi jangan bilang aku tidak pernah memperingatkanmu. Orang seperti dia… selalu punya niat tersembunyi.”
Vini berbalik pergi, tumit sepatunya berdetak nyaring di lantai. Tapi sebelum keluar dari ruangan, ia sempat berbalik, menatap Naila penuh sindiran. “Kita lihat sampai kapan kamu bisa main cantik.”
Begitu pintu tertutup, keheningan menggantung di antara Naila dan Martin.