"Jatuhkan mobilnya ke jurang sekarang juga!" Dalian mendorong pundak Ayah.
Jalanan licin membuat mobil tergelincir.
"Kyaaa!!!"
Semua orang menjerit saat mobil melaju liar menuju tepi jurang hingga ke dalam.
"Jedderr!! Jedderr!!" Petir menyambar.
Seakan meramalkan malapetaka yang akan datang.
Dan dalam kekacauan itu, terdengar suara di tengah hujan dan petir, suara yang hanya Dalian yang bisa dengar.
"Selamat datang, gadis berambut hitam."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Umi Nurhuda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Gadis itu Ternyata Masih Ingat
...Konkon~...
...Please subscribe this novel to alert updates yess......
...Aku akan sangat sangat berterima kasih untuk para pembaca yang membaca penuh cinta untuk novel ini....
...❤❤ Happy ❤❤...
...__________________________________...
Satu bulan kemudian.
Dalian kembali ke kehidupannya yang sesungguhnya. Sekolah. Cukup tenang menikmati slice of life kehidupan anak sekolah. Tanpa rasa takut akan berada di dunia yang menyeramkan lagi.
Dalian melangkah menyusuri koridor. Rambut panjangnya yang hitam keunguan berkilau lembut mengikuti gerak langkahnya. Terjuntai rapi hingga punggung bawah, rambut itu memantulkan kilau halus saat diterpa cahaya mentari.
Tapi hatinya, seperti terjebak dalam ruang lain. Bayang-bayang misteri itu masih saja tertinggal di pikirannya.
Ia sudah mencoba bertanya, menyelidik, pada Chelsey, pada Kio, pada Ayah dan Ibu. Tapi jawaban mereka semua sama: tidak tahu.
Chelsey hanya tertawa saat Dalian bertanya soal “padang bunga” atau “peri awan”. “Kamu mimpi apa sih, Dalian? Hahaha, ada-ada aja,” katanya dengan ekspresi bingung.
Ibu bahkan sempat mengira Dalian sedang stres karena dilema anak kelas 3 SMA, dan menyuruhnya minum teh herbal.
Kio? Dia malah meledek, “Kakak nonton anime kebanyakan, nih. Sampai kucing serem segala disebut-sebut.”
Tak satu pun dari mereka—tidak Chelsey, tidak Kio, bahkan tidak Ayah dan Ibu—mengingat apa yang terjadi di tempat-tempat itu. Mereka tidak mengingat mobil yang terhenti mendadak di tengah kegelapan. Tidak mengingat suara tangisan para makhluk terbang. Tidak mengingat lautan awan. Tidak mengingat makhluk gaib. Tidak juga mengingat Kaya, kucing kecil menyeramkan yang selalu menolong.
Dan bunga kecil itu, juga meninggalkan tanda tanya. Permintaan maaf? Dan terima kasih? Maksudnya apa?
Hanya Dalian.
Hanya dia yang masih menyimpan potongan ingatan itu. Kadang samar, kadang jelas seperti baru saja terjadi. Kadang muncul dalam mimpi yang membangunkannya tengah malam. Dan setiap kali ia menatap rambutnya di cermin, melihat kilau hitam yang semakin membawa kemisteriusan. Bukan hanya pada dirinya, tapi pada sesuatu yang lebih besar.
Sesuatu, yang belum selesai.
Saat kelas berlangsung, Dalian duduk di bangkunya yang dekat jendela. Angin menerpa lembut rambutnya, tapi pikirannya jauh. Tiba-tiba, seorang guru baru masuk ke dalam kelas. Wajahnya tampak asing, namun seolah akrab di hati Dalian.
"Selamat pagi, siswa-siswi. Saya guru baru kalian, Pak Pandita Wakaya," ucap pria itu dengan suara tenang, namun dalam.
Dalian menegakkan tubuhnya. Matanya terbelalak tak percaya melihat kehadiran pria itu. Mata Pak Pandita berkilat seperti perak dalam sekejap, membuat Dalian menahan napas. Ada sesuatu, sesuatu yang mengingatkannya pada Kaya, sosok manusianya.
Pak Pandita melanjutkan perkenalan dengan senyum ramah, tetapi saat matanya bertemu dengan mata Dalian, waktu seakan membeku. "Dalian" bisiknya.
Dalian terperangah. "I-iyah, Pak..."
"Aku tahu kau masih bertanya-tanya," ucapnya dengan suara nyaris berbisik, hanya Dalian yang bisa mendengar, "tentang apa yang sebenarnya terjadi."
Dalian membeku, gemetar. "Siapa dia? Mengapa dia tahu? Kaya kah?"
Dalian menelan ludah, jantungnya berpacu tak karuan. Dia mencoba menormalkan napas, namun tatapan Pak Pandita terus menusuknya, seolah membaca setiap pikirannya.
"Saya harap kita bisa belajar dengan tenang hari ini," lanjut Pak Pandita, kembali ke nada biasa, suaranya terdengar hangat dan tegas. "Mari mulai dengan perkenalan singkat."
Suasana kelas kembali normal. Siswa-siswi memperkenalkan diri satu per satu, tetapi Dalian tak mampu fokus. Tatapan matanya terus mencuri pandang ke arah Pak Pandita, mencari jawaban di balik wajah misterius itu.
Giliran Chelsey tiba, dia berdiri. "Nama saya Chelsey, Dessiana Chelsey. Hobi saya membaca, Pak."
Pak Pandita menatapnya dalam-dalam, matanya berkilau lagi, melirik Dalian yang sebangku dengan Chelsey. Seolah menyampaikan sesuatu yang hanya Dalian bisa tangkap.
"Membaca, ya? Bacalah dunia dengan hati-hati, Dalian. Banyak hal yang tak tertulis di buku." Senyumnya mengembang, tapi ada sesuatu yang menyeramkan di balik keramahan itu.
Setelah perkenalan selesai, Pak Pandita mulai mengajar. Tapi kata-katanya tak sepenuhnya biasa. Kalimat-kalimatnya terdengar seperti teka-teki.
"Sejarah adalah jalinan peristiwa yang tidak selalu dapat dipahami dengan mata telanjang," katanya, sambil menuliskan sesuatu di papan tulis—sebuah simbol aneh berbentuk lingkaran yang mengingatkan Dalian pada cahaya pohon dalam mimpinya.
Seketika, Dalian merasa ruangan itu berputar. Nafasnya memburu, merasa mual dan suara-suara di sekelilingnya memudar. Di kejauhan, ia mendengar suara yang familiar: suara Kaya.
"Dalian, kau harus ingat…"
Pak Pandita berhenti menulis, menatap Dalian lagi. "Kau baik-baik saja?" tanyanya, dengan nada yang seolah penuh makna lebih dari sekadar perhatian biasa.
Dalian yang sedikit hilang kesadaran menggigit bibir, berusaha menenangkan diri. "Saya...baik-baik saja, Pak."
Pandita tersenyum miring.
Dalian mencoba mengendalikan pikirannya yang bergejolak. Dia tidak bisa mengabaikan getaran aneh yang dirasakannya setiap kali Pak Pandita berbicara. Suara itu, mata itu—semuanya terlalu mirip dengan Kaya. Namun, ada sesuatu yang janggal. Kaya yang ia kenal dalam mimpi adalah sosok hangat, bercahaya, pelindung yang penuh perhatian.
Sementara Pak Pandita terasa... dingin, penuh teka-teki, dan menakutkan dalam diamnya.
Sepanjang pelajaran, Dalian terus mencuri pandang ke arah Pak Pandita, mencoba menemukan celah untuk memahami. Tapi yang ia dapatkan hanyalah lebih banyak kebingungan. Setiap gerakan, setiap kata yang keluar dari mulut Pak Pandita terasa dipenuhi dengan misteri yang membuat dada Dalian sesak.
Saat bel tanda istirahat berbunyi, Pak Pandita menutup buku catatannya dan berkata, "Baiklah, kita lanjutkan setelah istirahat. Dalian, tetaplah di sini sebentar. Saya ingin berbicara."
Teman-temannya menatap Dalian dengan penasaran, tapi dia hanya mengangguk lemah. Chelsey menatapnya prihatin sebelum meninggalkan kelas.
Ketika kelas kosong, keheningan menyeruak, seolah ruangan itu terputus dari dunia luar. Pak Pandita berjalan mendekat, berhenti tepat di depan meja Dalian.
"Dalian," katanya dengan suara lembut tapi penuh wibawa. "Kau masih ingat, bukan?"
Dalian menatapnya dengan mata melebar, jantungnya berdentam keras. "Kaya... itu kamu, kan?"
Pak Pandita tersenyum tipis, tapi tidak ada kehangatan di sana. "Aku adalah apa yang kau pikirkan, dan juga bukan. Pertanyaannya, Dalian, kenapa kau masih ingat?"
"Apa maksudmu?" Dalian menelan ludah, merasa ketakutan dan penasaran sekaligus. "Kenapa semua orang lupa kecuali aku?"
Pak Pandita memandang ke luar jendela, matanya kembali bersinar keperakan. "Mungkin karena kau adalah satu-satunya yang cukup kuat untuk mengingat. Atau mungkin karena ingatan itu adalah kunci yang belum siap kau buka."
Dia berbalik menatap Dalian, tatapannya dingin. "Namun, kau harus berhenti mencari. Beberapa rahasia sebaiknya tetap terkubur."
Dalian menegang. "Kamu bukan Kaya yang aku kenal... Apa yang terjadi padamu?"
Pak Pandita tersenyum samar, tapi ada rasa sakit yang terselip di matanya. "Dunia ini tidak sesederhana itu, Dalian. Kau akan segera memahami... jika kau bertahan cukup lama."
Sebelum Dalian bisa berkata apa-apa, Pak Pandita berbalik dan berjalan keluar kelas, meninggalkannya dengan lebih banyak pertanyaan daripada jawaban.
Dalian duduk membeku, sadar bahwa sosok di depannya tadi memang Kaya--dalam wujud manusianya-- tapi juga bukan. Dan yang lebih mengerikan, dia merasakan ada bahaya besar yang mengintai.
Intrik makin dalem...
Aduh, itu tuh kayak... Aaarrrgggg
Gue bisa ngerasain jantung Dalian yang literally kayak drum konser. Dan pas dia mau cium…
Rasanya epik 🤩🤩
Gue ikut amazed lihat keajaiban ini 🤩🤩
Sekarang Karel bolehlah buat Chelsey 😉
Kecil-kecil tapi impactful 👍👍👊👊
Anak-anak pecinta Studio Ghibli pasti bakal suka Luma banget. Dan dialognya tuh dapet! Lucu, ringan, tapi ada hint misterius!!
Lo kasih nuansa self-redemption yang keren. Kaya bukan cuma berubah secara penampilan, tapi juga secara batin. ❤❤
Dalian gugup sampe belepotan manggil namanya, vibes-nya tuh kayak cewek yang naksir sama kakak kelas ganteng yang tiba-tiba ngajak ngobrol. Bikin pembaca auto senyum-senyum sendiri. 🤣🤣
Gue suka banget cara lo gambarin transformasi si Pandita, dari yang mungkin dulu nyeremin jadi kayak idol Korea habis meditasi di gunung. 😘😘
Aura dia tuh bukan cuma ganteng, tapi juga kayak... soul healer gitu loh. #gulinggulingparah!!!