Felyn Rosalie sangat jatuh cinta pada karya sastra, hampir setiap hari dia akan mampir ke toko buku untuk membeli novel dari penulis favoritnya. Awalnya hari-harinya biasa saja, sampai pada suatu hari Felyn berjumpa dengan seorang pria di toko buku itu. Mereka jadi dekat, namun ternyata itu bukanlah suatu pertemuan yang kebetulan. Selama SMA, Felyn tidak pernah tahu siapa saja teman di dalam kelasnya, karena hanya fokus pada novel yang ia baca. Memasuki ajaran baru kelas 11, Felyn baru menyadari ada teman sekelasnya yang dingin dan cuek seperti Morgan. Kesalahpahaman terus terjadi, tapi itu yang membuat mereka semakin dekat.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Xi Xin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sebab #1
Keesokan harinya di rumah Felyn, jam 13:30 WIB ....
Felyn mengajak Nadin ke rumahnya karena Nadin bilang dia kesepian sendirian, jadi mereka pun akhirnya hanya berdiam diri di rumah Felyn.
Mereka sedang menonton di ruang keluarga dan sibuk dengan ponsel masing-masing.
Nadin yang duduk di lantai langsung berpindah ke sofa dan mendekati Felyn. Dia ingin menunjukkan sesuatu pada sahabatnya itu, "Fel, coba liat nih!" Nadin menunjukkan layar ponselnya.
Felyn pun menoleh dan melihat apa yang ditunjukkan Nadin dan ia terkejut.
"Loh, kok kayak gitu sih?" tanya Felyn.
Ternyata yang ditunjukkan Nadin itu adalah sebuah dress pendek berwarna merah yang cantik sekali.
"Kenapa emangnya? Kan cantik, Fel. Kamu juga kan cewe ya pake baju ginian lah sekali-kali." ucap Nadin.
"Apa bagusnya coba? Kebuka banget itu, ada-ada aja kamu!" Felyn tiba-tiba minder dan tidak setuju dengan usulan Nadin.
Mereka tengah sibuk mencari baju baru di olshop untuk acara ke toko Gramelove besok dan sekalian untuk hari senin acara di sekolah. Tapi, baju yang dipilihkan Nadin terlalu feminim untuk seorang Felyn Rosalie yang pengoleksi sweater dan kaos.
Felyn sudah berbicara dengan Nadin tentang acara Meet & Greet besok dan dia bersedia untuk ikut, makanya sekalian bawa beberapa pakaian karena menginap di rumah Felyn.
"Kalau gini mah mending kita langsung pergi ke toko baju aja, Fel." usul Nadin yang sudah muak dengan barang-barang yang ditawarkan di olshop.
Felyn tersenyum kecil, "Mau sih, Din. Cuma....kaki ku kan gak boleh dipake jalan lama-lama."
Nadin langsung murung mengingat hal itu. "Iya, aku baru ingat."
Felyn hanya bisa pasrah dan berusaha menyemangati dirinya dan Nadin. "Din, gpp. Kita kan masih punya baju yang lain, kita pake aja dulu kan gak ketinggalan zaman."
Nadin berpikir sejenak, "Emm, boleh juga sih. Ya udah, entar aku cari baju ku yang cocok di kamu aja." ucapnya sambil tersenyum.
Tak berselang lama, bel di pagar depan berbunyi ....
Felyn hendak berdiri melihat siapa yang datang, tetapi Nadin menghentikannya dan menyuruhnya duduk saja.
"Eits, aku aja yang keluar! Kamu duduk aja di sini, okey?" perintahnya sambil berjalan menuju ke pintu depan.
Karena penasaran Felyn pergi ke ruang depan dan tidak mendengarkan Nadin.
Sebelum membuka pintu, Nadin mengintip dari jendela dan ia melihat siapa yang datang. "Emm, wajahnya seperti tidak asing." lalu dia pun membuka pintu dan keluar dari rumah.
Saat Nadin membuka pagar, ia sontak terkejut karena orang yang ada di depannya adalah...."Es batu?!" wajahnya terkejut.
Mendengar suara Nadin yang nyaring, Felyn pun menyusul keluar dengan perlahan menggunakan tongkat kruknya itu.
Morgan tidak terkejut melihat bukan Felyn yang menyambutnya, "Oh, lo lagi di sini."
"Hah? Ngapain lo ke sini? Mau gangguin Felyn, ya? Jangan macam-macam lo!" tanya Nadin dengan wajah sinis.
Felyn langsung menghampiri mereka dan juga terkejut melihat Morgan. "Loh, Morgan? Ngapain ke sini?"
"Entah, gak jelas banget. Udah, Fel masuk aja ke dalam sana!" perintah Nadin dengan wajah kesal.
"Lo yang kenapa, Nadin." ucap Morgan singkat.
"Ih, gak usah ikut-ikutan lah es batu!"
Felyn menggelengkan kepalanya karena tidak bisa menghentikan sikap Nadin yang terus berpikiran negatif dengan Morgan.
"Gue tidak ada urusan sama lo!" ucap Morgan singkat. Lalu ia langsung memberikan sebuah paper bag kepada Felyn tanpa berbicara apapun lagi.
Felyn melihat isi paper bag itu, tetapi masih ada sebuah kotak di dalamnya. "Apa ini?" tanya Felyn.
"Kamu pasti butuh itu, jadi jangan dibuang!" jawabnya pelan.
Nadin yang penasaran juga melihat isi paper bag itu dan menanyakan hal yang sama seperti Felyn. "Eh, es batu! Lo ngasih apaan sih? Jangan yang aneh-aneh ya!"
Morgan mengangguk pelan seraya naik ke motornya, "Sudah!" ucapnya sambil mengenakan helmnya.
Saat Felyn baru ingin mengucapkan terima kasih walau tidak tahu apa yang diberikan Morgan padanya, Morgan langsung pergi tanpa mengucapkan apapun lagi.
"Ih, emang gak jelas banget tu anak." ucap Nadin dengan wajah kesal.
"Ya udah, kita masuk aja ke dalam lagi!"
Felyn dan Nadin pun bergegas kembali masuk ke dalam rumah setelah Morgan pergi.
Setelah pergi dari rumah Felyn, Morgan mengendarai motornya ke arah yang berbeda dengan arah ke apartemennya. Jalan yang ia lewati terlihat sepi, padahal gedung tinggi berjajar di sisi kanan dan kiri jalan. Dan hari masih terang, sangat tidak masuk akal hal itu terjadi apalagi di tengah kota seperti itu.
Morgan tampak sudah hafal dengan jalan yang tengah ia lewati itu. Jalan itu hanya ada dua arah yang lurus ke depan, jika malam hari tentu saja tempat itu biasanya diisi oleh anak geng motor atau bahkan kelompok yang punya catatan kriminal kelas kakap.
Apartemen Wira, 14:30 WIB .....
Seperti biasa yang Wira lakukan hanya bersantai di depan tv nya, tanpa mengerjakan kegiatan apapun yang lebih bermanfaat.
Tak lama, ada sebuah pesan masuk ke ponselnya, ia pun langsung memeriksanya.
Morgan mengirimnya suatu hal yang membuatnya naik pitam, oleh karena itu ia langsung bergegas mengganti pakaiannya dan mengambil kunci mobilnya untuk keluar menemui Morgan.
"Awas aja lo macam-macam sama Felyn, dasar es batu kutub utara!" ucap Wira seraya keluar dari apartemennya dan langsung bergegas turun ke lantai paling dasar untuk mengambil mobilnya menggunakan lift.
Kembali ke Morgan ....
Morgan duduk bersandar di motornya seraya memutar-mutar pisau lipat yang selalu ia bawa untuk menjaga diri. Itu pelajaran yang dia dapatkan selama bersekolah di sekolah militer. Biasanya Morgan menyimpannya di sepatu saat di sekolah dan juga di kantong celananya kalau di jam luar sekolah.
"Sudah jelas reaksinya akan berlebihan lagi, tapi itu semua terjadi karena kesalahannya sendiri." ucapnya datar.
Setelah kurang lebih 15 menit menunggu, akhirnya tampak dari jauh sekitar 50 meter dari depan sebuah mobil yang dikendarai Wira. Tetapi mobilnya berhenti di tengah sana, Morgan sudah memperhatikan sejak tadi tetapi Wira tak juga datang menghampiri dengan mobilnya itu.
Ternyata Wira tengah bersiap-siap melepaskan kendali untuk menabrak Morgan yang sudah terlihat di depan matanya.
"Lebih baik mati saja sana! Kenapa masih mengganggu hidupku." ucap Wira dengan wajah kesal sambil bersiap melepas kendali mobilnya. Bahkan sudah terdengar suara mobil yang semakin keras, tetapi Morgan tetap duduk dengan tenang.
Akhirnya emosinya meledak, Wira mengendarai mobilnya dengan kecepatan tinggi ke depan dan terlihat jelas Morgan yang masih tetap tenang.
Morgan lebih mengenal Wira dari siapapun, karena mereka sudah seperti adik kakak yang tumbuh besar bersama setelah Wira kembali ke Australia. Ia sangat yakin kalau Wira akan langsung menghentikan mobilnya tepat di depannya, bahkan tidak akan menyentuh 1 cm pun ke tubuhnya.
Ternyata benar saja, Wira langsung menginjak rem dan menghentikan mobilnya tepat di depan Morgan, lalu ia pun langsung menghampiri Morgan dengan wajah kesal.
"Kenapa lo gak bergerak?" tanya Wira.
Morgan hanya tersenyum kecil, "Gue lebih tahu lo bahkan dari orang tua lo, Wira." jawabnya. "Rasa bersalah lo akan lebih besar kalau lo berhasil membunuh gue, makanya lo berhenti." lanjutnya.
"Omong kosong apa yang lo ucapin? Lo kira gue gak bisa bunuh lo? Gue bisa, tapi gue mikir lebih baik lo mati setelah semua ini selesai."
Morgan mengangguk lalu menyimpan kembali pisau lipatnya di kantong celananya. "Iya, lo benar. Orang sudah mati, berarti kehidupannya sudah selesai."
Wira mengepalkan kedua tangannya, "Di mana Felyn?" tanya Wira.
"Lo gak ngerti apa yang gue bilang?" tanya balik Morgan.
"Apa maksud lo?"
"Gue bilang, TADI gue sama Felyn, kalau sekarang ya gue udah gak sama dia." jelas Morgan dengan wajah dinginnya.
Wira kesal, karena dia ternyata salah membaca chat yang dikirim Morgan tadi. "Lo!....mau lo apa sih?!" Nada suaranya meninggi.
Morgan melangkah ke depan, "Gue? Apa yang gue mau?"
Ia berhenti berjalan tepat di hadapan Wira yang tampak menahan emosinya, sedangkan Morgan masih bersikap tenang.
"Yang gue mau....lo yang harusnya pergi dari Felyn!" ucap Morgan.
Sontak Wira terkejut mendengar ucapan tersebut dan terdiam. Tubuhnya seketika kaku, mulutnya seperti membeku, tangan yang tadinya ia kepal lalu ia lepaskan. Seakan apa yang dikatakan Morgan adalah kenyataan dan dialah yang seharusnya kembali ke rumahnya.
BERSAMBUNG .....