Setiap kali Yuto melihat bebek, ia akan teringat pada Fara, bocah gendut yang dulunya pernah memakai pakaian renang bergambar bebek, memperlihatkan perut buncitnya yang menggemaskan.
Setelah hampir 5 tahun merantau di Kyoto, Yuto kembali ke kampung halaman dan takdir mempertemukannya lagi dengan Bebek Gendut itu. Tanpa ragu, Yuto melamar Fara, kurang dari sebulan setelah mereka bertemu kembali.
Ia pikir Fara akan menolak, tapi Fara justru menerimanya.
Sejak saat itu hidup Fara berubah. Meski anak bungsu, Fara selalu memeluk lukanya sendiri. Tapi Yuto? Ia datang dan memeluk Fara, tanpa perlu diminta.
••• Follow IG aku, @hi_hyull
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hyull, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 25 | Obrolan yang Mendalam
Fara masih terpaku. Genggaman Yuto begitu hangat, lembut, dan tatapannya juga menancap lembut di tengah bola matanya. Jantungnya berdetak cepat, isi kepalanya mendadak berisik kali. Ia menatap wajah Yuto lekat-lekat, mencari tanda apakah ini candaan, atau hanya gombalan yang biasa terlontar dari mulut cowok yang cuma main-main, tapi tidak mungkin, ini Yuto dan dia tak mungkin main-main.
Tak ada senyum nakal di wajah itu. Yang ada hanya ketulusan, sepasang mata yang jujur menyampaikan perasaannya.
"*Abang suka sama Fara*."
Kata-kata itu kembali terngiang dalam benak Fara. Perlahan, tanpa sadar, senyum kecil timbul di wajah Fara. Senyum yang malu-malu dan kikuk. Lalu ia menunduk, menatap jemari mereka yang masih bertaut. Rasanya… aneh. Tapi aneh yang menyenangkan. Ia menyukai hangat tangan Yuto. Kayak minum teh manis panas saat hujan deras.
Tapi belum sempat ia bicara, suara lain muncul dalam kepalanya.
"*Tahu diri dikit, kau. Muka kayak kau kok suka sama dia*."
"*Ya tapi kau sadar diri juga, lah. Dia terlalu sempurna untukmu. Kau pendek, gendut kek gini kok berharap bisa dapetin dia*."
Kata-kata Karin meluncur masuk, seperti menusuk perlahan. Fara mengangkat pandangan, tatapannya kini sedikit ragu. Dada yang tadi hangat kini terasa sedikit sesak.
Ia tahu Karin tidak mengatakannya langsung padanya, tapi Fara masih ingat betul nada dan cara bicaranya. Dan meskipun waktu itu Karin mengatakannya kepada Pipin, entah kenapa, sekarang kata-kata itu seperti lebih cocok ditujukan kepada dirinya.
*Apa iya... cowok kayak Bang Yuto beneran suka sama cewek kayak aku*?
Fara menghela napas, dan tanpa sadar ia menarik tangannya pelan dari genggaman Yuto.
"Fara…" tegur Yuto, langsung menyadari perubahan ekspresinya.
"Maaf, Bang," kata Fara pelan. Ia menghindari tatapan Yuto, bukan karena marah, tapi karena takut kalau ia menatap terlalu lama, pertahanannya jebol.
"Fara bingung, Bang. Kita baru ketemu lagi, baru pun tiga hari. Masa iya abang suka sama Fara?" ungkapnya, seperti berbisik.
Yuto tersenyum tipis. “Bukan tiga hari, Fara…” balas Yuto lembut. “Jauh lebih lama dari itu.”
Gerak mata Fara terhenti, tak mengerti perkataan itu. “Jauh lebih lama? Maksudnya?”
Yuto menghembuskan napas panjang. “Abang juga nggak tahu kapan tepatnya. Tapi… abang suka sama Fara bukan dalam tiga terakhir ini. Jauh sebelum itu, abang udah suka.”
Semakin bingung si Fara. “Maksudnya apa, Bang…” Suaranya pun terdengar frustasi. Bukan frustasi karena ungkapan suka itu, tapi frustasi karena hatinya tersentuh, tetapi akalnya menolak untuk percaya.
Yuto maju selangkah lebih dekat. Ingin sekali meraih tangan itu lagi, tapi ia tak ingin membuat Fara tidak merasa nyaman usai tadinya Fara menarik diri.
“Abang masih ingat kali, waktu dulu Fara ikut kami berenang. Fara pakai baju renang, gambar bebek, perut Fara buncit,” Yuto menahan bibirnya untuk tak tersenyum. “Waktu itu Fara lagi makan bakwan. Abang bahkan masih ingat kali, bibir Fara yang berminyak. Fara betul-betul nggak peduli sama sekitar, cuma fokus sama bakwan.”
Kening Fara berkerut. Ia bahkan tidak mengingat masa itu. Pasti sudah lama kali, tetapi Yuto mengingat setiap detailnya.
“Tahu nggak, momen itu menetap di ingatan abang bahkan selama abang di Kyoto. Tentu nggak hanya itu, tapi ada banyak lagi. Semua momen kita di masa lalu, sebelum abang terbang ke Kyoto, selalu menemani hari-hari abang di sana. Walaupun nggak ada interaksi yang terlalu berarti di antara kita, rasa bahagia yang abang rasakan begitu penuh. Cukup dengan memikirkan Fara, mengingat wajah Fara, juga mengingat kebiasaan Fara, entah itu Bebek dan Bakwan, abang pasti langsung jadi semangat.”
“Hidup abang selama di Kyoto nggak semudah itu. Kuliah di sana ketat, setiap waktu hanya belajar, terkadang bikin muak. Tapi, abang temukan cara untuk melepas tekanan itu.”
Yuto menatap Fara lebih dalam.
“Abang akan fokus memikirkan Fara. Abang coba ingat, seperti apa wajah Fara, pipi tembam ini…”
Tatapannya jatuh ke pipi Fara yang berisi.
“Mata bulat ini…”
Lalu lanjut ke sepasang mata besar Fara yang kini sedikit membelalak, jelas terkejut dengan pengakuan panjang itu.
“Dan bibir mungil ini…”
Pandangan Yuto turun perlahan, berhenti di bibir Fara yang sedikit terbuka karena gugup. Ia tersenyum kecil, tanpa bermaksud membuat Fara semakin salah tingkah.
“Herannya, abang nggak pernah lupa satupun dari semua itu,” lanjutnya pelan. “Setiap detail wajah Fara, entah kenapa, tetap tinggal di kepala abang… bahkan setelah kita terpisah jauh.”
Fara tak tahu mengapa, matanya memanas. Ia benar-benar tersentuh, tak menyangka, dirinya yang ia pikir tak diharapkan bahkan oleh keluarganya, ternyata begitu didamba oleh seseorang, dan Yuto orangnya. Seseorang yang dirinya tak berani walau hanya sekadar untuk menghayal.
“Bang…”
“Abang serius, Fara,” Yuto menyela, ingin memperkuat perkataannya. Ia tidak ingin ada keraguan di dalam diri Fara.
Fara menunduk sejenak. Dadanya sesak, bukan karena sedih, tapi karena terlalu terharu. Terlalu tersentuh.
Bagaimana mungkin ada seseorang yang bisa mengingat dirinya hingga sedalam itu? Dirinya yang selama ini seperti bayangan, yang selalu disepelekan, justru jadi pusat ingatan seseorang yang selama ini ia pikir sangat tidak mungkin melakukan itu.
Air mata nyaris jatuh, ia juga tidak tahu mengapa, tetapi Fara buru-buru menengadah. Ia tidak ingin menangis. Tentu akan sangat malu.
“Kenapa, Bang?” bisiknya, hampir tak terdengar. “Kenapa Fara? Fara ini kan… nggak menarik. Fisik jauh dari sempurna, muka Fara juga… nggak cantik, dan… bukan kayak cewek yang biasanya disukai cowok di luar sana.”
Yuto tersenyum lembut. Ia tahu itu suara hati Fara yang paling jujur, suara yang mungkin telah lama ditekan dan dilukai oleh pandangan orang lain.
“Justru itu,” jawab Yuto pelan. “Itu yang buat abang suka sama Fara. Fara punya cara sendiri untuk bikin orang nyaman. Bikin abang ngerasa kayak... pulang.”
Fara menggigit bibir bawahnya, menahan air mata yang masih berusaha ingin turun. Ia ingin percaya. Ingin sekali. Tentu ia menginginkan hal seperti ini untuk hidupnya yang hampa. Tapi sialnya, perkataan Karin kembali muncul seperti kilatan petir di pikirannya.
"*Tahu diri dikit, kau. Muka kayak kau kok suka sama dia*."
Kata-kata itu kini bergema jauh lebih keras di dalam kepalanya, membuatnya refleks mundur selangkah. Ia menatap tangannya sendiri, mencoba menenangkan isi kepalanya, lalu kembali menatap Yuto. Seketika kebingungan yang sempat ia rasakan, terhempas oleh tatapan teduh yang menghangatkan hati dengan ketulusan yang terpancar dari wajah Yuto.
“Abang kasihan sama Fara?” tanyanya. Hatinya perih saat mengatakan itu. Ada rasa takut, takut jika Yuto mengatakan ‘iya’.
Yuto diam beberapa saat, membuat jantung Fara berdebar kacau. Ia yang menanyakan itu, tetapi ia benar-benar tidak berharap Yuto mengiyakannya. “Abang suka sama Fara, dan mungkin kalau Fara izinkan abang untuk mendekati Fara, abang yakin abang bisa temukan cinta di antara kita.”
Merinding sekujur tubuh Fara. Napasnya sampai tertahan saking terkejutnya dengan satu kata itu. Cinta.
Yuto maju lagi setengah langkah, lalu berhenti. Masih memberi Fara ruang untuk merasa aman.
“Fara… perasaan abang ini bukan perasaan sementara. Abang nggak main-main. Justru, selama ini abang yang ngerasa nggak pantas buat Fara. Apa abang udah cukup baik, apa nanti bisa bahagiakan Fara, bisa terus bikin Fara tersenyum, atau lebih baik lagi tertawa.”
Mata Fara melebar sedikit, tak percaya dengan pengakuan itu.
“Abang takut Fara terlalu baik buat abang, karena abang tahu, Fara memang baik kali,” lanjut Yuto, suaranya semakin rendah. “Fara terlalu tulus, terlalu bersinar. Abang cuma cowok biasa yang bahkan dulu nggak tahu gimana cara ngungkapin semuanya. Tapi sekarang abang tahu, kalau abang nggak berani ngomong, Fara nggak akan pernah tahu, dan abang nggak akan pernah bisa memiliki Fara.”
Fara terdiam. Kali ini, benar-benar terdiam. Tak ada lagi kata. Hanya degup jantungnya sendiri yang terasa memekakkan telinga.
.
.
.
.
.
Continued...
.
.
.
Jangan lupa like, follow, dan komen dong kakak...