Level Up Milenial mengisahkan Arka, seorang guru muda berusia 25 tahun yang ditugaskan mengajar di SMA Harapan Nusantara, sekolah dengan reputasi terburuk di kota, dijuluki SMA Gila karena kelakuan para muridnya yang konyol dan tak terduga. Dengan hanya satu kelas terakhir yang tersisa, 3A, dan rencana penutupan sekolah dalam waktu setahun, Arka menghadapi tantangan besar.
Namun, di balik kekacauan, Arka menemukan potensi tersembunyi para muridnya. Ia menciptakan program kreatif bernama Level Up Milenial, yang memberi murid kebebasan untuk berkembang sesuai minat mereka. Dari kekonyolan lahir kreativitas, dari kegilaan tumbuh harapan.
Sebuah kisah lucu, hangat, dan inspiratif tentang dunia pendidikan, generasi muda, dan bagaimana seorang guru bisa mengubah masa depan dengan pendekatan yang tak biasa.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ahmad Rifa'i, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pertemuan Yang Lebih Dalam
Hari kedua.
Kupikir mereka akan kalem setelah hari pertama yang… luar biasa kacau itu. Tapi ternyata aku salah besar. Kelas 3A seperti taman hiburan berjalan: selalu ada kejutan, selalu ada kehebohan." gumam Arka.
Begitu Arka masuk kelas pagi itu, Arka disambut dengan suasana hening yang mencurigakan.
Terlalu hening.
Lalu tiba-tiba—DUAR!—sebuah balon air meledak tepat di depan pintu. Bukan mengenai aku, tapi cukup dekat untuk membuat celana panjangku basah.
"siapa yang melakukan ini." ucap Arka.
Seketika seluruh kelas tertawa bergemuruh. Jaka berdiri dari balik lemari, mengenakan helm proyek dan berkata, “Selamat datang di zona perang, Kapten Arka!”
"jadi kamu yang melakukan ini Jaka ?" tanya Reza.
"benar komandan, ini adalah tanda bahwa kita menyambut guru baru."ucap Jaka memberi hormat.
"kau melakukanya diam-diam tanpa perintah ketua kelas, Push Up kamu 10 kali !" teriak Reza dengan lantang.
"siap komandan !" teriak Jaka merangkak ke lantai sekolah.
Aku menatapnya datar. “Ini kamu yang bikin?”
“Bukan, Pak. Kami tim. Semua aksi harus kolektif. Kami memegang prinsip demokrasi.” ucap Toni.
"sepertinya anak ini berbakat menjadi politisi." gumam Arka.
Arka tak bisa memarahi mereka, Arka hanya bisa berlatih sabar dengan semua sifat keunikan mereka.
“Jadi kamu ketuanya?”
“Kalau itu... iya.” Senyumnya lebar, bangga.
Hari itu, aku memutuskan untuk mencoba lebih dekat. Bukan hanya sebagai guru, tapi sebagai manusia yang ingin mengenal mereka satu per satu.
Aku mulai dari Jaka.
Anak yang paling heboh di kelas, suka membuat keributan, tapi punya kepemimpinan alami yang tak bisa dipungkiri. Di sela-sela obrolan, aku tahu kalau ayahnya sopir truk dan ibunya bekerja sebagai buruh cuci. Jaka membantu ekonomi keluarga dengan menjadi kuli pikul di pasar setiap liburan akhir pekan.
“Makanya helm militer selalu ready,” katanya sambil nyengir.
Lalu aku bicara dengan Sari, si cewek yang menyukai menulis di sebuah kertas kemarin. Ternyata dia penyuka puisi, penggemar Shakespeare, dan sedang belajar menulis naskah drama untuk lomba tingkat kota. Tapi dia tidak pernah mengirim karyanya.
“Buat apa, Pak? Orang-orang udah anggap kami gagal duluan.”
Dan di situlah hatiku sedikit tercekat.
Mereka tertawa keras, bertingkah gila, dan seperti tidak peduli. Tapi dalamnya? Ada luka. Ada rasa ditolak. Dicap. Dibuang oleh sistem yang harusnya menaungi mereka.
Aku bertemu Andi juga, anak paling pendiam di kelas. Duduk di pojokan, selalu menunduk. Tapi saat aku duduk di sebelahnya dan bertanya soal hobi, dia langsung berbinar.
“Saya suka pelajaran kimia pak, cita-citaku menjadi seorang dokter Pak, apakah bapak ingin aku suntik sebagai bahan percobaan ?” ucap Andi mengeluarkan sebuah jarum suntik.
“Pernah ikut Olimpiade ?”
Andi menggeleng. “Ngga pede, Pak. Saya kan… dari sekolah rusak kayak gini.”
Hari itu, aku duduk bersama mereka. Bukan mengajar, tapi mendengar.
Dan dalam keheningan yang tidak biasa di kelas 3A, aku melihat sesuatu yang belum pernah kutemukan sebelumnya:
Sekelompok anak-anak hebat yang selama ini cuma butuh satu hal ruang, untuk jadi diri sendiri.
Sebelum pulang, aku menulis di papan tulis besar-besar:
“Mulai minggu depan, kita akan bikin proyek bareng. Namanya: LEVEL UP MILENIAL.”
Sontak mereka ribut lagi.
“Apa tuh, Pak?”
“Kaya game, ya?”
“Pakai XP segala nggak tuh?”
“Boleh pakai cheat?”
Aku tertawa. “Tenang, besok kita bahas. Tapi satu hal yang pasti… ini bukan kelas biasa lagi. Dan kalian, bukan murid biasa.”
Mereka bersorak. Entah karena semangat… atau karena berharap tidak akan ada ujian.
Tapi aku tahu, hari itu adalah awal dari perubahan.
"Perlahan… tapi pasti." gumam Arka tersenyum.
...----------------...
Hari-hari berikutnya jadi lebih... berwarna.
Setiap pagi, Arka datang dengan satu misi sederhana, menyelami dunia mereka. Bukan cuma soal pelajaran, tapi juga soal kehidupan mereka yang aneh, lucu, kadang absurd, tapi selalu jujur.
Hari Selasa, Jaka datang ke sekolah dengan membawa helm militer dari rumahnya. Dia bilang biar bisa “belajar dengan semangat !”.
Deri adalah murid yang pintar dalam masalah bisnis, ia maju kedepan memperagakan bagaimana cara menjadi marketing. Ia menatap pak Arak dan berkata."bagaimana cara ku dalam marketing pak ?" tanya nya.
"kamu hebat Deri." ucap Arka terkesima dan tersenyum.
"kalau begitu, bolehkah aku menjual rumahmu pak ?" ucap Deri sambi menjulurkan tanganya.
Arka terdiam dan menurunkan bibir yang tersenyum itu dengan wajah yang datar. "engak, makasih."
Hari Rabu, Amira yang jago dalam puisi dan menulis, ia mempresentasikan menjadi konspirasinya soal alien penculik guru. Di bantu Reza yang jago mengedit video, Disertai PowerPoint dan efek suara dramatis.
Hari Kamis, sinta meletakan hasil rancangan bangunan yang ia buat ia menjelaskan menggunakan mic kabel. Seluruh kelas diam. Bukan karena mereka menghayati, tapi karena speaker-nya nyetrum meja besi.
Hari Jumat, Lia yang melakukan aksi drama horornya, membuat kelas menjadi hening dan ketakutan, ia memperagakan sesosok orang yang sedang kesurupan. Dengan wajah yang pucat, dan menyenter kan wajahnya dengan senter.
Tapi yang paling mengejutkan? Mereka mulai mendekatiku. Bukan sebagai guru yang harus ditakuti, tapi sebagai orang dewasa yang mereka percaya bisa mendengar.
Satu sore sepulang sekolah, aku duduk di taman kecil yang nyaris tak terurus di samping ruang guru. Di sana, aku mendapati Dina sedang duduk sendiri, melukis di atas kardus bekas.
Aku mendekat pelan. “Kamu sendirian?”
Dia mengangguk. “Lagi bikin ilustrasi mimpi, Pak.”
Aku duduk di sebelahnya. “Mimpi kamu apa?”
Dina diam sebentar. “Jadi desainer profesional. Tapi kayaknya ngimpi aja, sih.”
Aku menatap hasil gambarnya, seorang perempuan terbang dengan sayap kertas di atas sekolah yang terlihat hancur. Tapi wajah si perempuan tersenyum, seolah tahu dunia bisa berubah kalau dia terus melukis.
“Kamu tahu, Dina,” kataku sambil tersenyum, “semua hal besar dimulai dari mimpi. Termasuk sekolah ini. Dan kita-kita sedang mulai bangunin mimpinya.”
Dia tersenyum kecil. “Bapak beda dari guru yang lain.”
Aku tertawa pelan. “Mungkin karena saya juga masih belajar.”
Hari itu, aku pulang dengan satu tekad: proyek Level Up Milenial bukan cuma jadi cara agar mereka belajar, tapi juga jadi tempat mereka menanamkan kembali harapan.
Aku tahu ini tidak akan mudah. Akan banyak kekacauan. Akan ada saat di mana mereka ingin menyerah, mungkin aku juga.
Tapi saat melihat mereka tertawa, berkreasi, bahkan hanya saling mendengar... aku sadar: sekolah ini belum mati. Mereka belum gagal. Mereka cuma belum dikasih kesempatan.
"Dan aku di sini bukan untuk menyelamatkan mereka, aku di sini untuk berdiri di samping mereka. Sebagai guru, sebagai teman, dan mungkin… sebagai bagian dari kegilaan itu sendiri." gumam Arka.