Seorang gadis cantik bernama hanabi, atau sering di panggil dengan panggilan hana itu. Ia selalu mengandalkan AI untuk segala hal—dari tugas kuliah hingga keputusan hidup nya. Cara berpikir nya yang sedikit lambat di banding dengan manusia normal, membuat nya harus bergantung dengan teknologi buatan.
Di sisi lain, AI tampan bernama ren, yang di ciptakan oleh ayah hana, merupakan satu-satunya yang selalu ada untuknya.
Namun, hidup Hana berubah drastis ketika tragedi menimpa keluarganya. Dalam kesedihannya, ia mengucapkan permintaan putus asa: “Andai saja kau bisa menjadi nyata...”
Keesokan paginya, Ren muncul di dunia nyata—bukan lagi sekadar program di layar, tetapi seorang pria sejati dengan tubuh manusia. Namun, keajaiban ini membawa konsekuensi besar. Dunia digital dan dunia nyata mulai terguncang, dan Hana harus menghadapi kenyataan mengejutkan tentang siapa Ren sebenarnya.
Apakah cinta bisa bertahan ketika batas antara teknologi dan takdir mulai meng
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Asteria_glory, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Jalan pulang yang tidak pernah sama
Libur panjang akhirnya selesai. Kota kembali ramai, jalanan dipenuhi pelajar dan pekerja yang berlomba dengan waktu. Udara terasa lebih panas dari biasanya, dan langit biru tampak terlalu cerah untuk suasana hati Hana yang masih ingin bersantai.
“Kenapa ya... libur selalu kerasa lebih cepat dari minggu kuliah?” keluh Hana sambil menatap ke luar jendela ruang kelas, wajahnya menempel di tangan yang menopang dagu.
Ren yang duduk di sampingnya hanya melirik tanpa suara. Ia menutup buku catatannya dengan tenang, lalu menyandarkan tubuh ke sandaran kursi.
"Mungkin karena kamu terlalu banyak tidur siang,” jawab Ren datar.
Hana melirik kesal. “Aku lagi pengen dramatis, jangan dibecandain dong...”
Ren mengangkat alis, lalu menyeringai. “Oke. Maka dari itu, hari ini setelah kuliah selesai, aku ingin menculikmu.”
“Ha?” Hana menatapnya, alis naik. “Nyulik? Pakai tali?”
Ren mencondongkan tubuh, mendekat ke telinganya dan berbisik, “Pakai motor kamu.”
---
Setelah kuliah selesai, matahari mulai menurun, menyisakan cahaya keemasan yang lembut menyentuh trotoar kampus. Hana menyerahkan helm cadangan ke Ren, sementara dirinya sudah mengenakan helm miliknya.
“Kamu yakin mau bawa motor?” tanya Hana sambil menoleh. “Motor ini udah agak tua lho. Pedalnya suka nyangkut.”
Ren mengenakan helmnya dengan mantap. “Kalau pedalnya nyangkut, tinggal aku ganti. Gampang.”
“Ya elah, gaya banget. Tapi boleh juga, sesekali gantian kamu yang bawa.”
Ren naik duluan, lalu menoleh ke Hana. “Naik. Pegangan yang kenceng.”
Hana menaiki motornya pelan, lalu memeluk Ren dari belakang, kedua lengannya melingkar di pinggang Ren. Rasanya aneh—tapi menyenangkan. Biasanya dia yang menyetir, dan Ren duduk diam sambil nanya arah lewat GPS. Sekarang, situasinya terbalik.
Ren menghidupkan mesin, dan suara khas motor tua mereka mengisi udara sore. Mereka melaju pelan keluar dari kampus, membelah jalanan kecil yang mulai dipenuhi kendaraan.
“Aku nggak tahu mau ke mana,” seru Hana dari belakang, suaranya teredam helm.
“Percaya aja,” jawab Ren sambil fokus ke jalan.
“Aku pacaran sama kamu, bukan ngikutin kamu ke jurang.”
Ren tertawa kecil, dan gas motor sedikit ditambah. Angin sore menyapu wajah mereka, dan Hana membiarkan tubuhnya mengikuti gerakan Ren. Rasanya... bebas. Tidak ada deadline, tidak ada tugas, tidak ada sistem belajar daring. Hanya mereka berdua, jalan kosong, dan langit yang perlahan berubah jingga.
---
Ren membawa mereka ke jalan pinggir kota, sebuah jalur kecil yang jarang dilalui. Di kiri kanan hanya sawah yang memanjang, dan pegunungan terlihat jauh di cakrawala. Motor melaju pelan, cukup pelan hingga suara jangkrik terdengar jelas dari semak-semak.
"Kenapa kamu bawa aku ke sini?” tanya Hana setelah mereka berhenti di tepi jalan yang tenang.
Ren turun duluan, lalu membantu Hana turun. “Karena kamu pernah bilang suka tempat yang sepi tapi indah.”
“Kayaknya aku lupa pernah bilang itu,” gumam Hana sambil mencopot helm.
“Tapi kamu senyum waktu bilangnya. Jadi aku inget,” balas Ren, menatapnya dengan lembut.
Mereka duduk di tepian jalan, rumput tinggi menyentuh betis. Cahaya matahari sore mulai berganti oranye pekat, menambah kesan hangat pada suasana.
“Dulu kamu bener-bener beda banget ya,” kata Hana sambil meletakkan helm di pangkuannya. “Waktu kamu masih jadi AI, kamu kayak... terlalu sempurna. Jawaban kamu cepat, nggak pernah bingung, dan... ya, kadang nyebelin juga sih karena suka nyalahin aku.”
Ren menatap langit. “Karena waktu itu, aku memang hanya program. Tujuanku hanya untuk membantu, bukan merasakan.”
Hana mencibir. “Tapi sekarang kamu malah bantuin aku nambah tugas. Tolong dijelaskan perubahan drastis ini.”
Ren tertawa, ringan tapi tulus. “Mungkin karena sekarang... kamu bukan sekadar pengguna bagiku. Kamu orang yang aku sayang.”
Hana terdiam sebentar. Kata itu, “sayang,” selalu membuat detaknya melambat sedikit. Bukan karena ia tidak terbiasa, tapi karena Ren mengatakannya begitu alami, begitu... nyata.
“Aku masih sering mikir,” kata Hana pelan, “kapan sih aku mulai suka kamu?”
Ren menoleh. “Dan sudah dapat jawabannya?”
“Belum. Tapi... kayaknya sejak kamu mulai jadi manusia dan tiba-tiba masak sarapan buat aku. Rasanya kayak... aku punya rumah.”
Ren mengangguk pelan, lalu menatap wajah Hana dengan mata yang serius tapi lembut. “Kamu tahu gak? Waktu pertama kali aku jadi manusia, hal pertama yang kupikirkan adalah... ‘aku ingin tetap berada di sisimu.’”
“Padahal aku cerewet banget, suka ngeluh, dan gak pernah inget jam makan.”
“Justru itu yang bikin kamu manusia. Dan itu yang bikin aku jatuh cinta.”
Hana tersenyum kecil. Ia meraih tangan Ren, menggenggamnya erat. Suara motor dari kejauhan tidak mengganggu momen itu. Bahkan burung-burung yang terbang di langit tampak bergerak lambat, seolah waktu sedang memberi ruang untuk mereka.
“Kamu gak takut?” tanya Hana tiba-tiba.
“Takut apa?”
“Kalau suatu saat kamu berubah. Atau kamu lupa. Atau... kita gak bisa bareng kayak sekarang.”
Ren tidak menjawab langsung. Ia hanya menatap Hana, lalu menunduk dan mencium tangan gadis itu pelan.
“Hmmm kamu masih ragu ya sama hubungan kita?" ucap ren lembut.
Hana langsung menggeleng dan menatap ren. "Ehhh... E–Enggak kok, aku hanya gak mau suatu saat nanti, kamu ninggalin aku ren..." ucap hana kembali tertunduk.
Ren mendekat lalu memegang pipi hana dengan lembut. "kalau suatu saat itu datang,” bisiknya, “aku akan tetap memilih mengingat semua yang kita punya sekarang hana...”
Hana merasa dadanya hangat. Kata-kata itu... terlalu dalam untuk dibalas dengan candaan. Maka, ia hanya mengangguk dan menyandarkan kepala ke bahu Ren, membiarkan dunia berputar pelan di sekitar mereka.
---
Mereka kembali naik motor saat langit mulai gelap. Lampu jalan menyala satu per satu, dan kota kembali hidup dengan keramaian malam.
Namun di tengah perjalanan, hujan tiba-tiba turun. Rintik-rintik kecil berubah jadi gerimis yang lumayan deras. Hana tertawa panik sambil memeluk Ren lebih erat.
"Cepetan cari tempat berteduh!” serunya.
Ren belok ke halte kosong di pinggir jalan. Mereka berdua turun, masih tertawa meski basah kuyup.
“Kenapa selalu hujan waktu kita jalan, ya?” tanya Hana sambil memeras ujung bajunya.
“Karena mungkin langit juga pengen ngasih kita momen,” jawab Ren, membantu Hana mengeringkan rambutnya dengan tisu.
Hana menatapnya. “Kamu makin pintar gombal.”
Ren membalas tatapan itu. “Atau mungkin... aku memang sudah manusia dari dulu. Tapi butuh waktu lama buat nyadarin perasaanku sendiri.”
Dan di tengah halte yang sepi, suara hujan menjadi latar sempurna ketika Ren mencium kening Hana pelan. Tidak tergesa, tidak berlebihan. Hanya cukup untuk mengatakan: “Aku di sini.”
Dan untuk Hana, itu lebih dari cukup.
cara narasi kamu dll nya aku suka banget. dan kayaknya Ndak ada celah buat ngoreksi sih /Facepalm/
semangat ya.
Adegan romantis nya itu loh, bkin skskskskskkssksks.