Untuk mengungkap penyebab adiknya bunuh diri, Vera menyamar menjadi siswi SMA. Dia mendekati pacar adiknya yang seorang bad boy tapi ternyata ada bad boy lain yang juga mengincar adiknya. Siapakah pelakunya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Puput, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 12
Dwiki menatap Vera dengan mata menyipit, seolah sedang mencoba membaca pikirannya. "Mikirin apa lo? Gue rasa lo lagi menyelidiki kasus Rhea. Jangan-jangan lo detektif yang nyamar jadi murid SMA?"
Vera terkekeh, lalu tertawa cukup keras. "Lo kebanyakan nonton drama." Dengan santai, dia menyandarkan punggungnya di kursi, melipat kedua tangannya, dan menatap Dwiki. "Tapi ngomong-ngomong, tadi gue denger bokap lo gak sengaja nendang lo karena mau melindungi motor butut. Jangan-jangan motor yang dimaksud itu motor gue?"
Dwiki tidak langsung menjawab. Dia hanya mengalihkan pandangannya ke arah lain, pura-pura sibuk dengan sesuatu yang tidak ada.
Melihat reaksinya, Vera semakin mendekat dengan senyum jahil. "Wah, sampai segitunya lo melindungi motor gue."
Dwiki langsung mendengus kesal. "Bukan gitu! Kalau motor lo rusak, gue gak mau lo ambil motor gue!"
Vera tertawa lepas. "Alasan!"
Dwiki hanya mendengus, tapi diam-diam, bibirnya sedikit melengkung, seolah menahan tawa.
Beberapa saat kemudian, ponsel Vera tiba-tiba bergetar di saku jaketnya. Layar menunjukkan nama Novan.
Vera melirik sekilas ke arah Dwiki yang masih diam, lalu bangkit dan berjalan keluar ruangan sebelum mengangkat panggilan itu. “Halo?”
“Kamu di mana? Kenapa gak masuk sekolah?” suara Novan terdengar sedikit khawatir.
“Aku lagi di rumah sakit. Antar Dwiki.”
“Hah? Kenapa Dwiki?”
“Dia pingsan di jalan. Aku bawa ke IGD, dan ternyata lambungnya bengkak.”
"Ya sudah, kamu ke sekolah saja. Sebentar lagi jam pelajaran pertama berakhir. Aku tunggu di dekat gerbang."
"Oke."
Setelah panggilan berakhir, Vera memasukkan ponselnya kembali ke saku dan menarik napas panjang. Lalu, dia melangkah masuk ke dalam ruangan.
Dwiki masih dalam posisi yang sama, menatap ke luar jendela tanpa ekspresi.
“Gue ke sekolah dulu,” ucap Vera sambil mengambil tasnya.
Dwiki menoleh sekilas. “Terserah.”
“Oh iya, gue bakal manggil bokap lo. Biar nemenin lo di sini."
Mendengar itu, ekspresi Dwiki langsung berubah. Rahangnya mengeras, dan sorot matanya dipenuhi ketidaksetujuan. “Jangan panggil! Gue bisa sendiri."
Vera tak menimpali lagi perkataannya. Dia melangkah keluar dari ruang rawat Dwiki.
Vera berjalan melewati koridor rumah sakit menuju taman kecil di dekat lobi. Dari kejauhan, dia melihat Pak Dodik dan mantan istrinya, Bu Tiwi, masih berbicara dengan tegang. Suara mereka terdengar cukup jelas meskipun mereka berusaha meredam nada bicara.
"Dwiki itu anakku! Aku gak akan diam kalau kamu terus menyakitinya!" suara Bu Tiwi bergetar, matanya memerah karena emosi.
Pak Dodik mendengus sambil melipat tangan di dada. "Sekarang kamu sok peduli? Aku yang besarin dia! Aku yang tahu bagaimana cara menghadapinya."
"Tapi dengan cara apa? Dengan pukulan? Dengan bentakan? Kamu pikir itu yang terbaik buat Dwiki?"
Vera menarik napas sebelum akhirnya mendekat. "Om, Tante."
Kedua orang itu menoleh bersamaan, sedikit terkejut dengan kehadiran Vera.
"Aku mau ke sekolah. Aku cuma mau bilang satu hal."
Pak Dodik mengernyit. "Apa?"
Vera menatap mereka bergantian sebelum melanjutkan, "Dwiki mungkin keliatan keras kepala, nakal, dan bandel. Tapi sebenarnya dia cuma butuh perhatian. Kalau Om dan Tante benar-benar peduli, tunjukkan ke dia. Bagaimanapun juga Dwiki adalah korban dari keegoisan Om dan Tante."
Bu Tiwi menundukkan kepala, menggigit bibirnya seakan menahan emosi. Sementara Pak Dodik masih diam, matanya menerawang ke arah ruang rawat Dwiki.
"Tolong jaga Dwiki baik-baik, sebelum Om dan Tante menyesal karena gagal menjaganya," ucap Vera sebelum melangkah pergi, meninggalkan mereka berdua dengan pikiran masing-masing.
...***...
Vera tiba di depan sekolah dan melihat Novan sudah menunggu di dekat gerbang dengan tangan di saku celananya. Begitu melihatnya, pria itu segera melangkah mendekat dan membukakan pintu gerbang untuknya.
"Aku tunggu di samping kelas," kata Novan, lalu melangkah pergi.
Vera hanya tersenyum kecil menatap Novan. "Oke."
Tanpa banyak bicara, Vera segera memarkirkan motor di area parkir. Setelah memastikan kendaraan terkunci, langkahnya menuju samping sekolah, tempat Novan sudah menunggu.
"Masih ngurusin Dwiki?" tanyanya langsung ketika Vera mendekat.
Vera menghela napas. "Hanya ingin mencari tahu yang sebenarnya. Dwiki bukan pelakunya."
Tatapan Novan berubah serius. "Kalau sudah yakin dia bukan pelakunya, harusnya berhenti. Tidak ada gunanya terus terlibat dalam masalahnya."
Vera mengerutkan kening. "Tapi—"
"Aku hanya tidak ingin kamu terjebak lebih jauh," potong Novan. Dia menarik napas dalam sebelum melanjutkan, "Dwiki punya masalah sendiri, dan kamu bukan orang yang bisa menyelesaikan semuanya. Fokus dengan masalah kamu kalau memang sulit menemukan pelakunya, kamu berhenti saja. Aku yakin Rhea sudah tenang di sana."
Vera menggigit bibir, merasa ragu. Namun, jauh di lubuk hati, ada sesuatu yang belum bisa dibiarkan begitu saja.
"Aku mengerti kamu khawatir, tapi aku harus tetap cari tahu," jawabnya pelan.
Novan menatapnya dalam sebelum akhirnya menghela napas. "Baiklah, tapi jangan terlalu dekat dengannya. Kalau sudah yakin dia tidak bersalah, artinya kamu tidak perlu lagi berada di dekatnya."
"Oke." Kemudian mereka berpisah agar tidak ada yang curiga dengan mereka.
Vera baru saja melangkah menuju kelasnya tapi tiba-tiba sebuah tangan mencengkeram pergelangan tangannya dengan kuat.
"Sini, gue mau ngomong," suara itu dingin dan penuh tekanan.
Vera berusaha melepaskan cengkeraman itu, tetapi Riki menyeretnya ke belakang kelas yang sepi.
"Apa-apaan sih lo?!" Vera berusaha menarik tangannya, tapi cengkeraman Riki terlalu kuat.
Riki menatapnya dengan ekspresi tajam. "Gue denger lo ngurusin Dwiki di rumah sakit. Lo yang mencelakainya? Lo sengaja terus ganggu dia dan cari perhatian agar dia jatuh cinta sama lo!"
Vera tertawa dan melipat tangan di depan dada. "Emang apa urusan lo?"
Mata Riki menyipit, suaranya lebih pelan, tetapi jelas mengandung ancaman. "Gue peringatkan lo. Jangan terlalu dekat sama Dwiki kalau lo masih mau hidup tenang karena dia ketua geng, kalau sudah terjerat sama cewek, pasti dia akan berubah."
Vera menatapnya tajam. "Lo pikir gue takut sama ancaman lo. Bagus dong kalau dia berubah jadi yang lebih baik."
Riki menyeringai sinis. "Jangan sampai nasib lo sama seperti Rhea." Kemudian dia pergi meninggalkan Vera.
"Maksud lo apa?" Vera mengejarnya tapi berhenti karena ada Sagara yang menahan Riki dengan satu tangannya.
ok lanjuuut...