Setelah kepergian istrinya, Hanan Ramahendra menjadi pribadi yang tertutup dan dingin. Hidupnya hanya tentang dirinya dan putrinya. Hingga suatu ketika terusik dengan keberadaan seorang Naima Nahla, pribadi yang begitu sederhana, mampu menggetarkan hatinya hingga kembali terucap kata cinta.
"Berapa uang yang harus aku bayar untuk mengganti waktumu?" Hanan Ramahendra.
"Maaf, ini bukan soal uang, tapi bentuk tanggung jawab, saya tidak bisa." Naima Nahla
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Asri Faris, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 25
"Ayo Dek, kenapa bengong!" tegur Hanan ketika Nahla tak kunjung berjalan. Pria itu baru saja mrnesan layanan kanar dan langsung mendapat kuncinya.
"Iya Mas," jawab Nahla mengekor suaminya dengan brnak bertanya-tanya. Sungguh Nahla tidak paham, ada urusan apa harus ke hotel segala. Apakah pria itu ingin menemui seseorang?
"Masuk Dek!" titahnya setelah membuka pintu. Mempersilahkan Nahla untuk masuk lebih dulu.
Perempuan itu melangkah ragu dengan raut takut-takut. Walaupun yang membawa suaminya sendiri, tetap saja hatinya tak tenang.
"Tegang banget sih, senyum dong, santai dulu di sini, mandi dulu juga boleh," ujarnya setelah pintu tertutup rapat.
"Hmm ... kita nggak langsung pulang aja Mas, kasihan Icha pasti sudah menunggu."
"Ada simbok, nggak pa-pa, aku mandi dulu ya," pamit pria itu memberikan jeda sejenak agar Nahla sedikit paham dan tentunya lebih santai.
Pria itu keluar setelah sepuluh menitan dengan wajah lebih segar dengan hanya memakai bathrobe saja. Hanan menghampiri Nahla yang beberapa menit baru paham, mendadak tubuhnya langsung gemetar ditatap dengan wajah lapar.
"Aku bersih-bersih dulu Mas," ucap perempuan itu jelas grogi. Tidak melakukan persiapan apa pun tiba-tiba diculik ke hotel.
"Jangan lama-lama ya, aku nungguin loh," peesan Hanan tak sabar. Jelas saja, nyaris trees dan salah fokus seharian gegara gagal semalam.
Nahla yang sudah masuk kamar mandi mendadak galau sendiri. Walaupun ini semua pasti terjadi, kenapa mendadak takut. Sedikit lebih lama memantapkan hatinya. Keluar kamar mandi dengan hati pasrah dan siap memulai hidup baru dengan status sesungguhnya.
"Astaghfirullah ... Mas, ngagetin aja." Nahla terkesiap mendapati Hanan yang sudah menunggu di depan pintu.
"Lama banget," protesnya tak sabaran. Seakan tak mau menyia-nyiakan waktu, pria itu langsung menuntun istrinya menuju ranjang.
Nahla menelan saliva beberapa kali kala pria itu langsung mendudukkannya di ranjang, lalu menatapnya dengan kabut gairah. Seakan tidak ingin menundanya lagi, pria itu langsung menarik tali bathrobe istrinya.
"Bismillah ... izinkan aku memulai," bisik pria itu mengecup keningnya setelah merebahkan istrinya. Lalu turun mengecup kedua pipi dan berakhir mempertemukan bibir mereka dalam satu pagutan.
Sedikit bisa membalas setelah kemarin sempat diajari yang pertama, Nahla mulai tidak kaku-kaku amat. Bahkan berani lebih awal mengeluarkan suaranya nan manja hingga mampu membuat seorang Hanan si mantan duda itu lupa akan segala hal. Menikmati sajian yang terhidang di depan mata dengan begitu minat dan semangat empat lima.
Perempuan itu memejam, menikmati setiap jengkal napas suaminya yang mengabsen seluruh tubuhnya tanpa terkecuali. Mengeksplorasi ke bagian sudut mana pun yang diinginkan. Hingga membuat Nahla seperti terbawa suasana terbang dengan perasaan yang tak biasa.
Ia baru merasa gelisah dan merintih lirih saat sesuatu menekan dan memaksa dengan dorongan pelan, tetapi mampu membuat genangan air matanya keluar. Sakit sekali rasanya, perempuan itu gelisah sembari mencengkram kuat spreinya.
"Sakiit ... Mas ...!" keluh Nahla memekik tertahan.
Hanan menenangkan, menjeda sejenak karena merasa tidak tega. Namun, tak serta melepaskan, berusaha makin dalam hingga benar-benar membuat keduanya menjadi satu dalam ikatan penuh pahala setiap jengkal napasnya.
"Aku pelan sayang, percayalah hanya sakit sebentar," bisik pria itu menenangkan. Kembali memberi sentuhan kecil agar istrinya kembali menemukan kenyamanan, dan tidak fokus pada rasa sakit itu.
"Aku gerak sedikit ya," kata pria itu berbisik lembut memberikan efek luar biasa pada diri keduanya.
Pelan tetapi pasti, sama-sama terbuai dengan situasi yang ada. Meraih hingga ke puncak pusara madu pernikahan mereka. Hingga sesuatu yang pria itu tahan-tahan semenjak semalam berhasil mendarat dengan begitu sempurna di tempatnya yang lapang, dan subur.
Secercah senyum memungkasi aktivitas pria itu, selaras gumaman terima kasih yang keluar dari mulutnya. Perasaan lega tak terkira dan rasa sejuta nikmat yang telah lama hilang seperti terganti dengan pesona yang begitu menakjubkan. Puas, tentu saja, walau kalau boleh, dan mungkin masih ingin mencobanya sekali lagi.
Hanan sepertinya kalap, hingga membuat istrinya tepar tak berdaya di atas ranjang. Berbeda dengan Hanan yang full senyum dan semangat dengan daya penuh. Nahla lemas tak terkira. Tubuhnya begitu lelah, pegel, dan sepertinya remuk di sana sini. Terutama di bagian intinya yang luar biasa sakit.
Perempuan itu masih tiduran menyesuaikan diri, berbeda dengan Hanan yang sudah kembali terduduk seraya menatapnya dengan senyuman.
"Mau nginep di sini atau pulang?" tanya Hanan lembut. Mengelus mahkotanya yang tergerai nampak berantakan akibat ulahnya.
"Bentaran Mas," jawab Nahla enggan beranjak. Kalau tidak sadar kasihan Icha ditinggal di rumah sendirian, ia mungkin tak akan bangun. Ternyata mantan duda semeresahkan ini. Maklum saja sudah berpengalaman dan khatam, jadi begitu trabas, tentu saja membuat lawannya yang masih ting ting ini kerepotan sendiri mengimbanginya.
"Nggak pa-pa pulang agak malaman, kamu pasti capek," kata pria itu seakan tahu atas perbuatannya yang sedikit khilaf.
Setelah beberapa menit menyesuaikan dengan keadaan sekitar. Nahla baru bangun dari ranjang, ia meringis kesakitan saat hendak berjalan ke kamar mandi.
"Awww ...," desis Nahla benar-benar tak nyaman. Tidak menyangka pecah perawan sesakit ini.
"Dek, nggak pa-pa?" tanya Hanan menghampiri. Tahu betul Nahla kesulitan berjalan, pria itu menggendongnya hingga membuat rona merah jambu kembali menyerbu pipinya.
"Bisa jalan sendiri Mas, turunin aja," tolak Nahla jelas malu. Ia pura-pura baik-baik saja padahal jelas merintih kesakitan.
"Maaf ya, mungkin aku terlalu bersemangat," ucap pria itu sembari menurunkan istrinya pelan.
Nahla mandi cukup lama, kembali memakai pakaiannya. Berjalan perlahan keluar dari kamar mandi, bahkan saat keluar dari kamar hotel, Nahla sedikit tidak nyaman dan malu takut ada yang memperhatikan cara jalannya yang tidak benar.
"Mau langsung pulang? Atau mampir cari makan dulu," tawar Hanan terasa lapar. Setelah berolah raga sore hari sekarang perutnya yang meminta dimanjakan.
"Pulang aja Mas, beli dibungkus aja," ujar Nahla jelas tak ingin mampir-mampir. Ia merasa tidak nyaman sama sekali dan ingin segera merebah dengan damai.
"Ya sudah, aku bungkus saja, kita makan di rumah," ujar pria itu menepikan mobilnya di salah satu depan rumah makan.
Pria itu turun memesan, sementara Nahla menunggu saja di mobil. Perempuan itu sampai ketiduran sambil menunggu, efek lelah membuat Nahla cepat lelap begitu saja.
"Eh tidur?" kata pria itu menaruh pesanan di jok belakang. Kembali melajukan mobilnya ke arah jalan pulang. Lebih dulu menjemput Icha di tempat simbok, lalu langsung pulang ke rumahnya.
"Pa, dari mana? Mama mana?"
"Shhttt ... mama tidur, Icha duduk belakang ya, jangan bersik, kasihan mama capek," ucap pria itu setengah berbisik pada putrinya.