Laras terbangun di tubuh wanita bernama Bunga. Bunga adalah seorang istri yang kerap disiksa suami dan keluarganya. Karna itu, Laras berniat membalaskan dendam atas penyiksaan yang selama ini dirasakan Bunga. Disisi lain, Laras berharap dia bisa kembali ke tubuhnya lagi.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fitri Elmu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sebuah Pengakuan
Tiba di rumah, Laras masih belum bangun. Aksa menggendongnya, membawa ke kamar mereka. Membandingkan tubuh sang wanita dengan hati-hati. Menyelimutinya, dan tak lupa mengecup lembut keningnya.
"Gue memang brengsek. Tapi gue gak mau kehilanganmu, Ras," ucapnya lirih. Mengusap lembut pipi Laras. Gadis itu menggeliat pelan, tapi hanya untuk merubah posisi.
Aksa mengambil sesuatu di lacinya. Membawanya keluar. Dia butuh udara segar.
Disini dia sekarang. Di halaman belakang menghadap kolam renang dengan jemarinya menggamit batang nikotin. Hembusan putih menguar dari lubang mulut dan hidungnya. Berikut helaan panjang. Aksa terpekur cukup lama, mengabaikan dinginnya angin malam yang terembus menyapa kulitnya. Dia, ingat jelas kenangan masa lalunya. Tentang kedekatannya dan hubungannya dengan Bunga. Termasuk, mimpi Laras yang sempat membuatnya gusar. Mimpi itu sama persis dengan kejadian nyata yang dialami masa kecil mereka. Aksa takut, dia akui itu. Dia hanya mencoba bersikap tenang.
"Enggak! Aksa gak mau nikahin Bunga, Ma."
"Aksa, please. Bunga gak punya siapa-siapa, Bunga cuma kita, dan dia cinta sama kamu, Sa."
"Terus? Dia yang cinta, tapi Aksa enggak. Aksa cuma cinta Lila, Ma. Arh!" Aksa mencengkram rambutnya sendiri, frustasi. Dia hanya berniat menghibur Bunga, mengingat dia sudah menganggap Bunga seperti adiknya sendiri. Tapi apa? Perhatiannya ditanggapi lain oleh gadis itu. Perasaan cinta yang .... cih! Memuakkan!
"Sa, kamu pasti gak lupa kan, papa pernah hampir bangkrut, dulu," tatapan mamanya berubah serius.
Aksa tak menyahut. Kepalanya dipenuhi kemarahan yang membuat napasnya memburu.
"Kita hampir jatuh miskin, Sa. Mama, papa, dan kamu, bisa jadi gembel. Kehilangan rumah, kendaraan, uang, dan semuanya. Tapi apa? Kita kembali jaya. Papa bisa kembali bangkit. Kamu tahu, siapa yang membuat kejayaan keluarga kita bangkit lagi?" tatapan mama menajam. "Papanya Bunga. Om Dirga. Kalau bukan karna bantuan om Dirga, kita sudah jatuh miskin, Sa."
Aksa melemas. Memejamkan matanya. Menggeleng kepala. Menolak fakta.
"Apa sulitnya untuk membalas budi, hm? Sekarang Bunga sedang terpuruk. Orang tuanya gak ada. Semangat hidupnya ada di kamu, Aksa. Dan, mama cuma minta kamu buat balas budi aja gak mau? Yang bahkan gak seimbang dengan bantuan yang sering mereka beri, Aksa?"
Tak ada pilihan. Aksa terdesak. Dia terpaksa menikahi Bunga, meski saat itu masih punya hubungan asmara dengan Lila. Senyum bahagia yang diukirkan Bunga di hari pernikahan mereka, berbanding dengan mimik palsu yang dia perlihatkan. Termasuk di foto pernikahan mereka.
Aksa meraup kasar wajahnya. Laras benar, dia punya kesempatan untuk menolak. Meski kejujuran itu mungkin menyakiti orang tuanya dan Bunga, tapi setidaknya jika dia benar-benar gentleman harusnya dia bisa. Tapi dia memilih diam. Kediaman yang menyiratkan dendam.
Dia masih ingat, malam pertama, mereka harusnya melewatkan di hotel yang disewa orang tuanya, tapi dia meninggalkan Bunga sendiri, dan menemui Lila. Menghabiskan malamnya dengan kekasihnya. Dia tidak memikirkan Bunga menunggunya sendirian di hotel. Malam pertama yang berlanjut ke malam-malam setelahnya.
Kebencian Aksa mendarah daging. Apapun yang dilakukan Bunga, di matanya itu menjadi kesalahan tak termaafkan. Bukan hanya kata-kata kasar, bahkan tak jarang fisiknya ikut main. Dia tak peduli lagi. Lagipula dia tahu, Bunga tidak akan melaporkan pada orang tuanya. Bunga cenderung membelanya, menutupi kekacauan hubungan mereka. Aksa semakin besar kepala dan semena-mena.
Awalnya semua berjalan lancar. Hubungannya dengan Lila tetap berjalan romantis seperti saat sebelum menikah. Tak segan-segan memamerkan kemesraan, meski di kantor sekalipun. Hingga, suatu hari, Lila menuntut untuk dinikahi. Lila tidak suka dengan keberadaan Bunga yang setiap saat di dekat Aksa. Dia khawatir suatu hari Aksa bakal luluh. Dan, puncaknya, malam itu ....
Aksa menyesap dalam-dalam asap rokoknya. Menghambuskannya kuat. Kesalahannya sebanyak itu. Bagaimana kalau Laras kembali mengingatnya? Apa yang akan dia lakukan untuk menahan Laras tetap berada disisinya?
Tetes air mengenai wajahnya. Rupanya gerimis turun. Tapi sama sekali tidak menggoyahkan posisi Aksa. Dia masih bertahan disini, meski gerimis semakin rapat rintiknya, sembari menyesap rokoknya.
Bresss ....
Gerimis berubah menjadi hujan deras seketika, membuat rokok Aksa mati terkena derasnya air. Aksa memandangi puntung di tangannya, meremat dan membuangnya. Jangan ditanya bagaimana keadaannya saat ini. Basah kuyup. Tapi, dia sama sekali tak beringsut dari posisinya. Membiarkan derasnya hujan menghujami tubuhnya bertubi.
.
.
Pagi menyapa. Suasana tenang yang khas. Laras membuka matanya. Tak ada Aksa disampingnya seperti biasa. Tapi, dia tidak terlalu mempermasalahkannya. Ingatannya masih lekat dengan peristiwa kemarin. Termasuk fakta menyakitkan yang baru dia rasakan. Mengingatnya saja membuatnya marah pada pria tersebut. Bunga berada di posisi yang menyakitkan selama itu, dan pria itu juga termasuk yang menyumbangkan rasa sakit itu. Justru dengan porsi yang lebih besar. Udah tahu gak cinta, kenapa malah diterima? Habis itu playing fictim, ngerasa tersakiti, padahal sendirinya yang gak bisa membela diri.
Laras membersihkan diri, tak terlalu peduli dengan keberadaan Aksa. Lagian, ini rumah pria itu. Gak mungkin kan kesasar di rumah sendiri. Atau, kalau mau nemuin Lila, ya sana, terserah. Rasa sakit Bunga membuatnya jadi kesal pada Aksa.
Lima belas menit di kamar mandi, Laras keluar. Menggosok rambut basahnya dengan handuk, lantas menggulungnya. Membiarkannya kering alami. Setelah itu duduk di meja rias. Sempat melirik jam di nakas, sedikit heran, karna Aksa sedari tadi belum kelihatan.
"Non, Non Bunga."
Ketukan pintu kamarnya membuat perhatiannya teralih.
"Iya, Bi."
Laras beranjak dari duduknya. Mengayun langkah untuk membuka pintu.
Disana ada bi Imah dengan raut paniknya.
"Ada apa, Bi?"
"I-itu, Non, den Aksa."
Dahinya mengerut. "Aksa?"
"Iya. Den Aksa berbaring di kursi halaman belakang. Badannya panas."
Netra Laras membulat. Tanpa membuang waktu berlari ke tempat yang dimaksud bi Imah.
Dan benar, disana ada Aksa yang terbaring pucat di atas kursi duduk panjang.
"Astaga, Aksa!" Menyentuh dahinya, panas banget. "Bi, tolong panggilkan dokter," teriaknya panik.
Mendengar keributan, Aksa membuka matanya remang-remang.
"Kenapa tidur disini, hah? Kamu hujan-hujanan?"
Aksa tersenyum. Memegang tangan Laras yang panik memeriksa suhu tubuhnya. Gadis itu bahkan masih memakai bathrobe nya.
"Aku gak papa," lirihnya, lemas.
"Gak papa gundulmu! Badanmu panas gini gak papa? Udah, diem, jangan banyak omong. Sebentar lagi dokter datang."
Aksa terkekeh, tapi sedetik kemudian meringis. Kepalanya terasa sakit. Dingin menggigil, rasanya seperti di kutub. Bahkan lebih dingin dari hujan-hujanan semalaman. Matanya kembali terpejam, karna untuk membuka saja rasanya nyeri sekali.
Sebuah selimut tebal terasa menutupi tubuhnya.
"Ini gimana caranya bawa ke dalam?"
"Bibi panggilkan tetangga sebelah saja, non?"
"Duh, gimana ya, bi? Apa nanti minta tolong sama dokternya aja ya?"
Aksa masih mendengar jelas percakapan Bi Imah dan Laras. Dia bergerak beringsut hendak turun, tapi langsung mendapat teriakan dari Laras.
"Tetap disitu, Aksa!"
Aksa menggeleng. "Aku bisa, tenang saja," lirihnya. Tapi, baru hendak berdiri, dia oleng. Untung saja Laras dengan sigap menangkapnya.
"Ngeyel. Nanti saja, nunggu dokter," omel Laras.
Grep.
Aksa memeluk Laras. Membuat gadis itu sempat tertegun.
"Tolong, tetap begini. Dingin, Ras," lirihnya tanpa tenaga. Laras pasrah. Membiarkan pria itu memeluknya.
.
.
Ternyata semalaman hujan Aksa tidak ke dalam. Dia justru membiarkan hujan menerpa tubuhnya. Bahkan, setelah itu bukannya kembali ke kamar dan ganti baju, Aksa malah tiduran di dipan luar. Untuk alasan terakhir Laras gak tahu kenapa. Yang jelas, karna itu Aksa jatuh sakit sekarang. Demam tinggi, menggigil kedinginan tapi tubuhnya panas.
Dokter sudah memeriksa, memberikan obat untuk diminum. Laras memandang lekat pria yang terbaring dengan napas teratur itu. Setelah minum obat, Aksa mengantuk. Mungkin efek dari obat tersebut.
Dengan hati-hati, Naya mengganti kompresnya. Mencelup ke air hangat dan memerasnya. Meletakkan kembali ke dahi Aksa. Masih hangat, tapi gak sepanas tadi. Laras mengela napas pelan. Aksa begini setelah dia mengutarakan kemarahannya pada pria itu.
Laras meraih tangan Aksa, menggenggamnya. Kenapa dia ikut sakit melihat Aksa terbaring begini. Padahal, harusnya dia mempertahankan kemarahannya pada pria itu, setelah apa yang dilakukannya pada Bunga dulu.
"Jangan pergi ..."
Laras mendongak. Aksa bergerak resah dengan mata terpejamnya.
"Jangan tinggalkan aku ... Ku mohon ...."
Laras hendak menepuk pipi Aksa, menyadarkannya. Tapi ucapan Aksa membuatnya tertegun.
"Aku mencintaimu, Bunga ...."