NovelToon NovelToon
Mahar Untuk Nyawa Ibu

Mahar Untuk Nyawa Ibu

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO / Nikah Kontrak / Beda Usia / Romansa
Popularitas:2.8k
Nilai: 5
Nama Author: Asmabila

Raina tak pernah membayangkan bahwa mahar pernikahannya adalah uang operasi untuk menyelamatkan ibunya.

Begitupun dengan Aditya pun tak pernah bermimpi akan menikahi anak pembantu demi memenuhi keinginan nenek kesayangannya yang sudah tua dan mulai sakit-sakitan.

Dua orang asing di di paksa terikat janji suci karena keadaan.


Tapi mungkinkah cinta tumbuh dari luka, bukan dari rasa????

Tak ada cinta.Tak ada restu. Hanya diam dan luka yang menyatukan. Hingga mereka sadar, kadang yang tak kita pilih adalah takdir terbaik yang di siapkan semesta.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Asmabila, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Draft

Langit berganti warna perlahan, seperti lukisan air yang melebur di cakrawala. Sisa-sisa cahaya matahari menciptakan bayangan keemasan di permukaan laut. Suara ombak menjadi latar belakang yang konstan—tenang, ritmis, seperti napas alam yang tak pernah berhenti.

Aditya dan Raina berjalan menyusuri bibir pantai. Langkah mereka pelan, seperti tak ingin mengganggu keheningan. Tidak saling menggenggam, tapi jarak di antara mereka sudah tak lagi terasa jauh. Sesekali, tangan mereka saling menyentuh tanpa sengaja, tapi tak buru-buru ditarik.

Raina berhenti, menunduk, dan mulai menggali pasir dengan kedua tangannya. Ia membentuk sebuah bukit kecil, lalu menghiasinya dengan kulit kerang putih yang ia temukan di sekitarnya. Aditya memperhatikannya dari samping, lalu ikut duduk dan membantu tanpa berkata apa pun. Keduanya menciptakan sesuatu bersama—bukan istana, bukan patung. Hanya bentuk-bentuk aneh yang tak beraturan, tapi terasa bermakna.

Aditya tiba-tiba mengambil segenggam pasir basah dan menjatuhkannya perlahan di atas tangannya sendiri, membiarkannya mengalir seperti jam pasir. Raina melihatnya, lalu meniru. Mereka bermain dengan diam, tapi senyuman yang sesekali muncul menciptakan percakapan diam yang hanya bisa dipahami oleh hati.

Lalu, Aditya bangkit, berlari kecil ke arah ombak, dan menyipratkan air ke arah Raina. Raina terkejut, tertawa lepas. Ia berdiri, membalasnya dengan cipratan yang lebih besar. Mereka saling menyiram, berlari mengejar ombak dan menghindarinya, seperti dua anak kecil yang lupa waktu.

Raina terpeleset sedikit, hampir jatuh, tapi Aditya dengan sigap menangkapnya. Tubuh mereka berhenti hanya beberapa inci dari satu sama lain. Dada Raina naik turun, napasnya tersengal. Aditya menatapnya sejenak, lalu mengusap sedikit pasir yang menempel di pipinya dengan lembut. Raina memejamkan mata sejenak, membiarkan kehangatan itu masuk.

Mereka berdiri di sana, berpelukan dalam diam. Matahari perlahan turun lebih rendah, menciptakan siluet tubuh mereka yang saling menyatu di ujung hari. Ombak menyapu kaki mereka, namun keduanya tak bergerak, seolah dunia hanya milik mereka saat itu.

Tak lama, Raina menarik tangan Aditya dan mengajaknya duduk kembali. Kali ini mereka menggambar di pasir. Bukan lagi bentuk acak, tapi kenangan. Dua garis yang bersatu, lingkaran-lingkaran kecil, sebuah hati sederhana. Tidak sempurna, tapi cukup.

Aditya merentangkan tangan ke belakang, berbaring menatap langit yang kini mulai berganti ungu. Raina ikut merebah, kepalanya bersandar di lengannya. Mereka memandangi langit yang perlahan berbintang, dengan pasir menempel di rambut dan pakaian mereka.

Malam mulai turun. Udara jadi lebih sejuk. Tapi kehangatan di antara mereka tidak padam. Tanpa kata, tanpa janji, keduanya tahu: ini awal yang baru.

Dan kali ini, mereka akan menjaganya lebih hati-hati.

Frida melangkah mantap di atas pasir sambil membawa dua es boba besar. Rambutnya diikat tinggi, wajahnya ceria. Tujuannya jelas: menemukan Raina dan mengantar boba Manis untuknya.

Namun ketika ia hendak melewati jalur kecil dekat batu-batu pantai, tiba-tiba sebuah tangan mencengkeram pergelangan lengannya dan menariknya ke samping—tepat saat sebuah papan selancar meluncur lewat dari arah belakang.

Frida terhuyung ke belakang, hampir menumpahkan bobanya. Ia menoleh cepat, marah dan bingung, lalu mendapati seorang pria berdiri rapi di hadapannya. Kemeja putih linen, celana chino, rambut tersisir rapi meski berada di pantai. Wajahnya tenang. Terlalu tenang untuk seseorang yang baru saja menarik wanita asing.

"Jangan ganggu mereka.! " ucap asisten Dika.

Frida menyipitkan mata." Kamu siapa?! datang-datang narik orang serta berbicara sembarangan begitu,! "Denger yah, saya ini sahabatnya Raina," Frida lalu melihat ke arah Raina terlihat sedang bersama seorang pria, Ia juga melihatnya sempat di gendong oleh pria tersebut, tapi belum sempat menatap lebih lama, tangan asisten kembali menariknya.

Asisten Dika: (tenang, seperti biasa)

"Ikut saya."

Frida: (menoleh cepat, setengah curiga)

"Lagi? Ini narik orang apa ngajak ngobrol, sih?"

Asisten Dika: (berbalik berjalan)

"Lebih tepatnya, penghalau gangguan."

Frida: (berjalan mengikuti, nada mulai naik)

"Eh, denger ya, aku ini sahabat Raina. Bukan noise background. Aku bawa boba buat dia Kamu malah nyeret aku kayak tersangka."

Asisten Dika: (berhenti, menatapnya sebentar)

"Kalau kamu benar-benar sahabat, kamu tahu kapan waktunya mundur sebentar."

Frida: (menyipitkan mata)

"Kalau kamu benar-benar punya rasa, kamu tahu nggak semua hal harus diatur kayak jadwal penerbangan."

Asisten Dika: (dingin, tapi suaranya sedikit pelan)

"Saya cuma menjaga ruang. Untuk mereka. Dan untukmu juga."

Frida: (terkesiap sebentar)

"Untukku?"

Asisten Dika:

"Saya tahu kamu nggak suka diem. Tapi kadang… terlalu banyak bicara bikin kamu nggak sempat denger suara sendiri."

Frida: (pelan, tapi masih sinis)

"Kamu nggak tahu apa-apa soal saya."

Asisten Dika: (mendekat sedikit, nada tetap stabil)

"saya tahu kamu bawa dua es boba yang satunya udah mencair, tapi masih kamu genggam erat karena kamu selalu lebih mikirin orang lain dulu."

Frida terdiam.

Frida: (menahan tawa, tapi matanya berkaca)

"Gila. Kamu nyusun kalimat kayak laporan investigasi, tapi kok... kena juga ya?"

Asisten Dika: (menatapnya lama, lalu bicara pelan)

"Bukan investigasi. Observasi."

Frida: (berbalik, duduk di atas pasir)

"Kalau kamu bisa observasi begitu jelas, kenapa kamu keliatan... kaku? Kering. Seperti…"

Asisten Dika: (menyela tenang)

"Seperti orang yang nggak biasa duduk di samping orang sepertimu?"

Frida menatapnya tajam.

Frida:

"Nggak biasa... atau takut?"

Asisten Dika: (akhirnya duduk di sampingnya, jarak sedikit jauh)

"Mungkin... keduanya."

Diam. Hanya suara ombak. Frida menunduk, lalu bicara pelan.

Frida:

"Kamu tahu nggak, dari tadi saya cuma mau lihat Raina bahagia. Tapi malah ditarik keluar seolah aku gangguan."

Asisten Dika: (pelan, hampir seperti bisikan)

"Kamu bukan gangguan. Kamu... terlalu terang. Kadang cahaya terlalu dekat bisa ganggu momen lain."

Frida: (menoleh, nada lebih lembut)

"Terus... kamu pikir saya harus belajar padam?"

Asisten Dika: (menatapnya, serius)

"Nggak. saya cuma bilang... mungkin sekarang saatnya jadi cahaya buat dirimu sendiri dulu."

Frida menatap langit sebentar, lalu tersenyum kecil.

Mereka duduk diam. Jarak masih ada, tapi udara di antara mereka mulai berubah.

Di kejauhan, suara tawa Raina dan Aditya mengalun pelan. Tapi di sudut lain pantai, dua orang yang bertolak belakang diam-diam mulai bergerak ke arah yang sama.

Raina: (tiba-tiba menoleh ke kanan, matanya celingukan)

"Mas, tunggu."

Aditya: (menoleh pelan)

"Hmm? Kenapa?"

Raina: (berdiri setengah, panik kecil)

"Frida ke mana, ya? Tadi aku ke sini sama dia. Tapi sekarang… nggak kelihatan."

Aditya: (melirik ke arah tenda, tenang)

"Tadi dia dibawa pergi sama asistennya Dika."

Raina: (mengernyit, kaget)

"Ha? Dibawa?"

Aditya: (mengangguk pelan)

"Tenang. Nggak diculik kok. Cuma diminta menjauh sebentar biar kita bisa ngobrol."

Raina: (menatapnya, bingung campur kesal)

"Loh, mas yang nyuruh?"

Aditya: (menarik napas, menggaruk tengkuk sebentar)

"Iya. mas cuma... pengen punya waktu berdua sama kamu, "

Raina: (mengepaskan duduknya, suara pelan)

"Tapi dia sahabatku. Datang ke sini buat nemenin aku. Aku nggak enak.lah sama dia, "

Aditya: (menatap Raina sebentar, nada lembut)

"Mas ngerti. Dan Mas yakin Frida juga ngerti. Dia kelihatan tipe yang kuat. Nggak akan baper cuma karena dijauhkan sebentar."

Raina: (menghela napas pelan, mulai tenang)

"...Iya sih. Tapi tetap aja. Aku khawatir."

Aditya: (tersenyum kecil)

"Nanti kita cari dia bareng, ya? Sekarang, sebentar aja, duduk dulu. menikmati sunset, sebentar, "

Raina: (menatap Aditya, lalu perlahan mengangguk)

"Ya udah... tapi habis ini, beneran cari dia."

Aditya: (mengangkat dua jari seperti sumpah)

"Siap. Kalau perlu, Mas suruh Aditya bawa balik dia ke sini."

Benar saja selesai melihat Sunset, asisten Dika membawa Frida menemui Raina, keduanya berpelukan.

"Rain, kamu tidak apa-apa, kan?" Frida melirik pria tampan yang berdiri tegap di samping sahabatnya."Dia tidak melukaimu, ? katakan jika terjadi sesuatu, aku akan menjadi orang pertama yang akan menghajarnya."

Asisten Dika mendelik.

Raina tersenyum."Kenalin dia suamiku,"ucap Raina.

Ehem. Aditya berdehem, .

"Jaga Raina, jangan buat dia sedih lagi, " ucap Frida.

"Tentu, saya akan menjaganya selalu, " tegas Aditya.

Melihat waktu yang sudah cukup Larut, mereka segera pergi dari sana.Aditya sudah membawakan pakaian ganti untuk Raina dan. memesankan tempat dinner yang romantis.

Sementara Frida sudah di antar pulang oleh asisten Dika.

1
☠⏤͟͟͞R𝕸y💞𒈒⃟ʟʙᴄHIAT🙏
suamimu mulai jth cnt raina
Asma Salsabila: Terimakasih sudah mau mampir di karya receh saya, jangan lupa tinggalkan Like, comen& vote yah 🤗
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!