"Hans, cukup! kamu udah kelewat batas dan keterlaluan menuduh mas Arka seperti itu! Dia suamiku, dan dia mencintaiku, Hans. Mana mungkin memberikan racun untuk istri tersayangnya?" sanggah Nadine.
"Terserah kamu, Nad. Tapi kamu sekarang sedang berada di rumah sakit! Apapun barang atau kiriman yang akan kamu terima, harus dicek terlebih dahulu." ucap dokter Hans, masih mencegah Nadine agar tidak memakan kue tersebut.
"Tidak perlu, Hans. Justru dengan begini, aku lebih yakin apakah mas Arka benar-benar mencintaiku, atau sudah mengkhianatiku." ucap Nadine pelan sambil memandangi kue itu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon alfphyrizhmi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 07 - Kosong
Meskipun sedang dalam kondisi emosi, ia tidak ingin bilang bahwa Nadine gadis dari keluarga miskin. Hal itu akan semakin memicu kemarahan wanita yang dicintainya.
"Sudahlah! Aku yang akan tetap membayar semua biayanya, seperti janji dan ucapanku sebelumnya. Aku nggak mau ada drama lagi di sini," ucap Hans dengan tegas.
Nadine sejatinya ingin menolak, tetapi ia pun tidak sanggup membayar seluruh biaya perawatannya. Terlebih dengan ruang rawat inap kelas VVIP tersebut.
Hans menatapnya dengan penuh keyakinan. Dokter itu tahu, kalau Nadine sedang dalam dilema besar terkait finansial itu, "Dengar ya, Nad. Aku melakukannya bukan karena aku ingin membebanimu. Jujur, aku hanya ingin memastikan, bahwa kamu benar-benar mendapatkan perawatan terbaik... tanpa perlu memikirkan hal lain lagi." jelasnya dengan nada pelan.
Nadine terdiam, merasakan ketulusan dari kata-kata Hans mulai menyesapi relung hati dan jiwanya.
Bu Minah yang sudah tidak memasang wajah songong lagi, masih berdiri di tempatnya. Asisten Arka itu merasa sangat malu, lantaran telah bersikap terlalu sombong dan belagu sebelumnya.
"Sekarang, yang perlu kamu pikirkan adalah beristirahat sebanyak mungkin dan fokus memulihkan diri. Itu saja!" lanjut Hans dengan memberikan saran dengan ucapan pelan, begitu lembut.
Nadine mengiyakan, menatap dokter itu sambil mencoba mencari kata-kata yang tepat.
"Terima kasih, Hans. Aku benar-benar menghargai ini. Aku akan catat sebagai utangku padamu, ya." ujarnya tulus.
Hans lagi-lagi hanya tersenyum kecil. Ia tahu sejak awal, kebaikannya akan tetap dianggap hutang oleh Nadine.
Karena ia tidak ingin memperpanjang pembicaraan, "Baiklah jika itu maumu, Nad. Tapi suatu saat, bayarlah dengan sesuatu yang lain. Aku tidak ingin kamu bayar dengan uang." pinta Hans sembari memberikan tawaran pada Nadine.
"Oke. Akan aku catat dan ingat baik-baik." ucap Nadine, setelah menyetujui tawaran Hans.
Bu Minah yang masih merasa bersalah pun, akhirnya angkat bicara, "Dok, meskipun Anda sudah membayar seluruh biayanya, saya yang tetap akan menjaga Nyonya Nadine. Itu sudah menjadi tugas dan tanggung jawab saya," katanya dengan suara lirih.
Hans menatapnya tajam asisten Arka yang sebelumnya songong itu, sebelum akhirnya mengangguk.
"Baik, lakukan sesuka anda. Tolong jaga Nadine dengan sebaik mungkin!" pesan Hans dengan nada memerintah. Bu Minah mengangguk dengan sigap, merasa lega, bahwa ia diizinkan untuk tetap berada di sisi Nadine.
"Tapi satu hal yang perlu diingat, jangan sampai kejadian ini terulang lagi! Jika terulang, aku tidak segan mendatangi pelakunya dan menyeret orang itu ke ranah hukum!" lanjut Hans dengan nada peringatan.
Bu Minah cuma menundukkan kepala sambil mendengar ancaman Hans, ia merasa sangat malu atas kejadian yang menimpa Nadine.
Setelah Hans pergi, Bu Minah mulai mendekati istri majikannya itu dan duduk di samping ranjang Nadine. Wajah dan tampang Bu Minah sudah penuh dengan penyesalan.
"Saya benar-benar minta maaf, Nyonya. Saya sungguh nggak tahu, kalo kartu itu kosong. Saya pikir Pak Arka sudah mengurus semuanya," katanya dengan nada lemas.
"Nggak apa-apa, Bu Minah. Paling itu semua perbuatan tante Miranda yang dengan sigap memblokir semua kartu dan akses mas Arka. Karena mama nya tahu betul, kalau Arka sangat mencintai dan royal kepadaku." ucap Nadine sambil senyum sendiri di tengah kondisinya yang memprihatinkan.
Namun, asisten kepercayaan Arka yang dititipkan untuk menjaganya, masih tertunduk karena merasa tidak menjalankan tugas dengan maksimal.
"Sudah... sudah, jangan merasa bersalah seperti itu, Bu Minah. Yang terpenting sekarang, aku bisa beristirahat dulu, tanpa memikirkan masalah baru," ujarnya pelan.
Meskipun saat ini, Nadine memiliki banyak pertanyaan tentang Arka dan keluarga suaminya, ia memilih untuk tidak memikirkannya. Benar kata Hans, fokusnya kali ini untuk pemulihan.
Di luar kamar rawat inap Nadine, Hans berjalan dengan langkah berat. Ia merasa begitu marah, sekaligus kecewa dengan sikap Arka yang terkesan tidak peduli terhadap istrinya sendiri.
Meski ia tahu Nadine masih sangat mencintai Arka, Hans tidak bisa membohongi perasaannya.
Kali ini, perasaannya semakin tumbuh dan mekar. Apalagi karena sudah lama tidak bertemu Nadine.
Ia ingin menjaga dan merawat Nadine dengan segala cara, apapun itu!
Meskipun lagi dan lagi, ia tahu batasannya. Ia bukanlah siapa-siapa untuk Nadine. Cuma sebatas teman lama yang dipertemukan kembali.
Dengan napas berat, ia berniat segera kembali ke ruangannya. Namun, seorang suster berjalan membawa sesuatu menuju kamar Nadine.
Merasa aneh, Hans mencegahnya dan bertanya,
"Sus, apa itu? Untuk siapa?" tanya nya penuh rasa curiga.
"Ini ada paket berupa kue cokelat, dok. Dikirim untuk pasien bernama Nadine Setyaningrum," kata perawat itu.
"Siapa pengirimnya?" selidik Hans.
"Di sini tertulis, pengirimnya atas nama Arka Hartono."
Mendengar hal demikian, Hans langsung merespon dengan segera mendekati suster tersebut,
"Coba sini saya lihat sebentar!" pinta Hans.
Ia sigap memeriksa kue cokelat pemberian Arka. Dokter muda itu mengamati dengan teliti dan detail, mulai dari pengirim, alamat pengirim, sampai memeriksa cokelat secara seksama. Hans takut, cokelat tersebut mengandung sesuatu.
"Apakah sudah selesai diperiksa, dok?" tanya suster itu yang nampak buru-buru, karena banyak urusan lain yang sedang menunggunya.
"Dokter Hans? Kalau sudah, saya mau izin permisi supaya segera mengantar paket ini ke ruangan 207, dan untuk pasien atas nama nyonya Nadine tersebut." ucap lagi suster yang semakin tergesa-gesa.
Di tangan suster itu, kotak kue cokelat pemberian Arka, nampak dijaga dengan begitu hati-hati.
"Tunggu sebentar. Masih harus saya cek beberapa bagian penting. Takut ada kandungan berbahaya di dalamnya." ucap Dokter Hans seraya mengendus kue cokelat dengan mendekatkan hidungnya.
Hans sengaja menunda pemeriksaan pada paket itu. Ia tahu, sebentar lagi Nadine akan mendapatkan hadiah cokelat. Sebuah surprise dari sang suami yang memberikan perhatian melalui jarak jauh.
"Udah belum ya, dok? Mohon maaf banget. Saya harus segera memberikannya, pasien atas nama Nadine sedang menunggu," lanjutnya, suster itu setengah memohon.
Hans mengerutkan kening, menatap suster sambil berdiri menghalangi pintu kamar Nadine.
"Saya rasa, kamu perlu menunggu lebih lama. saya harus memastikan isinya aman," katanya tegas. Hans sudah tidak memiliki alasan logis lain.
Sekitar sepuluh menit Hans berpura-pura memeriksa isi kue. Suster yang terlihat panik karena terlalu lama ditahan, akhirnya angkat bicara juga.
"Tapi saya tidak bisa menahan ini terlalu lama, dokter Hans." balas sang suster sambil melirik jam tangannya.
Merasa frustrasi karena tidak bisa membuang atapun memiliki paket tersebut, Hans memutuskan ikut bersama suster ke kamar Nadine.
"Kalau begitu, saya akan ikut masuk!" kata Hans memaksa, sambil membuka pintu kamar Nadine dengan cepat.
"Hans? Kenapa balik lagi? Ada yang ketinggalan?" tanya Nadine yang sedang duduk di ranjangnya, sambil berbincang dengan Bu Minah.
"Maaf Nad, kalau aku balik lagi. Ini ada kiriman paket dari suamimu," jawab Hans, yang sedang membawa paket untuk Nadine.
Suster yang diminta membawa paket tersebut, sudah disuruh Hans agar segera balik dan menyelesaikan tugas lainnya.
"Hah? Dari mas Arka?" ucap Nadine dengan kaget.
Bersambung.....