Squel Flight Attendant.
Denisa, dokter berusia dua puluh lima tahun itu telah menjadi janda diusianya yang bahkan belum genap dua puluh tahun akibat obsesinya pada laki-laki yang sangat mencintai kakaknya. Susah payah pergi jauh dan berusaha move on, Denisa dipertemukan lagi dengan mantan suaminya yang sangat ia hindari setelah lima tahun berpisah.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Isma Wati, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Beri Aku Kesempatan
Dan minggu ini, banyak alasan yang Denisa buat untuk menghindari Ricko. Saat Daniel menunggu dirumahnya waktu itu saja, Denisa berbohong jika dia sudah berangkat lebih dulu menaiki taksi.
"Maaf ya mas, minggu besok aku sudah janji sama Dara hanya jalan berdua," Denisa benar-benar tak enak menolak ajakan Ricko berlibur bersama, "mungkin lain kali aku akan bujuk Dara."
"Nggak papa Nis. Aku ngerti kok, aku harap nanti kamu mau luangin waktu buat kita jalan bareng, pengen banget liburan sama kalian."
Denisa tersenyum, sebelum keluar dari mobil Ricko, malam ini dia pulang diantar Ricko sebab jadwal sabtu ini memang dia tugas relawan pengobatan gratis.
Dari jauh ternyata Daniel sudah mengikuti keduanya, dia tak suka melihat kedekatan Ricko dan Denisa.
Pagi menyapa, Dara bertolak pinggang melihat maminya yang membuat isi lemari berantakan. Dara sendiri sudah rapih, dengan kaca mata khas anak kecil dikepalanya.
"Mami kok acak-acak lemari sih? kalo Dara yang buat pasti sudah gempa bumi," ucap bocah itu polos.
Denisa menghentikan kegiatannya mencocokkan pakaian ditubuhnya, dia berdiri didepan kaca lemari.
"Astaga, ngapain juga aku harus bingung milih baju. Pakai yang biasa ajalah, kayak mau ketemu siapa?" Denisa merasa malu pada Dara menyadari kekonyolanya, "Princess Mami sudah cantik, tunggu diluar dulu ya sayang Mami mau ganti baju." Denisa mencubit gemas pipi Dara.
Dan hal yang sama juga terjadi dikamar Daniel. Wahyu yang ditunjuk menjadi stylisnya pun pagi-pagi dibuat naik darah olehnya.
"Lo udah kayak mau ketemu Ariel tatum tau nggak Dan. Yaelah jadi cowok ribet amat, tinggal pake kaos, terus luaran kemeja dah cukup, pen banget keliatan ganteng dimata mantan. Tapi saran gue lebih lues pake kaos, jadi lo bisa gendong Dara, sekalian gendong emaknya," kekeh Wahyu.
"Ck saran lo nggak bermutu." Daniel memilih kemeja dan jas untuk dikenakannya.
"Jual mahal dikit napa sih. Ini terlalu formal, lo mau ajak mereka jalan apa meeting. Dasar duda."
"Stop nggak bilang duda, geli gue dengernya."
Wahyu makin terkekeh "Nggak sadar diri, maunya dibilang apa coba?"
Setelah satu jam lebih memilih pakaian, sekarang Daniel dibuat bingung dengan gaya rambutnya.
"Nih enaknya dibuat kayak gimana sih, Yu? rambut gue kering kayak hidup lo."
Wahyu mendorong kepala Daniel kesal "Meski duda kepala tiga dan berbuntut satu, mending dijambulin dikit. Janda lokan masih muda dan cantik, jadi lo kudu bisa ngimbangin dia."
Peltak.
Daniel menyentil kening Wahyu "Bisa nggak berenti sebut duda janda, seneng banget nyebut begitu."
"Bukan aib ini," ujar Wahyu dia mengelak saat Daniel akan memukulnya lagi, "Iya deh papi Dara, iya. Semoga kencannya hari ini lancar, dan semoga gue bisa jadi mantunya."
"N4jis, ntar lo udah loyo anak gue masih mau nambah."
Wahyu tergelak "Ada minyak lintah ini bos." kembali Daniel ingin melempar Wahyu dengan pomadenya.
Walau sejak tadi dia menolak saran Wahyu, namun pada akhirnya Daniel memilih pakaian dan gaya rambut yang diucapkan Wahyu. Untung teman tidak warasnya ini bisa memotong rambut, jadi dia bisa mengubah gaya rambutnya sedikit berjambul dengan kaos abu-abu dan celana cinos coklat yang membentuk kaki panjangnya. Tak lupa Daniel mengenakan kemeja biru langit tanpa dikancing, dengan lengan digulung hingga siku.
Tak butuh waktu lama, mobil Daniel telah sampai di kediaman Denisa. Daniel mengatur debar jantungnya yang tak terkendali, mules, rasa ingin buang air kecil, bahkan dia lupa belum makan apapun sejak semalam, sedikit mual, mirip seperti mau bertemu Aril tatum beneran.
Daniel kembali melihat penampilannya melalui spion depan. Gantenglah, memuji diri sendiri. Daniel membuang nafas lewat mulut menghilangnya rasa gugup, kemudian mengeluarkannya perlahan.
Dari dalam mobil dia bisa melihat Denisa dan Dara keluar. Daniel benar dibuat terpana oleh penampilan sederhana Denisa, darahnya berdesir, Denisa gadis kecilnya dulu kini menjelma menjadi wanita dewasa yang sudah bisa merawat diri, Denisa definisi wanita glowing pada waktunya.
"Wanita akan terlihat menarik ditangan laki-laki yang tepat."
Daniel teringat akan kata-kata itu entah ia dengar dari mana? Daniel merasa menjadi laki-laki hina, seharusnya dulu dia bisa membuat Denisa menjadi wanita yang sedap dipandang, memberinya uang perawatan, bukan malah membuangnya dengan alasan tak ada rasa cinta.
Penyesalan memang selalu datang belakangan bukan?
Tapi, tak ada salahnya juga mengharapkan kesempatan kedua.
Daniel menelan saliva, kemudian sudut bibirnya melengkungkan senyum melihat pakaian yang dikenakan Denisa, dress sebetis biru dongker dengan aksen bunga-bunga kecil, dipadukan outher abu-abu berbahan silk halus, Dara juga mengenakan kaos biru langit berkarakter kuda poni dan celana abu, mereka seperti couple sungguhan.
Daniel keluar dari mobil menyambut para bidadarinya.
Menyadari sesuatu, Denisa diam ditempat memperhatikan penampilannya dan Daniel, tak mengatakan apa-apa, namun kemudian dia membuang muka.
"Kenapa musti sama sih?" kesalnya dalam hati.
"Skenario Tuhan itu memang lebih indah ya? Seindah pagi ini." Daniel seolah menyindir Denisa yang tak suka dengan pakaian mereka yang serasi dan kompak.
"Hai, good morning princess," Daniel merendahkan tubuhnya mensejajarkan dengan Dara.
"Morning too, Om," Dara tersenyum begitu manis. Nyeri, itulah yang dirasakan Daniel saat anaknya sendiri memanggilnya 'Om', matanya sudah memanas ingin mengeluarkan lavanya. Daniel memejamkan mata, menahan agar lava memalukan itu tak turun.
"Kamu cantik banget, masih ingat Om kan?"
"Ingat donk Om, ternyata Om teman Mami."
"Siap jalan-jalan sama Om?" Dara mengangguk antusias, "sini Om bawain tasnya," digandengnya Dara menuju mobil.
"Aku dibelakang aja, biar Dara yang didepan," Denisa melangkah membuka sendiri pintu mobil.
Danile tak membantah, membiarkan Denisa pada pilihannya, toh yang terpenting hari ini dia akan jalan bersama, dan menghabiskan waktu seharian hanya bertiga.
Perjalanan yang menyenangkan, mereka seperti keluarga kecil yang begitu sempurna dan bahagia, anak cantik, dari ayah dan ibu yang tampan dan cantik. Daniel memutarkan lagu anak-anak untuk Dara, dari lagu Indonesia sampai lagu barat.
Keduanya bernyanyi bersama dengan begitu kompaknya, Denisa menahan rasa
"Kita beli jajan dulu." Daniel membelokkan mobilnya dimini market, "Mami yang belanja ya, soalnya papi- eh Om takut salah beli makanan."
Daniel memberikan kartu miliknya pada Denisa.
"Nggak usah, pakai uang kemarin saja," Denisa hendak membuka pintu namun Daniel menguncinya.
"Please Mami, jangan membantah ya!" pintanya dengan wajah dibuat sesedih mungkin, "Dara bilang sama Mami, pakai uang Om aja. Uang Om banyak, nggak akan habis buat belanja setahun kedepan."
Dara hanya diam, bingung, dia takut maminya marah.
Denisa sendiri menatap kesal pada Daniel, jika tidak ada Dara mungkin dia sudah menyemprot mantan suaminya dengan siraman rohani. Dia mengambil kartu itu dengan terpaksa.
"Tanggal lahir kamu Mami," ujarnya memberi tahu pin kartu miliknya.
Denisa terdiam, tapi tak tahu harus berkomentar apa lagi, dia memilih berlalu.
"Kenapa Om panggil mami Dara 'mami' juga?" tanya Dara polos saat Denisa sudah keluar.
Daniel terkekeh mengusap rambut coklat panjang anaknya "Karena Om sudah sangat dekat sama Mami Dara, jadi Om ikut panggil mami, bolehkan?" Dara mengangguk. Daniel banyak bertanya dan mengakrabkan diri pada Dara.
Dara termasuk anak yang mudah bergaul, dia tak pernah minder jika ada teman yang meledeknya tak punya ayah, Dara bahkan melawan jika teman-temannya itu mengejek.
Tujuan utama Daniel yakni mengajak Dara ke Eco Edupark Panbil Nature Reserve Batam.
"Jalan-jalan sambil belajar," ujar Daniel menggendong Dara, "suka nggak?"
"Suka Om, Dara belum pernah kesini." Jawab Dara antusias.
Tangan kiri Daniel gunakan untuk menggendong Dara, sedang tangan kanan ia gunakan untuk menggandeng Denisa. Denisa menolak, tapi Daniel memaksanya.
Dara begitu senang melihat kolam ikan koki, dia sampai minta diturunkan dari gendongan Daniel agar bisa berlari-lari. Setengah hari mereka habiskan disana, Dara begitu puas melihat aneka unggas dan ikan.
"Mi, mau main sama rabbit boleh?" tanyanya saat mereka sampai di taman kelinci.
Denisa mengangguk dan Dara bersorak senang. Daniel tak melepas tangan Denisa sama sekali, hatinya begitu senang melihat pancaran bahagia diwajah Dara.
"Kamu punya penyakit Mi? kata orang kalau telapak tangan berkeringat itu tandanya kita punya penyakit." Tanya Daniel saat merasakan tangan Denisa basah.
"Berhenti panggil aku Mami, nanti Dara salah sangka."
"Tadi sudah aku jawab, Dara tanya kenapa aku panggil maminya, Mami." Daniel makin mengeratkan genggamannya, kemudian mengawasi Dara.
"Apa yang kamu katakan padanya?"
Daniel menoleh, mendekatkan wajahnya ke telinga Denisa, menghalangi dengan telapak tangan. "Itu rahasia kami Mami, Mami nggak boleh tau." Bisiknya tersenyum menyeringai.
Denisa memejam meredam emosi.
"Jika kamu masih ingin bertemu Dara berhenti memanggil ku seperti itu."
"Aku suka panggilan itu, jadi aku nggak mau panggilan lain," tatapnya lekat wajah sendu itu, "terimakasih sudah membesarkan anak kita begitu baik, dia menerima ku, aku janji, akan menebus kesalahan ku selama ini. Kasih aku kesempatan." kecup Daniel punggung tangan Denisa.
Denisa merasakan ribuan kupu-kupu beterbangan menggelitik perutnya mendapat perlakuan manis Daniel, dulu dia mengharapkan ini saat dia tengah hamil Dara.
Tapi, sekarang dia tak mau, ada hati yang harus dijaga.
Tiba-tiba saja mata Denisa memanas. "Aku ingin ke toilet." Dia menarik tangannya.
Daniel diam, tahu suara serak Denisa seperti menahan tangis. Dia membiarkan itu, memilih ikut bergabung bersama Dara.
"Kita mau kemana?" Denisa menyadari Daniel mengarahkan mobilnya bukan kearah pulang, tapi berlawanan arah.
"Kesuatu tempat, ini agak sedikit jauh, kita nginep ya? masa kita cuma burung sama ikan."
Dara melihat Denisa meminta persetujuan, jujur saja, Dara merasa senang berjalan bersama Daniel.
"Aku besok ada jadwal piket, aku tidak mungkin izin." Dara menunduk sedih, kalau boleh jujur dia masih ingin bermain, namun dia tak bisa mengatakan itu.
"Aku sudah mereservasi tempatnya, kamu tinggal izin sehari apa susahnya sih Denisa."
Denisa sudah mau membuka mulut namun dia melihat wajah murung Dara.
"Oke, tapi kali ini saja." Daniel bersorak senang dalam hati.
Setelah menempuh perjalanan dua jam, mereka sudah sampai di resort yang menyajikan kolam renang yang begitu indah dengan pemandangan pantai lepas.
Daniel sudah menyewa dua kamar untuk mereka, Daniel meletakkan Dara yang tertidur dikamarnya. Dan dia masuk kamar Denisa.
"Sebenarnya aku ingin mengajak kalian menyeberang, tapi aku belum mengatakan pada Amanda kalau kamu_"
"Mantan istri," sela Denisa.
"Aku sudah membuat pasport untuk kalian." berikan Daniel dokumen pada Denisa tak ingin membahas masalah lain.
Denisa terperangah "Kapan kamu memiliki dokumen pribadiku?" tanya Denisa sedikit meninggikan suaranya. Mengingat sesuatu Denisa memijit pelipisnya. "Aku benar-benar tidak memiliki privasi, kau menyadap semua isi ponselku?"
"Apa boleh buat, meminta baik-baik kamu tidak akan memberikannya."
"Kamu keterlaluan, aku benci kamu. Aku sudah berbaik hati mempertemukan kamu dengan Dara tapi kamu malah melebihi batas." Pukul Denisa dada Daniel.
Daniel memegang tangan Denisa, menarik tengkuk Denisa dan menyatukan bibirnya disana, pertemuan dua benda kenyal nan lembut itu membuat Denisa mematung.