Singgasanaku dibuat dari indung mutiara yang dibentuk menyerupai jalinan akar pohon.
Aku menyebutnya rumah, yang lain mengatakan ini penjara. Walau demikian penjaraku dibuat seindah tempat tinggal para dewa, mungkin karena ibu berharap putranya adalah dewa dan bukannya iblis.
Tidak ada pilar atau ruangan-ruangan lain. Hanya ada pohon tunggal yang tumbuh kokoh di halaman singgasanaku. Pohon yang menjadi sumber kehidupanku, kini semakin kehilangan kecemerlangannya. Saat pohon itu meredup lalu padam, aku juga akan sirna.
Sebelum aku menghilang dan dilupakan, akan kuceritakan masa singkat petualanganku sebagai iblis yang menyamar jadi manusia atau barangkali iblis yang berusaha menjadi dewa hingga aku berakhir didalam penjara ibu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Author GG, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Phoenix Yang Terbakar
"Apakah dia jatuh dari langit?"
Aku jatuh dari atap. Aku tidak tidur, aku cuma memejamkan mata. Pendaratan ini amat tidak mulus, membuat punggungku ngilu dan kepalaku pening. Sudah ada beberapa gadis sedang menontonku dengan penasaran dan takut-takut.
Setelah menjernihkan kepala, aku akhirnya benar-benar melihat mereka. Semuanya memiliki nametag seperti milikku, identitas gilda Phoenix yang menggantung di angkinnya melengkapi rumbai sutra dan giok.
"Selamat pagi." sapaku.
"Ah, dia hidup!" Mereka mengambil beberapa langkah mundur seperti melihat hantu.
Kusebutkan semua nama-nama mereka sesuai yang tertulis dalam huruf huruf emas itu. Ada yang terperangah, ada yang langsung menyembunyikan pengenalnya dan ada juga yang tidak terlalu mempermasalahkan.
"Adik-adik," kataku. "Kenapa tidak duduk saja disini bersamaku." Aku telah duduk bersila.
"Kenapa kami harus melakukannya?"
Aku melirik pengenalnya, Oktavia.
"Tidak seorangpun harus melakukannya," aku berkata. "Aku hanya menawarkan saja. Wah rupanya tidak ada yang mau, ya?"
"Apa yang tadi kau lakukan di atas sana?"
Aku bersedekap, kusadari ranting ceri masih terselip di ikat pinggangku. "Aku melakukan tugasku, memangnya apalagi?"
"Apa ketua menyuruhmu menyikat genteng?" tanya Lu Shi gadis yang kini telah menyembunyikan nametagnya.
"Jika ketua kalian yang cantik itu menyuruhku melakukannya aku akan mengerjakannya sekalian kucabuti rumput."
"Kenapa mencabuti rumput?"
"Jika kalian membiarkannya, lama lama gilda ini akan jadi sarang hantu, lihatlah."
"Ah, jadi benar ya disini ada hantu?" Namanya Faradisa, anak perempuan itu membelalak. "Tiga orang itu menyebut-nyebut hantu, katanya dia dikalahkan hantu gilda, menurut kalian hantunya seperti apa?"
"Pastinya tuan hantu sangat keren, aku sudah jadi penggemarnya."
"Kak Ahri ada ada saja. Hantu seperti itu hanya ada di dalam novel."
"Kalau hantu itu ada di dunia nyata, pasti hantunya mirip denganku."
"Apa itu perbuatanmu?" Oktavia menyipit ke arahku.
"Sayangku, kenapa kau menatapku seolah aku telah melakukan kejahatan?"
"Jadi memang kakak yang menangkap mereka, coba semalam aku lihat." Ahri mendekat lalu mencubit lenganku. "Baguslah kalau kakak bukan hantu.
"Aku begitu kerepotan, kenapa tidak satupun dari kalian datang membantuku, eh? Apa kalian sangat tidak peduli pada rumah ini?"
"Kami memang lebih banyak menghabiskan waktu di gilda lain," Lu Shi menjelaskan. "Disini biasanya tidak ada siapa-siapa."
"Nah, karena itu kalian harus dihukum karena tidak memelihara rumah dengan baik."
"Eehh?" Faradisa menatapku yang sedang mengangguk khidmat.
"Aku adalah anggota gilda Phoenix paling setia," kata Oktavia, "Aku selalu ada di sini kecuali ada event yang harus kuikuti. Omong-omong siapa kau?"
Aku memandang mereka yang menantiku, mereka baru menyadari hal penting ini. Kujentikan jari dan diam-diam kusembunyikan pengenalku.
"Siapa namaku ya, ah bisakah kalian menebaknya?" tanyaku.
"Mana kita tahu."
"Ya, Okta, kau dan yang lainnya harus menebaknya, itu hukuman kalian. Aku janji, siapa saja yang bisa menebak dengan benar akan kuberi hadiah."
"Eh, benarkah?" Lu Shi tampak tertarik.
"Ya, seumur hidupku aku tidak pernah berbohong."
"Gege sedang apa kau?"
"Ehe, pagi Niken."
Para gadis saling pandang.
"Gege, itu namamu?" Oktavia memandangku.
Kugaruk belakang kepalaku. "Ahahaha ha."
Aku melipat tangan di dada dengan bijak. "Bukan."
"Kak Niken kenal dengan kakak ini? Kalau begitu beritahu aku siapa namanya?" Faradisa menangkup lengan Niken.
"Untuk apa?"
"Kakak ini akan memberi hadiah kalau kita menebak namanya dengan benar, ayo nanti kita bagi hadiahnya."
"Mana ada dia punya uang." kata Niken. "Meski tampangnya seperti pangeran."
"Dewandaru?" Panggil Phoenix
Para gadis saling pandang lagi.
"Nama kakak Dewandaru?"
Sebelum aku menjawab, Hyura tiba-tiba muncul, berlari kearahku, Ka-lam berusaha mengejar iguana kuning nakalnya. Para gadis memekik dan membubarkan diri.
***
Phoenix membawaku ke pelataran musim semi, kediamannya, disana sudah ada gadis semalam yang kini enggan menatapku. Phoenix pasti sudah menanyainya dan aku tidak perlu menjelaskan apa-apa lagi soal kejadian semalam.
"Mulai sekarang sebaiknya kau memasang pengamanan di pintu masuk. Siapapun yang ingin memasuki gilda Phoenix perlu mendapat persetujuan darimu." kukatakan pada Phoenix.
"Aku akan mengikuti saranmu, terimakasih, Daru sudah menjaga gilda untukku. Aku sudah membereskan tiga orang itu pagi tadi, aku hendak mencarimu tapi malah nona ini yang ada di kamarmu."
"Apa kau sudah merasa lebih baik?"
Gadis itu menunduk. "Maap, semalam saya sudah berlaku tidak sopan pada anda. Sungguh tidak seharusnya saya bergaul dengan mereka. Saya tidak tahu apa-apa soal daratan merah, saya baru tiba beberapa hari yang lalu."
"Aku mengerti keadaanmu."
"Terimakasih, berkat buat saya bertemu dengan anda, meskipun dalam keadaan yang tidak pantas."
"Boleh kutahu namamu?"
"Ah, ya saya Luten, dan saya akan kembali ke daratan utama, hari ini juga."
"Begitu terburu-buru?"
Dia mengedik, mengisyaratkan bahwa hal itu sudah keputusannya.
"Boleh kutahu dimana itu?"
Dia menyebutkan suatu negeri di daratan utama yang sangat jauh sekali dengan negeri tempat dimana ibu tinggal.
"Aku tahu negeri yang kau maksud," Aku memberitahunya. "Itu negeri yang penuh dengan bunga, ada perayaan hari warna pada bulan tertentu, semarak dengan lagu dan tarian?"
"Ah, ya benar. Apa anda pernah ke sana?"
"Belum, tapi aku berharap bisa mengunjungi negerimu suatu saat."
"Aku menunggu."
***
"Dia cantik, ya." Phoenix tiba-tiba mematahkan keheningan. Kami mengantar Luten sampai ke pintu gerbang, kami tengah memandangi punggungnya yang kian menjauh.
"Eh? Luten?"
"Kau bahkan terlihat begitu senang menyebut namanya."
"Aku juga senang menyebutmu, Phoenix."
"Kau pasti sudah meninggalkan kesan mendalam untuknya. Apa semalam kau bersenang-senang?"
"Aku tidak bersenang-senang. Percayalah padaku."
"Kenapa aku harus percaya padamu?" Phoenix berbalik dan meninggalkan gerbang, aku membututinya. "Aku tidak peduli apa yang terjadi dengan kalian berdua."
"Mengenai Luten," kataku. "Apa saja yang dia katakan?"
"Yang jelas bukan malam panas antara kalian berdua."
"Tidak ada malam panas," aku menjelaskan. "Aku menggigil di atap bersama Hyura."
"Hyura? Aku tidak tahu ada gadis di gilda yang bernama Hyura."
"Iguana kuning punya Ka-Lam. Kami menghabiskan malam romantis disana. Pemandangan di atap bagus untuk berkencan. Kau percaya tidak? Kalau tidak kau bisa ikut bersamaku kapan kapan."
Setelah jeda singkat, Phoenix berkata, "Ya aku tidak percaya, jadi aku akan melihatnya bersamamu."
"Daru..."
"Ya?"
"Aku cukup kaget saat mendapati tiga orang itu tadi pagi. Apa kau pernah dengar? Sekarang sedang marak kelompok kejahatan yang mengincar gilda-gilda kosong, mereka melakukan transaksi ilegal dan sejumlah pelanggaran lain disana. Aku baru akan menutup gilda hari ini setelah orang orang membicarakannya sewaktu aku main di gilda lain."
"Lalu?"
"Tapi dari perkataan Luten mereka bukan orangnya, bagaimana menurutmu? Kau yang berhadapan langsung dengan mereka."
"Mereka sama sekali tidak seperti kelompok kriminal yang sedang dibicarakan, mereka hanya berandal jalanan amatir, menurutku."
Phoenix mengangguk.
"Apa yang tadi kau lakukan dengan anak-anak?"
"Main tebak-tebakan."
"Menebak apa?"
"Menebak namaku."
"Tapi aku mengacaukan teka-tekimu, bukan begitu?"
"Bukan masalah. Aku masih punya banyak teka-teki. Kau mau coba menebaknya? Nah, berapa kali aku bernapas dalam sehari? Apakah kaki kanan atau kaki kiri terlebih dahulu ketika aku melangkah?"
Phoenix berhenti berjalan, aku ikut berhenti. "Kenapa semua tentangmu?"
"Karena aku tidak tahu apa apa tentangmu, bagaimana aku tahu mereka menjawab benar atau salah, warna kesukaanmu misalnya, atau hari ulang tahunmu?"
Kembali melangkah Phoenix berkata. "Oktober."
"Kau berulang tahun? Hari ini?"
"Tidak, beberapa hari lagi."
Aku meraih tangan Phoenix dan aku tidak mengira dia akan terkejut. "Selamat ulang tahun kalau begitu."
"Tunggu sampai tanggal 18."
"Ya, tidak apa-apa. Aku hanya tidak mau orang lain lebih dulu mengucapkan selamat padamu."
masih nyimak