" Mau gimanapun kamu istriku Jea," ucap Leandra
Seorang gadis berusia 22 tahun itu hanya bisa memberengut. Ucapan yang terdengar asal dan mengandung rasa kesal itu memang sebuah fakta yang tidak bisa dipungkiri.
Jeanica Anisffa Reswoyo, saat ini dirinya sudah berstatus sebagai istri. Dan suaminya adalah dosen dimana tempatnya berkuliah.
Meksipun begitu, tidak ada satu orang pun yang tahu dengan status mereka.
Jadi bagaimana Jea bisa menjadi istri rahasia dari sang dosen?
Lalu bagaimana lika-liku pernikahan rahasia yang dijalani Jea dan dosennya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon IAS, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Istri Rahasia 12
" Ehmm Ma, Pa, aku keluar bentar ya. Ada sesuatu yang kelupaan."
Baru saja Lean mengambil piring untuk menyendok nasi, dia kembali meletakkan kembali piringnya iyu di atas meja. Dengan gerakan yang cepat dia mengambil kunci mobil, ponsel serta dompetnya lalu segera pergi.
Lupa, ya Lean sungguh lupa bahwa dirinya meninggalkan 'istrinya' sendirian di apartemen dari sejak tadi pagi. Lean sejenak lupa bahwa dia sudah menikah dan memiliki tanggung jawab terhadap anak gadis orang.
" Bego bego bego, Lean bisa-bisanya sih lupa sama istri sendiri," rutuk Lean terhadap dirinya sepanjang jalan menuju ke apartemen. Dia bertambah kesal saat jalanan yang dilaluinya macet. Terlebih hujan memang sedang deras malam itu di Jakarta. Membuat semua berlomba-lomba ingin cepat sampai rumah atau tempat tujuan masing-masing.
" Duh anak itu makan nggak ya. Aku lupa lagi ninggalin uang. Di kulkas ada bahan makanan nggak ya, aduuh aku kok bisa lupa ya. Eh bukannya kemarin kayaknya aku isi ya. Aah tau lah, malah jadi bingung sendiri gini aku."
Saking bingungnya Lean lupa bahwa di jaman serba canggih ini ada ponsel dan kamera cctv. Seharusnya dia bisa menggunakan ponselnya untuk menghubungi Jea atau memeriksa kamera pengawas untuk memeriksa apakah Jea makan atau tidak. Mengingat ia mengaktifkan kamera pengawas di apartemen yang terkoneksi dengan ponselnya.
Ckiiit
Cekleek
Drap drap drap
Braaak
Lean membuka pintu dengan sedikit keras. Nafasnya terengah-engah karena dia memilih berlari untuk segera sampai di apartemennya. Tapi setelah sampai Lean menghembuskan nafasnya penuh dengan kelegaan melihat Jea yang tengah sibuk di dapur.
" Lho Pak eh Bang, ada apa kok kayaknya buru-buru gitu, apa ada sesuatu yang ketinggalan?"
" Haaah, nggak apa-apa. Iya bener ada yang ketinggalan, kamu yang ketinggalan."
Jea memiringkan kepalanya, dia tidak mengerti maksud dari ucapan dosennya yang sekarang sudah jadi suaminya itu.
Lean berjalan menuju ke dapur, dia mengambil gelas lalu menekan tombol dispenser untuk mengeluarkan sedikit airnya.
Gluk gluk gluk
Pria itu meminum air segelas penuh dengan sekali tenggak. Agaknya dia benar-benar haus karena rasa khawatir dan kegiatan berlarinya tadi.
Sreeek
Lean menarik kursi dan duduk di sana, ia mengamati seluruh isi dapur dan tampak lega. Ya semua yang Jea butuhkan perihal makanan ternyata sudah ia penuhi. Lean teringat sesuatu yang penting, ia mengambil dompet di saku jaketnya dan mengeluarkan sebuah kartu dari sana.
" Jea, ini pegang."
" ATM, buat apa Bang?"
" Ini adalah nafkah ku, pergunakanlah untuk semua keperluan mu. Kamu nggak perlu mikirin Ibu atau Akbar karena mereka akan ada sendiri. Di ATM ini kamu bisa pergunakan uangnya dengan bebas. Nomor sandinya 379577."
Jea tidak bereaksi, dia hanya diam. Kepalanya menunduk, dan kedua tangannya saling bertautan. Lean paham akan maksud dari tindakan istrinya itu. Jea pasti tidak mau menerima apa yang ia berikan tapi Lean tidak menyerah. Semua itu adalah kewajiban Lean yang sudah seharusnya menjadi hak dari Jea.
" Terima ini, aku ikhlas ngasih ke kamu karena kamu istriku. Jangan mikir yang aneh-aneh. Jangan bicara yang dirasa nggak perlu, simpan ini dan pergunain dengan baik."
Jea terkejut saat tangannya diraih oleh Lean dan kartu ATM itu diletakkan di sana. Ia melihat ke dalam mata pria itu, ucapan Lean serius. Terdapat kesungguhan di sana.
" Dah jangan bengong, ngomong-ngomong kamu lagi masak kan? Masak apa, kebetulan aku laper dari pagi belum makan."
" Aah ya, bentar Bang. Tunggu sebentar lagi beres."
Jea langsung bangkit dari duduknya. Dia kembali menyalakan kompor yang tadi dimatikannya karena bicara dengan Lean. Jea fokus dengan apa yang dikerjakannya sehingga dia tidak sadar bahwa apa yang ia lakukan itu sedari tadi diperhatikan oleh Lean.
Ya Lean tersenyum melihat Jea yang begitu serius memasak. Dia merasa tidak pernah merasa sesenang ini melihat seseorang memasak di depannya. Biasanya Lean tidak pernah memerhatikan ibu dan kakak perempuannya saat memasak, tapi melihat Jea yang melompat kesana kemari membuatnya senang.
" Apa ini yang dirasain Papa kalau lagi nungguin Mama di dapur? Eiiih, aku kenapa sih?"
Lean menggelengkan kepalanya pelan. Baru beberapa saat bersama yang dalam arti sebenarnya bersama dengan Jea, ia sudah memiliki rasa lain terhadap istrinya itu. Padahal saat pertama kali melihat Jea di dalam mobil, Lean tidak mengenalinya sebagai mahasiswa jika tidak melihat kartu mahasiswa milik Jea.
Entah karena banyaknya kelas yang ia ajar. Atau dia terlalu tidak peduli dengan mahasiswanya selain yang berkaitan dengan pengajaran, membaut Lean awalnya sangatlah terkejut mengetahui fakta bahwa Jea merupakan salah satu mahasiswa yang berada di bawah pengajarannya.
" Nah Bang, sudah mateng. Maaf aku nggak bisa bikin menu aneh-aneh. Semoga rasanya sesuai sama lidah Abang."
" Woaah ini mah lebih dari cukup Jea. Kamu beneran bisa masak. Kirain yang kemarin makan di rumah tuh bohong kamu yang masak."
Jea memberengut mendengar ucapan Lean. Ia tidak menyangka kemampuan memasak nya diragukan seperti itu. Namun Jea merasa senang melihat bagaimana ekspresi Lean. Terlebih ketika pria itu makan, rasanya sangat menyenangkan karena Lean makan dengan begitu antusias.
Tanpa sadar Jea memerhatikan setiap gerakan Lean. Baru kali ini dia melihat dosennya itu makan dan mungkin ini lah yang disukai para wanita. Lean benar-benar terlihat sempurna. Bahkan ketika makan pun pria itu tetaplah tampan.
Hidung mancung, mata berwarna hitam legam, kulit putih bersih, rambut yang sedikit acak-acakan, bulu halus di tangan, garis wajah yang tegas namun bisa lembut dalam suatu waktu, sungguh seperti karya seni yang indah.
" Yang begitu jadi suamiku. Ini berkah atau cobaan? Apa kalau tidur juga tetep ganteng ya," batin Jea. Ia lalu menepuk kedua pipinya dnegan tangan. Agaknya pikirannya sudah melalang buana tidak jelas hanya dengan memerhatikan wajah Lean.
" Jea, kamu nggak makan."
" Aaah iya Bang, ini mau. Ya ini baru mau makan."
Jea tergagap, memang benar dia belum mengambil makanannya. Karena sedari tadi dia hanya memerhatikan Lean. Dosennya yang jadi suaminya.
Sejenak Jea merasa malu karena diam-diam menelisik wajah Lean. Sebenarnya Jea masih tidak percaya saja, pria yang sepertinya sangat tidak bisa teraih dan tersentuh itu menjadi suaminya.
" Haaah apa ini yang namanya dosenku suamiku, ah mbuh lah Jea. Mumet kalau dipikirin terus. Sekarang jalani aja kayak gimana kedepannya. Tapi apa ya bisa aku nggak jatuh hati kalau gini terus. Bukan hanya karena wajahnya yang tampan, tapi perlakuannya juga lembut dan manis. Jea tenang no pikir lan atimu."
TBC