Seorang kakak yang terpaksa menerima warisan istri dan juga anak yang ada dalam kandungan demi memenuhi permintaan terakhir sang Adik.
Akankah Amar Javin Asadel mampu menjalankan wasiat terakhir sang Adik dengan baik, atau justru Amar akan memperlakukan istri mendiang Adiknya dengan buruk?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Noor Hidayati, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Mimpi
"Kak Amar..." Mahira masih shock ketika tiba-tiba Amar menindih tubuhnya. Menekan kedua pergelangan tangannya lalu mulai mendekatkan wajahnya.
"Kak A-mar... apa yang akan kak Amar lakukan," ucap Mahira memalingkan wajahnya ke sisi kanan sambil memejamkan mata erat-erat karena Amar semakin mendekatkan wajahnya.
"Cup..." satu kecupan mendarat di kening Mahira, membuat Mahira membuka mata dan menatap Amar tak percaya. Seakan tak memberi kesempatan pada Mahira beristirahat dari rasa terkejutnya, Amar kembali mencium kedua pipi kanan kirinya secara bergantian. Tak berhenti sampai disitu, Amar menurunkan bibirnya sejajar dengan bibir Mahira yang sedikit terbuka, kemudian memiringkan kepalanya dan mendaratkan kecupan mesranya. Sontak Mahira kembali memejamkan mata menikmati kecupan yang selama ini ia harapkan dari Amar suami barunya. Semakin lama kecupan itu berubah menjadi lumat4an yang bergai4h. Terbukti dengan tangan Amar yang semakin aktif bergerak sesuai nalurinya.
Desa han bersautan dari keduanya mengiringi pemanasan yang tengah mereka lakukan. Amar di usianya yang hampir empat puluh tahun dan belum pernah merasakan kenikmatan hubungan suami istri, dan Mahira yang memiliki pengalaman lebih dari pernikahan terdahulunya, membuat keduanya saling berbalas imbang.
"Kamu menginginkannya?" bisik Amar di telinga Mahira yang terlihat sudah tak tahan lagi.
Tanpa menjawab pertanyaan dari Amar, Mahira menarik kerah kemeja Amar supaya cepat melakukannya. Akan tetapi Amar hanya tersenyum seakan ingin melihat Mahira tersiksa oleh hasratnya.
"Kak Amar... jangan menyiksa ku seperti ini..." rengekan Mahira tak membuat Amar bergerak mengakhiri permainan yang sudah Ia mulai.
"Aku mohon..."
"Kak Amar... kak Amar..."
"Mahira... Mahira...
"Jangan lakukan ini padaku..." rengeknya mulai menangis.
"Mahira!!!" teriakan Amar membangunkan Mahira dari mimpinya. Dengan nafas yang tersengal-sengal Mahira menatap Amar yang ada di hadapannya, sama seperti di mimpinya sehingga membuat Mahira bertanya-tanya apakah Ia hanya bermimpi, atau benar-benar terjadi.
"Mahira kamu mimpi buruk?" pertanyaan Amar mematahkan dugaan Mahira yang menganggap mimpinya sebagai kenyataan.
"Tapi itu terasa sangat nyata." batin Mahira yang seakan tak percaya jika itu hanya mimpinya disiang hari.
"Mahira..." kini dengan lembut, Amar mengusap kepalanya seakan benar-benar mengkhawatirkannya.
"Kamu baik-baik saja?"
"E-eum ya, aku hanya mimpi buruk," saut Mahira asal menjawab.
"Apa dalam mimpi aku menyakiti mu?"
"Hagh!?" pertanyaan Amar mengagetkan Mahira.
"Kamu terus memohon sambil menyebut namaku, apa di mimpimu aku menyakiti mu?"
"E-tidak, aku hanya.... m-maksudku aku tidak mengingat apa yang ku impikan."
"Baiklah." mendengar jawaban Mahira, Amar yang sejak tadi hanya duduk menatap Mahira menghelai nafas dalam-dalam lalu bangkit dari duduknya.
"Tadi aku kesini mencari Emir, tapi dia tidak ada." ujar Amar memberi alasan.
"Oh, Emir ada sama Mbak Lia, tadi mataku masih sangat ngantuk jadi aku minta Mbak Lia untuk menjaganya."
"Tidak masalah, beristirahatlah," ucap Amar yang kemudian melangkah pergi.
Mahira hanya bisa menatap punggung Amar yang semakin mendekati pintu, namun ketika Amar sampai pintu, Amar kembali berbalik badan menatap Mahira.
"Kenapa aku tidak bisa melakukan apa yang aku inginkan." batin Amar yang tak melepaskan pandangannya pada Mahira.
"Mahira sampai kapanpun kak Amar tidak akan pernah menerima mu sebagai istrinya. Mimpimu hanya angan-angan yang selama ini kamu harapkan darinya." ujar Mahira pada diri sendiri.
Bersambung...