NovelToon NovelToon
VARIOUS LOVES

VARIOUS LOVES

Status: sedang berlangsung
Genre:Poligami / Cinta Terlarang / Bad Boy
Popularitas:2.2k
Nilai: 5
Nama Author: WikiPix

Nadira terbaring koma, di ambang batas hidup, divonis tak akan bisa pulih oleh sang dokter akibat penyakit langka yang merenggut segalanya dengan perlahan.

Di sisa-sisa kesadarannya, ia menyampaikan satu permintaan terakhir yang mengubah hidup Mira, kakaknya: menggantikan posisinya untuk menikahi Revan, seorang pria yang bahkan tak pernah Mira kenal.

Tanpa cinta, tanpa pilihan, Mira melangkah menuju pelaminan, bukan untuk dirinya sendiri, melainkan demi memenuhi permintaan terakhir Nadira. Namun, pernikahan ini lebih dari sekadar janji. Itu adalah awal dari ujian berat, di mana Mira harus berjuang menghadapi dinginnya hati Revan dan penolakan keluarganya.

Ketika Mira mencoba bertahan, kenyataan yang lebih menyakitkan menghancurkan semua: Revan melanggar janjinya, menikahi wanita lain yang memiliki kemiripan dengan Nadira, semua dilakukan di balik punggung Mira.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon WikiPix, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Gelisah

Saat Revan keluar dari kamar mandi, ia melihat Mira sedang berdiri di depan meja rias, mengenakan daster sederhana berwarna biru lembut. Rambutnya yang setengah terurai jatuh indah di punggungnya, sementara tangan Mira sibuk menyisir rambutnya dengan perlahan.

Revan melangkah mendekat tanpa suara, lalu memeluk Mira dari belakang. Tubuhnya yang masih basah menyentuh punggung Mira, membuat wanita itu sedikit tersentak.

"Mas, dingin..." keluh Mira sambil memutar kepalanya, menatap Revan dengan mata yang sedikit terkejut namun lembut.

Revan tersenyum kecil, wajahnya didekatkan ke bahu Mira. "Maaf, aku nggak bisa menahan diri. Kamu kelihatan cantik sekali malam ini."

Mira tersenyum tipis, tapi ia tampak sedikit canggung. "Mas, jangan bercanda..." gumamnya, mencoba mengalihkan perhatian Revan dengan mengangkat sisirnya kembali.

Namun, Revan memutar tubuhnya agar ia bisa menghadap langsung ke Mira. Ia menatap wanita itu dalam-dalam, menggenggam kedua tangannya dengan lembut.

"Mira," panggilnya lirih, "Aku ingin malam ini menjadi milik kita. Aku ingin kita benar-benar merasakan hubungan sebagai suami istri."

Mira mendengar nada serius dalam ucapan Revan, dan ia langsung merasa cemas. Tubuhnya sedikit menegang, meskipun ia tidak berani menolak secara langsung.

"Mas... aku... aku nggak tahu. Aku belum siap..." katanya pelan, matanya berusaha menghindari tatapan Revan.

Revan menarik Mira ke dalam pelukannya lagi. "Aku mengerti," bisiknya. "Tapi aku ingin kita mencoba. Aku janji, aku akan berhati-hati, dan aku akan memastikan kamu merasa nyaman."

Mira menelan ludah, merasa tekanan yang begitu besar. Ia tahu, sebagai istri, ada kewajiban yang harus ia penuhi. Namun, hatinya masih belum sepenuhnya siap untuk melangkah sejauh itu.

"Mas... pelan-pelan, ya," akhirnya Mira berbisik hampir tak terdengar, dengan nada menyerah.

Revan mengangguk, memberikan ciuman lembut di kening Mira.

"Aku janji," katanya dengan suara penuh keyakinan. Ia menggenggam tangan Mira, membimbingnya menuju tempat tidur.

Meski Mira berusaha mengikuti keinginan Revan, perasaan canggung dan tidak nyaman terus menghantuinya sepanjang momen itu.

Ia mencoba sebaik mungkin menutupi kegelisahannya, tapi dalam hati ia berharap Revan akan menyadari perasaannya yang belum sepenuhnya siap.

Hubungan malam itu terjadi dalam keheningan, dengan Mira yang lebih banyak memejamkan mata, menahan perasaan yang bercampur aduk. Revan berusaha berhati-hati, sesuai janjinya, tetapi ia tak menyadari bahwa Mira melakukan semuanya dengan setengah hati.

Setelah semuanya selesai, Revan memeluk Mira erat-erat.

"Terima kasih, Mira," bisiknya, mencium puncak kepala istrinya dengan penuh kasih sayang.

Namun, Mira hanya terdiam, matanya menatap langit-langit dengan perasaan yang sulit ia ungkapkan. Dalam hati, ia merasa sesuatu telah berubah, tapi ia tidak tahu apakah perubahan itu akan membawa mereka menuju hubungan yang lebih baik atau justru sebaliknya.

Saat mereka berbaring di tempat tidur, suasana kamar terasa sunyi. Revan masih memeluk Mira dengan lembut, berusaha menciptakan kehangatan yang ia harapkan dapat membuat istrinya merasa nyaman.

Namun, keheningan itu tiba-tiba dipecahkan oleh dering ponsel Revan yang tergeletak di atas meja kecil di samping tempat tidur.

Nama Ratna muncul di layar ponsel, nama ibu Revan yang cukup dominan dan sering mengendalikan keputusan dalam keluarganya.

Revan melirik layar ponsel sejenak, lalu tanpa ragu, ia menjangkau ponsel tersebut dan mematikan deringnya. Ia bahkan mengatur ponsel ke mode senyap, tidak ingin suasana yang telah ia bangun dengan Mira terganggu.

Melihat tindakan Revan, Mira bertanya dengan suara pelan, "Siapa, Mas?"

Revan tersenyum kecil, berusaha terlihat santai. "Bukan siapa-siapa, cuma urusan nggak penting," jawabnya singkat, meskipun jelas dari nada suaranya ia mencoba menghindari pembicaraan lebih lanjut.

Mira mengangguk pelan, meski dalam hatinya ia merasa ada sesuatu yang tidak sepenuhnya jujur dalam jawaban suaminya.

Ia memilih untuk tidak memaksakan pertanyaan lebih lanjut. "Kalau gitu, kita istirahat aja, ya, Mas? Kayaknya kamu juga capek."

Revan mengusap kepala Mira dengan lembut, lalu mengecup dahinya. "Iya, kita istirahat. Kamu tidur duluan aja."

Mira menutup matanya, mencoba terlelap, tetapi Revan tetap terbaring diam di sampingnya, dan matanya menatap langit-langit kamar dengan pandangan kosong.

Ia mencoba memejamkan mata, namun pikirannya terus mengembara ke berbagai hal, terutama telepon dari ibunya, Ratna, yang baru saja ia abaikan.

Ratna adalah sosok yang tegas dan memiliki kendali besar dalam keluarganya.

Revan tahu betul, jika ibunya menelepon pasti ia sudah mengetahui hubungan dengan Mira, atau ada hal yang lain, yang perlu di bicarakan.

Namun, ia juga sadar bahwa menjawab telepon itu berarti membuka ruang untuk pembicaraan yang mungkin akan menambah beban pikirannya.

Dalam hati, Revan merasa bersalah. Sudah beberapa hari ia tidak pulang ke rumah orang tuanya, apalagi sejak pernikahannya dengan Mira, yang dilakukan tanpa sepengetahuan dari mereka.

Ia tahu bahwa mereka pasti kecewa, bahkan mungkin marah, dengan keputusannya.

Ia melirik Mira yang tampak sudah terlelap di sebelahnya. Wajah istrinya terlihat damai, meski Revan tahu Mira menyimpan banyak kekhawatiran. Dalam keadaan seperti ini, ia tidak ingin Mira merasa semakin terbebani.

Revan menghela napas panjang, berusaha menenangkan pikirannya. Ia berkata dalam hati, Aku harus segera menghadapi semuanya. Aku tidak bisa terus-menerus menghindar. Tetapi ia juga tahu, menemukan waktu dan cara yang tepat untuk menjelaskan situasi ini kepada orang tuanya bukanlah hal yang mudah.

Pelan-pelan, Revan bangkit dari tempat tidur, berusaha agar tidak membangunkan Mira. Ia berjalan ke arah jendela dan membuka sedikit tirainya, memandang ke luar ke arah langit malam yang gelap. Ia merasakan udara malam yang dingin menyentuh kulitnya, seolah-olah mencoba menenangkan pikirannya yang kacau.

Revan kembali menatap Mira yang masih terlelap, dan mendekati meja di sudut kamar, mengambil secarik kertas dan pena yang tergeletak di sana. Dengan perlahan, ia mulai menulis surat untuk istrinya, memastikan setiap kata mencerminkan niat baiknya.

*******

Untuk Mira, istriku tercinta,

Saat kamu membaca ini, aku mungkin sudah pergi ke rumah orang tua. Jangan khawatir, aku baik-baik saja. Aku hanya merasa perlu menyelesaikan sesuatu yang selama ini terus mengganggu pikiranku.

Aku tahu, hubungan kita belum sepenuhnya sempurna. Aku juga tahu, sebagai suamimu, aku punya tanggung jawab untuk menjaga kebahagiaan kita berdua. Tapi ada hal yang selama ini aku hindari, bicara dengan orang tuaku. Aku ingin memastikan semuanya jelas, agar kita tidak terus dibayangi rasa bersalah atau ketidakpastian.

Aku tidak ingin kamu merasa terbebani, jadi kumohon, percayalah padaku. Aku akan kembali secepat mungkin. Jika ada apa-apa, kamu bisa menelepon aku kapan saja.

Terima kasih sudah menjadi istriku, Mira. Aku sangat menyayangimu.

Revan

******

Setelah selesai menulis, Revan melipat kertas itu dengan rapi dan meletakkannya di atas meja rias, tepat di tempat yang mudah dilihat oleh Mira. Ia kembali ke tempat tidur sejenak, mengecup lembut kening istrinya, dan berbisik pelan, "Aku janji, semua ini demi kita."

Revan mengambil jaket dan kunci mobilnya, lalu melangkah keluar dari kamar dengan hati-hati agar tidak membangunkan Mira. Setelah menutup pintu dengan perlahan, ia melangkah keluar rumah menuju mobilnya. Dingin udara malam menyentuh wajahnya, namun ia merasa mantap dengan keputusannya.

Revan masuk ke dalam mobilnya dan menyalakan mesin. Udara dingin malam itu masih terasa menusuk, namun ia menganggapnya sebagai bagian dari ketenangan yang ia cari. Ia duduk sejenak, mencoba merangkai ulang semua yang ingin ia katakan kepada kedua orang tuanya. Lampu dashboard menerangi wajahnya yang tampak tegang namun penuh tekad.

Perjalanan menuju rumah orang tuanya cukup sepi. Jalanan yang lengang membuat pikirannya semakin leluasa berkelana, memutar kembali kenangan dan keputusan yang membawa ia pada titik ini.

Pernikahannya dengan Mira memang membahagiakan, tetapi ia tahu bahwa tanpa restu penuh dari keluarganya, ada jurang yang terus memisahkan kebahagiaan itu dengan kedamaian batinnya.

Ketika ia tiba di depan rumah orang tuanya, lampu ruang tamu masih menyala. Revan bisa merasakan ketegangan kembali menyelimuti dirinya, tetapi ia menguatkan hati.

"Aku harus bisa," gumamnya pelan. Ia mematikan mesin mobil, menarik napas panjang, lalu turun.

Dengan langkah pelan namun mantap, ia mendekati pintu depan. Tangannya sempat ragu mengetuk pintu, tetapi akhirnya ia melakukannya dengan tiga ketukan tegas. Tak lama, pintu terbuka, menampilkan sosok Bi Siti, ART keluarganya.

"Selamat malam, Bi. Apa Bapak dan Ibu ada di rumah?" tanya Revan sopan.

Bi Siti menggeleng pelan, lalu menjelaskan, "Bapak dan Ibu tadi pergi, Nak Revan. Mereka bilang ingin bertemu dengan Nak Revan, tapi tidak bilang pasti ke mana."

Revan tersentak. Ia sudah menduga bahwa orang tuanya mungkin pergi ke rumah Mira untuk mencari penjelasan langsung darinya.

Akhir-akhir ini, ia juga jarang pulang ke rumah, dan itu jelas memancing kekhawatiran orang tuanya, apalagi soal pernikahannya yang sudah mereka ketahui.

"Terima kasih, Bi," ucap Revan singkat, lalu berbalik menuju mobilnya tanpa menunggu tanggapan lebih lanjut dari Bi Siti. Dalam hati, ia mulai menyusun rencana.

"Pasti mereka ke rumah Mira," gumamnya sambil melangkah cepat ke arah mobil.

"Aku harus sampai di sana sebelum mereka."

Pikirannya dipenuhi dengan rasa kesal, terutama pada adiknya, Shinta, yang seharusnya bisa menjaga rahasia tentang hubungannya dengan Mira.

"Dia benar-benar nggak bisa diandalkan." keluhnya dalam hati.

Ia menyalakan mesin mobil, menginjak pedal gas, dan meluncur dengan kecepatan tinggi menuju rumah Mira. Jalanan yang lengang memberinya kesempatan untuk mempercepat lajunya. Waktu terasa begitu mendesak, dan ia hanya berharap bisa sampai sebelum orang tuanya tiba, agar ia bisa menjelaskan semuanya dengan tenang terlebih dahulu.

1
Cevineine
lanjut yaa, aku gift biar makin semangat😊
WikiPix: sabar, ya. lagi proses.
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!