Dalam hidup, cinta dan dendam sering kali berdampingan, membentuk benang merah yang rumit. Lagu Dendam dan Cinta adalah sebuah novel yang menggali kedalaman perasaan manusia melalui kisah Amara, seseorang yang menyamar menjadi pengasuh anak di sebuah keluarga yang telah membuatnya kehilangan ayahnya.
Sebagai misi balas dendamnya, ia pun berhasil menikah dengan pewaris keluarga Laurent. Namun ia sendiri terjebak dalam dilema antara cinta sejati dan dendam yang terpatri.
Melalui kisah ini, pembaca akan diajak merasakan bagaimana perjalanan emosional yang penuh liku dapat membentuk identitas seseorang, serta bagaimana cinta sejati dapat mengubah arah hidup meskipun di tengah kegelapan.
Novel ini mengajak pembaca untuk merenungkan arti sebenarnya dari cinta dan dampaknya terhadap kehidupan. Seiring dengan alunan suara biola Amara yang membuat pewaris keluarga Laurent jatuh hati, mari kita melangkah bersama ke dalam dunia yang pennuh dengan cinta, pengorbanan, dan kesempatan kedua.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Susri Yunita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 12. Diadili di Ruang Perlipur Lara
Di taman, Amara dan Luca sedang berdiri di bawah naungan pohon, membahas sesuatu dengan wajah serius. Amara tampak sedikit tegang mendengar peringatan dari Luca, sementara Luca bersikeras meyakinkannya.
Luca dengan nada lembut namun tegas berkata, "Amara, kau tidak boleh lupa tujuan kita. Keluarga Laurent tidak akan mengubah warna mereka hanya karena satu orang. Jangan biarkan perasaanmu mengaburkan pandanganmu."
"Aku tahu, Luca. Tapi... semua ini tidak semudah yang aku bayangkan, " jawab Amara sembari mengangguk perlahan dan matanya menyiratkan keraguan
Di tengah percakapan mereka, Dante tiba-tiba muncul dari arah rumah dengan tatapan yang tajam. Aura ketegangan mengelilingi dirinya saat melihat kedekatan Amara dan Luca.
Dengan nada sedikit tegang, namun mencoba bersikap santai, Dante berkata, "Amara, Luca, nenek ingin bertemu kalian di ruang perlipur lara. Sebaiknya kita segera ke sana."
Luca dan Amara saling bertukar pandang, menyadari perubahan pada ekspresi Dante. Amara bisa merasakan ketegangan dalam sikap Dante, seolah ada sesuatu yang ingin ia sampaikan namun tertahan. Perlahan, mereka bertiga berjalan bersama menuju rumah, meninggalkan taman yang sunyi.
Sepanjang perjalanan, Dante terlihat menjaga jarak dengan Luca, meski matanya terus melirik ke arah Amara seolah ingin memahaminya lebih dalam. Amara merasa canggung di antara dua lelaki itu, namun dia tetap diam, menahan diri dan mencoba menjaga fokusnya pada pertemuan yang akan segera mereka hadapi di ruang Perlipur Lara bersama Nyonya Laurent.
...
Di ruang Perlipur Lara, Nyonya Lauren dan Mia mulai melancarkan sindiran halus yang ditujukan kepada Amara. Mereka berusaha menjaga nada bicara mereka tetap elegan, tetapi kata-kata mereka menusuk dan penuh makna tersirat. Entah apa-apa saja yang dikatakan oleh Mia pada Nyonya Laurent, sehingga saat Amara, Dante dan Luca tiba di depan pintu ruang itu, Nyonya Laurent langsung menyambarnya dengan senyum tipis, lalu berujar, “Jadi, Amara, saya tahu latar belakangmu cukup… berwarna. Saya selalu kagum pada orang-orang yang berhasil bangkit meskipun tidak memiliki fondasi keluarga yang kuat. Orang-orang sepert itu memang butuh keberanian lebih, bukan?”
Amara menanggapi dengan tenang, “Saya percaya fondasi sejati bukan hanya dari keluarga, tapi juga dari pengalaman hidup, Nyonya.”
Mia tersenyum lemah sambil menambahkan, “Ya, tentu. Tapi tetap saja, sulit membayangkan seseorang dari… situasi yang berbeda… bisa benar-benar memahami tanggung jawab dan ekspektasi keluarga seperti milik Dante. Itu pasti beban yang berat, ya?”
Amara, tanpa kehilangan ketenangannya, menjawab, “Tentu saja, Mia. Beban menjadi ringan ketika kita ikhlas, apalagi saat kita berada di sisi orang yang kita pedulikan.”
"Kau memang selalu punya kata-kata bagus, Amara," Luca menanggapi Amara dengan nada penuh dukungan.
sementara Nyonya Lauren menyipitkan mata, memberikan tatapan tajam, “Ah, jadi begitu. Terkadang, orang lupa tempat mereka, apalagi ketika terbawa oleh perhatian sejenak. Dante memang selalu punya hati yang lembut, bahkan untuk orang yang…"
"Nenek, cukup!" Dante memotong neneknya dengan tegas sebelum wanita itu melanjutkan kata-kata panasnya.
"Lagi pula, aku dan Amara sudah berjanji pada Nico untuk membacakan buku cerita malam ini, dan sepertinya pertemuan ini juga tidak terlalu penting" sela Dante dengan halus namun tajam, ia lalu menarik tangan Amara untuk segera berlalu dari ruangan itu. Sementara Amara bersikeras mempertahankan dirinya untuk tetap berada di sana.
"No one is allowed to leave this room, Dante!" jawab Nyonya Lurent sambil tersenyum tajam. Dante menatap neneknya agak lama dengan penuh rasa kecewa. Perlahan, ia melepaskan tangan Amara dari genggamannya, Namun masih dalam ketegangan itu, asistenya datang dalam sebuah panggilan penting. Dengan langkah cepat, sebelum keluar, Dante mendekati Amara dan berkata dengan suara rendah, "Aku akan segera kembali," katanya seolah tak tega meninggalkan Amara di ruangan itu tanpa dirinya.
Luca yang dari pertama kali masuk ke ruangan itu, hanya tersenyum kecut dan sedikit jengkel terhadap perhatian Dante pada Amara. Ia berjalan kecil mengamati setiap sudut ruang Pelipur Lara itu, dan memperhatikan setiap detail dari alat-alat musik yang ada di ruangan elegan tersebut. Dia melihat ke arah Amara yang masih berdiri.
Sementara Mia masih berusaha menambahkan tekanan pada Amara dengan nada manis, “Amara, Dante memang selalu menjaga apa yang menjadi tanggung jawabnya, meskipun sementara. Orang yang tidak memahaminya, akan mudah salah paham dengan perlakuannya. Dante itu mudah kasihan sama orang, terutama pada mereka yang berasal dari kalangan lemah"
Amara tetap tersenyum, “Saya rasa, hidup memang butuh variasi, agar kita selalu ingat bahwa nilai seseorang tidak ditentukan dari asal mereka, tapi bagaimana mereka menjalani hidupnya," jawab Amara lugas.
Amara merespons dengan penuh ketenangan, tetapi tetap menyiratkan kesulitan yang dialami keluarganya di masa lalu karena pengaruh Nyonya Lauren.
Ketika Nyonya Lauren menyindir asal-usul Amara, Amara menjawab dengan senyuman tipis, “Ayah saya dulu seorang pria yang sangat teguh. Saya belajar darinya bahwa kekuatan sejati muncul ketika kita bangkit dari keterpurukan, apalagi saat dijatuhkan oleh mereka yang memiliki kekuasaan. Saya kira, kebanyakan orang tidak benar-benar mengerti bagaimana rasanya itu.”
Nyonya Lauren mendengus pelan, tetapi Amara melanjutkan, “Saya juga belajar dari ayah bahwa meskipun kita tidak selalu diberi kesempatan yang sama, kita bisa bertahan jika tetap setia pada prinsip kita. Tidak mudah, terutama saat kita harus menghadapi orang-orang yang lebih suka melihat kita di bawah.”
Mia menimpali dengan nada manis, “Oh, jadi ayahmu sempat… ditantang oleh orang yang lebih berpengaruh? Tentu, itu pengalaman yang mendidik, bukan?”
Amara tetap tersenyum, “Tentu saja, Mia. Itu sangat mendidik. Bagaimana tidak, ayah saya belajar menghadapi orang yang memiliki kemampuan untuk menghancurkan hidup seseorang dari balik bayang-bayang, tanpa harus menunjukkan wajah mereka. Itu adalah pelajaran tentang ketahanan yang tidak semua orang bisa pelajari, apalagi dari pengalaman langsung,” jawab Amara dengan puas.
Sementara Dante, yang tadinya berbincang kecil bersama asistennya membahas hal yang mendesak di depan ruangan itu, kembali masuk. Ia sudah lelah melihat neneknya memandang rendah orang yang ia pedulikan.
"Nenek," ucap Dante dengan nada lembut namun tegas, “Amara mungkin berasal dari latar belakang yang berbeda, tetapi bukan berarti dia tidak layak mendapatkan rasa hormat. Ayahnya mengajarkan banyak hal kepadanya yang tidak mudah ditemukan di antara orang-orang yang memiliki segalanya sejak lahir. Saya pikir itulah yang membuatnya justru lebih kuat, lebih tegar.”
Nyonya Lauren memandang Dante dengan mata menyipit, merasa tidak senang dengan pembelaan itu. Namun, Dante melanjutkan dengan nada yang tetap hormat, “Saya tahu nenek memiliki rencana tertentu untuk keluarga ini, tapi terkadang, kita bisa belajar banyak dari seseorang yang tahu rasanya berjuang dari bawah. Mungkin itu adalah sesuatu yang bisa memperkaya perspektif kita.”
Luca, yang sejak tadi mendengarkan dengan tenang, akhirnya menyela dengan nada sinis namun bijaksana, “Terkadang, orang yang paling kita pandang rendah justru memiliki sesuatu yang tidak bisa kita beli atau miliki begitu saja. Keteguhan hati, misalnya. Bukankah itu yang membuat seseorang benar-benar tangguh, Nyonya Laurent?”
Lalu Mia, yang merasa tersaingi, mencoba menambahkan, “Ya, tapi bukankah keluarga ini membutuhkan seseorang yang memahami nilai, prestise, dan kemuliaan?”
Amara hanya tersenyum halus, lalu menatap Dante dan berkata, “Terima kasih, Dante, tapi aku di sini bukan untuk membuktikan apa pun. Aku di sini hanya untuk mendukung Nico dan menjalani peran yang dipercayakan padaku. Jika itu tidak dianggap cukup layak, aku bisa menerimanya.”
Dante menoleh ke neneknya dengan pandangan penuh makna, seakan memberi isyarat bahwa baginya, pilihan hatinya tidak akan goyah hanya karena pandangan atau status.
"Nenek, kalau begitu, aku dan Amara akan memenuhi janji pada Nico, dia pasti sudah lama menunggu," kata Dante yang ingin segera berlalu dari ruangan itu. Ia pamit secara tegas pada neneknya dengan menarik Amara untuk berlalu.
Nyonya Laurent terduduk di kursi kebesarannya, tentu saja ia merasa ini adalah pembangkangan paling tinggi dari seorang Dante yang tak pernah seperti ini sebelumnya. Apalagi sampai membantahnya seperti itu dengan terang-terangan. Wanita tajam ini, tentu tidak akan tinggal diam.
"Sungguh sebuah tontonan yang seru" bisik Luca ke telinga Mia sambil berlalu, sementara gadis itu masih terpaku dan nampak dikuasai oleh rasa cemburu yang memuncak. Di dalam hati ia bertekad.
kalau Nico yang jadi alasan, baik lah, mulai saat ini, aku akan memulai semuanya dari Nico. katanya.
Di sisi lain, Nico hanyalah sebuah alasan bagi Dante untuk membawa Amara pergi dari rumah malam itu.
"Dante, hentikan mobilnya. Kita mau kemana sebenarnya malam-malam begini?" tanya Amara. Sementara lelaki itu tidak memberikan jawaban apapun, dia hanya menenangkan sang istri dengan sentuhan tangannya yang mengenggam erat, lalu jari-jarinya yang ditautkan dengan Jari Amara, sementara pandangannya masih berpusat pada jalanan dan tangan kanannya mengendalikan setir dengan fokus.
Amara hanya mampu diam, mengubur sejenak semua hal yang menganggunya, seolah menikmati semua kebingungan itu dengan tak tahu malu, meski kepalnya masih tetap bertanya-tanya, kemana Dante akan membawanya sejauh ini?
bersambung...