Nuka, siswa ceria yang selalu memperhatikan Aile, gadis pendiam yang mencintai hujan. Setiap kali hujan turun, Nuka menawarkan payungnya, berharap bisa melindungi Aile dari dinginnya rintik air. Suatu hari, di bawah payung itu, Aile akhirnya berbagi kenangan masa lalunya yang penuh luka, dan hujan pun menjadi awal kedekatan mereka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dina Aolia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Malam di tengah hujan
Aile dan Nuka meninggalkan pesta ulang tahun Dinda dengan langkah cepat, berusaha menghindari suasana yang semakin tidak nyaman. Pesta yang seharusnya menyenangkan malah terasa penuh dengan ketegangan, terutama bagi Aile yang selalu merasa tidak diterima karena kasus ayahnya. Di luar, udara malam terasa dingin, dan rintik hujan mulai jatuh dari langit yang kelabu.
“Kayaknya bakal hujan deres,” ujar Aile sambil menatap langit, matanya mengikuti gerak awan yang tampak berat.
Nuka melihat ke atas dan mengangguk pelan. “Iya, tapi kayaknya nggak ada tempat buat berteduh juga. Kita jalan aja, ya?”
Aile tersenyum tipis, seolah setuju dengan ajakan itu. Dia tahu bahwa di tengah kebisingan hidupnya yang penuh masalah, berjalan di bawah hujan bersama Nuka terasa seperti pelarian yang nyaman.
Hujan mulai deras, tapi Nuka dan Aile tetap melanjutkan langkah mereka. Aile merapatkan jaket yang dipinjam dari Nuka, mencoba melawan dingin yang perlahan-lahan meresap ke kulitnya. Hujan membasahi rambut dan wajah mereka, tapi tidak ada yang berbicara tentang mencari tempat berteduh. Seolah dalam keheningan, mereka berdua menikmati momen tersebut, merasa tenang meskipun keadaan sekitar begitu kacau.
“Apa kamu sering jalan kayak gini, ka?” tanya Aile tiba-tiba, memecah keheningan.
Nuka menoleh padanya, senyum kecil terukir di wajahnya. “Kalau hujan kayak gini? Jarang. Tapi, sekarang aku seneng sih. Hujan, jalan bareng temen. kamu sendiri gimana?”
Aile menghela napas panjang, menatap jalan yang licin di depan mereka. “Ini favoritku, hal paling nenangin.”
“kenapa?”
Aile tersenyum. “Aku cuma ngerasa berisiknya hujan itu bisa menyamarkan berisiknya kepala”
Nuka tertawa pelan. “Tapi sekarang ga lagi banyak pikiran, kan?”
Aile menatap Nuka, dan untuk sesaat, dia terdiam. “Nggak,” jawabnya akhirnya. “Sekarang nggak.”
Mereka terus berjalan, hujan semakin deras, namun langkah kaki mereka tidak melambat. Jalanan kosong, suara rintik hujan menjadi latar belakang yang menenangkan. Saat Aile menoleh ke arah Nuka, dia merasakan sesuatu yang berbeda—sesuatu yang hangat di tengah dinginnya hujan. Meskipun dia belum sepenuhnya mengerti apa yang dia rasakan, Aile tahu bahwa kehadiran Nuka telah mengubah banyak hal dalam hidupnya.
***
Setelah beberapa saat, Nuka membawa Aile ke rumahnya yang tak jauh dari sana. Halaman rumahnya luas dan sebagian besar tertutup pepohonan rindang. Ketika mereka tiba, Nuka langsung berjalan menuju sudut halaman. “Milo!” panggilnya sambil bersiul.
Seekor kucing kecil berbulu cokelat kehitaman tiba-tiba muncul dari balik semak-semak. Milo mengeong kecil sebelum berlari menghampiri Nuka.
Aile tersenyum lebar, melihat Milo yang manis. Dia berjongkok dan mengulurkan tangan untuk mengelus kepala kucing itu. “ini milo, sekarang ko jadi gemoy gini, lucu.”gemas aile
Nuka tersenyum. “lucuan kamu.”ucapnya sangat kecil hingga terdengar samar ditelinga aile.
Milo mendekat ke arah Aile, menggosokkan tubuhnya ke tangan Aile yang membelai bulunya dengan lembut. “Dia suka banget sama kamu,” kata Nuka sambil melihat bagaimana Milo begitu nyaman dengan Aile.
“Aku suka kucing,” Aile menjawab pelan. “Tapi di rumah... nggak mungkin aku pelihara. Kondisinya nggak kondusif.”
“Kan ada aku yang bakal jagain Milo,” Nuka berkata dengan nada yakin. “Kapanpun kamu kangen, kamu bisa datang ke sini.”
Aile mengangguk, senyum kecil terukir di wajahnya. “Makasih, ka. Serius, kamu selalu bikin aku merasa lebih baik.”
Nuka tersenyum hangat. “Itu tujuan aku, kok. Buat kamu ngerasa lebih baik.”batin nuka
***
Setelah menghabiskan waktu dengan Milo, Nuka memutuskan untuk mengantar Aile pulang. Hujan sudah mulai reda, tapi udara malam masih terasa dingin. Nuka meminjamkan jaketnya kepada Aile lagi.
“Kamu nggak kedinginan?” tanya Aile sambil menatap Nuka yang kini hanya mengenakan kaos tipis.
Nuka menggeleng. “Nggak. Yang penting kamu nggak sakit.”
Mereka tiba di rumah Aile dengan suasana yang agak tegang. Di depan pintu, Gema, kakak Aile, tampak menunggu dengan wajah serius. Aile langsung merasa cemas. “Oh, nggak... dia pasti bakal marah,” gumamnya pelan.
Namun, sebelum Aile sempat bereaksi lebih jauh, Nuka menghentikannya. “Biar aku yang ngomong sama dia,” ucapnya dengan nada tegas namun tenang.
Nuka melangkah mendekati Gema, menyapa dengan sopan. “Malam, bang Gema.”
Gema menatap Nuka dengan sorot mata yang tidak terlalu ramah. “Lama banget kalian? Habis dari mana?”
Aile yang berdiri di belakang Nuka semakin cemas, tapi Nuka dengan cepat berbicara sebelum situasi memanas. “Maaf, bang. Kami cuma mampir sebentar karena hujan. Gue yang ajak Aile, tadi biar nggak basah.”
Gema masih menatap Nuka dengan tatapan penuh curiga, tapi setelah beberapa detik, dia mengangguk perlahan. “Yaudah, lain kali jangan terlalu malam.”
Aile menghela napas lega, tapi sebelum mereka masuk ke dalam, Nuka tiba-tiba berkata, “Eh, bang, lo suka main PS, nggak? Gue baru beli game baru.”
Gema yang tadinya terlihat serius mendadak terlihat tertarik. “Game apa?”
Nuka menunjukkan gamenya dari tas. Dan seperti itu, suasana yang tadinya tegang mulai mencair. Gema dan Nuka tenggelam dalam obrolan tentang game, bahkan tak lama kemudian mereka duduk di ruang tamu, memulai pertandingan di PS. Aile yang awalnya cemas kini merasa lega, menyaksikan mereka berdua bermain seolah-olah mereka sudah lama kenal. Sambil tertawa kecil melihat kakaknya yang biasanya garang, kini santai bersama Nuka, Aile merasa aneh, tapi sekaligus bahagia.
***
Keesokan harinya di sekolah, Nuka sudah bersiap untuk latihan basket. Di lapangan, ia berkumpul dengan teman-temannya, tapi pikirannya terus melayang ke malam sebelumnya—momen saat ia dan Aile berjalan di tengah hujan, Milo, serta interaksinya dengan Gema. Ia merasa ada yang berubah dalam dirinya, seolah lebih dekat dengan Aile.
“Eh, Nuka, lo ngelamun,” tegur kenzo, teman satu timnya, sambil menepuk bahunya.
Nuka terkekeh, menggelengkan kepala. “Sorry, gue lagi mikirin sesuatu.”
Mereka mulai bermain, dan meski Nuka sempat kehilangan fokus di awal, performanya perlahan membaik. Namun, di tengah pertandingan, matanya tertuju ke tribun. Di sana, Aile duduk sendirian, menonton dari kejauhan. Melihatnya, senyum tipis terukir di wajah Nuka. Ada perasaan hangat yang muncul di hatinya, dan untuk sejenak, ia merasa segalanya berjalan baik-baik saja.
Setelah pertandingan selesai, Nuka berjalan ke arah Aile yang masih duduk. “Gimana? Aku keren nggak tadi?”
Aile tersenyum kecil. “Lumayan keren. Tapi kamu sempet nggak fokus, ya?”
Nuka tertawa kecil. “Ya, ada yang aku pikirin.”
“Apa tuh?” tanya Aile, penasaran.
Nuka tersenyum misterius. “Nggak penting. Yang penting kamu nonton.”
Aile hanya tersenyum. Mereka berjalan keluar bersama, dan Milo—entah dari mana—tiba-tiba muncul, mengeong kecil dan mengikuti langkah mereka. Aile berjongkok, mengelus Milo dengan penuh kasih sayang.
Dan di sana, di bawah langit pagi yang cerah, semuanya terasa sempurna. Masalah-masalah hidup seolah terlupakan sementara, dan Nuka serta Aile bisa menikmati momen bersama yang penuh ketenangan.