NovelToon NovelToon
Malapetaka Batu Luar Angkasa

Malapetaka Batu Luar Angkasa

Status: sedang berlangsung
Genre:Hari Kiamat
Popularitas:650
Nilai: 5
Nama Author: Esa

Setelah fenomena Dukhan melanda, dunia berubah drastis dengan iklim yang semakin ekstrem dan teknologi yang lumpuh. Umat manusia harus bertahan hidup di tengah panas terik dan kemarau panjang yang tak kunjung usai.

Kisah ini mengikuti perjalanan sebuah kelompok yang berjuang menghadapi kenyataan baru. Mereka mencoba menanam di tanah kering, mencari air, dan bergantung pada kebijaksanaan lama. Di tengah tantangan yang berat, muncul momen tegang, humor, dan rasa kebersamaan yang kuat.

Mencari Harapan di Tengah Kemarau adalah cerita tentang perjuangan, keimanan, dan kebersamaan dalam menghadapi ujian akhir zaman.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Esa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Ujian di Seluruh Penjuru Dunia

Di luar bunker tempat Sarah dan yang lainnya bertahan hidup, dunia juga mengalami kegelapan yang sama. Orang-orang di berbagai belahan bumi sedang menghadapi ujian yang tidak terbayangkan. Beberapa berada dalam bunker, sementara yang lain bertahan di luar tanpa perlindungan. Kegelapan menyelimuti seluruh dunia, dan hanya mereka yang diberi kekuatan oleh Allah yang mampu bertahan dari bencana yang melanda umat manusia.

12.1. Kegelapan yang Menyelimuti Dunia

Sementara bunker Sarah dan orang-orang beriman di dalamnya berjuang menghadapi gelap gulita dan hiruk-pikuk yang aneh, di seluruh belahan dunia lain, kegelapan yang sama menyelimuti setiap sudut. Namun, tak semua orang memilih bersembunyi dalam bunker. Ada orang-orang pilihan Allah yang tetap bertahan hidup di luar, dengan cara yang hanya bisa dijelaskan oleh keajaiban ilahi.

Di tengah hutan lebat Brasil, sekelompok suku asli yang sejak awal menolak peradaban modern, hidup seolah tak terganggu oleh bencana ini. Mereka selalu mengandalkan alam, dan ketika meteor menghantam bumi, mereka beradaptasi dengan cepat. Dalam kegelapan yang menakutkan, mereka mengandalkan pendengaran dan insting untuk bertahan hidup. Mereka masih bisa berburu, meski hewan yang tersisa semakin sedikit.

Di gurun Sahara, seorang pria tua yang dikenal sebagai Zayed, seorang sufi yang sepanjang hidupnya berzikir di tengah padang pasir, tetap hidup tenang. Di sebuah gua kecil, Zayed duduk bersila, terus melafalkan asma Allah di bawah jubahnya yang usang. Dalam kegelapan yang mematikan, dia merasa terlindungi. Meski di luar gua angin dingin berhembus kencang, tubuhnya terasa hangat dan tetap kuat.

Di Jepang, sebuah bunker di bawah tanah kota Tokyo dipenuhi oleh ilmuwan dan ahli teknologi yang awalnya yakin bisa mengatasi segala masalah dengan ilmu pengetahuan mereka. Namun, setelah beberapa hari dalam bunker tanpa sinar matahari, mereka mulai kehilangan harapan. Mesin-mesin mereka tidak lagi bekerja, dan kecanggihan yang selama ini mereka andalkan untuk memecahkan masalah kini tidak berdaya. Salah satu dari mereka, seorang ahli fisika bernama Satoshi, mulai berpikir ulang tentang kekuatan alam semesta yang tidak bisa dijelaskan oleh sains.

“Apa ini?” Satoshi berbisik dalam kegelapan. “Apakah ini akhir dari segalanya?”

Di Timur Tengah, di sebuah bunker di bawah kota suci Mekkah, para ulama besar dunia berkumpul. Mereka telah mempersiapkan diri jauh sebelum bencana datang. Setiap hari diisi dengan dzikir dan doa, meminta perlindungan dari Yang Maha Kuasa. Meski kegelapan meliputi dunia luar, hati mereka dipenuhi cahaya iman. Mereka yakin bahwa ini adalah bagian dari cobaan yang harus dilewati sebelum kemenangan besar datang.

Namun, di setiap belahan dunia, baik di bunker-bunker yang penuh ketakutan maupun di tempat-tempat terbuka yang terselimuti kegelapan, ada satu hal yang mengikat mereka semua: keputusasaan mulai merayap, dan hanya mereka yang tetap teguh dalam keimanan yang mampu bertahan tanpa terjerumus ke dalam keputusasaan total.

Sementara itu, kembali ke bunker Sarah, suara gemuruh samar masih terdengar dari kejauhan, seolah dunia luar sedang mengalami pergolakan yang tak terlihat. Orang-orang di dalam bunker merasa bersyukur bisa selamat hingga saat ini, namun mereka juga tahu bahwa tantangan terbesar belum berakhir. Mereka hanya bagian kecil dari seluruh umat manusia yang kini sedang menghadapi ujian berat dari Allah.

12.2. Bunker di Belahan Dunia Lain

Di salah satu bunker di Eropa, suasana tidak jauh berbeda dengan bunker tempat Sarah berada. Seorang pria tua, yang dulunya adalah ilmuwan terkemuka, memimpin sekelompok kecil orang yang tersisa. Mereka berada dalam kebingungan dan ketakutan. Salah satu di antaranya, seorang wanita muda bernama Eva, berdiri di dekat pintu bunker, wajahnya penuh keraguan.

“Apakah masih ada harapan di luar sana, Doktor?” tanya Eva, suaranya bergetar.

Pria tua itu menggelengkan kepalanya perlahan, “Dengan kondisi dunia saat ini, kita hanya bisa bertahan dengan apa yang ada di sini. Tapi jika kegelapan ini berlanjut...,” dia terdiam, tak sanggup melanjutkan.

Di belahan dunia lain, sebuah kelompok di Timur Tengah berjuang dengan kondisi serupa. Mereka terdiri dari para pemimpin agama yang mencoba menenangkan orang-orang yang putus asa di dalam bunker mereka. Setiap hari mereka berdzikir, menguatkan iman satu sama lain. Tapi seperti di tempat lain, rasa lapar dan haus mulai merongrong ketahanan mereka.

“Apa ini tanda kiamat?” tanya seorang pemuda dengan cemas, kepada ulama yang memimpin mereka.

“Kita tidak tahu pasti, tapi yang kita tahu ini adalah ujian besar dari Allah. Tetaplah bertahan, hanya dengan iman dan dzikir kita bisa melewati ini,” jawab sang ulama dengan keyakinan yang tegar.

Di Amerika Selatan, sekelompok orang yang tinggal di bunker bawah tanah mulai kehabisan persediaan air. Mereka mengandalkan embun yang terkumpul di dinding-dinding bunker untuk tetap hidup, sementara di atas tanah, badai debu terus menyapu permukaan bumi.

Seluruh dunia menghadapi cobaan yang sama, terperangkap dalam kegelapan yang tak kunjung usai. Namun, di setiap sudut bumi, masih ada mereka yang bertahan dengan iman, mengandalkan keyakinan bahwa Allah tidak akan meninggalkan hamba-Nya begitu saja.

12.3. Bau yang Menyelimuti Dunia

Di berbagai bunker di seluruh dunia, manusia menghadapi kenyataan yang semakin mengerikan. Bau tak sedap, yang awalnya hanya terjadi di beberapa tempat, kini menjadi masalah global. Di bunker-bunker yang tersebar di Eropa, Timur Tengah, Asia, hingga Amerika, bau bacin yang menguar dari mulut manusia semakin tak tertahankan. Tanpa makanan atau minuman selama berhari-hari, nafas mereka berubah menjadi racun yang memenuhi setiap sudut ruangan tertutup.

Di bunker Sarah, orang-orang yang bertahan sudah terbiasa dengan bau busuk yang melekat pada tubuh mereka. Namun, kini mereka tak lagi bisa menahan diri.

“Ya Allah... Apa ini bau mulut kita semua?” keluh seseorang dari sudut gelap bunker.

Sarah hanya bisa menggeleng, menutup hidungnya dengan lengan baju. Udara begitu pengap, penuh dengan aroma busuk yang menyerupai bangkai yang membusuk berhari-hari.

Di belahan dunia lain, kondisi serupa terjadi. Di bunker bawah tanah Amerika Selatan, seorang pria paruh baya tidak tahan lagi. Ia berteriak, "Bagaimana mungkin kita bisa hidup seperti ini? Bau busuk ini membunuh kita perlahan!"

Seorang wanita di dekatnya memelototkan mata, wajahnya pucat, "Diamlah! Tidak ada yang bisa kita lakukan selain bertahan!"

Dalam bunker di Eropa, Eva mulai menangis. "Aku bahkan tidak bisa mengenali diriku sendiri lagi. Kami semua bau busuk, tak ada yang tersisa dari siapa kita sebelumnya."

Doktor tua di bunker itu berusaha menenangkan kelompoknya. “Ini hanyalah cobaan. Kita harus ingat bahwa bau ini hanyalah ujian fisik. Keselamatan rohani kita lebih penting.”

Namun, bau yang menyengat semakin membuat manusia kehilangan akal sehat. Di beberapa bunker, perkelahian kecil mulai pecah, sekadar karena saling menyalahkan atas kondisi yang tak lagi manusiawi. Nafas mereka, yang dulu tak pernah mereka pikirkan, kini berubah menjadi sumber pertengkaran dan rasa jijik.

“Kita tidak akan pernah bisa keluar dari sini hidup-hidup!” teriak seseorang di sebuah bunker di Timur Tengah, seraya menutup wajahnya dengan kain yang sudah kotor dan penuh debu.

Namun, di antara semua kebusukan dan kekacauan, mereka yang beriman tetap berpegang teguh pada dzikir mereka. Para ulama, para pemimpin agama, mengingatkan umatnya bahwa bau busuk ini adalah pengingat fana bahwa dunia ini hanyalah sementara, dan hanya dengan dzikir serta iman mereka bisa terus bertahan.

“Bau ini mungkin busuk di dunia,” kata seorang ulama kepada murid-muridnya yang kelelahan, “tapi di mata Allah, dzikir kalian lebih harum dari wangi kasturi.”

Mereka yang mendengarnya hanya bisa menahan napas, meski udara penuh dengan bau yang tak tertahankan.

12.4. Kegilaan dalam Kegelapan

Hari-hari di dalam bunker semakin menggila. Kegelapan yang tiada akhir membuat manusia kehilangan kendali atas diri mereka. Di seluruh dunia, tubuh-tubuh yang lemah mulai merasakan dampak dari kurangnya kebersihan dan ketiadaan makanan atau air. Gatal-gatal mulai menjalar di seluruh badan, kulit mereka pecah-pecah, dan bau keringat serta kotoran semakin memperparah suasana.

Di bunker Sarah, keluhan mulai terdengar lebih sering.

“Aku tidak tahan lagi! Tubuhku gatal di mana-mana!” jerit seorang wanita sambil menggaruk kulit lengannya hingga berdarah.

Seorang pria tua duduk di pojok, terdiam namun tubuhnya terus bergetar. “Air kencing... di mana-mana...” bisiknya, hampir tak terdengar. Memang, karena kegelapan total, tak ada yang bisa melihat jelas, mereka buang air di mana pun, tanpa peduli lagi.

“Tuhan, ampuni kami... aku tak tahu lagi harus bagaimana,” bisik seseorang yang sudah berbaring tak berdaya, merasakan perutnya yang mual namun tak mampu lagi menahan keinginannya untuk buang air besar. Kotoran manusia bercampur dengan bau bacin mulut, menciptakan aroma neraka yang tidak terbayangkan sebelumnya.

Di bunker-bunker lain di seluruh dunia, situasi yang sama terjadi. Orang-orang yang dulunya terhormat, berpendidikan, kini tak ada bedanya dengan binatang. Mereka berak di mana pun mereka bisa, di sudut-sudut yang gelap. Suara tubuh-tubuh yang bergeser di lantai, mencari sedikit ruang bersih, terdengar menyedihkan.

Di bunker lain di Amerika Selatan, seorang pria mulai merasakan kulitnya melepuh. Ia menggaruk tanpa henti, hingga tangannya penuh darah. “Ini neraka... kita semua sudah mati,” teriaknya histeris, namun tak ada yang mendengar atau peduli lagi. Semua tenggelam dalam penderitaan masing-masing.

“Kita akan mati di sini,” keluh seseorang yang terduduk di pojok gelap. "Dan tak akan ada yang tahu di mana kubur kita."

Di belahan Eropa, seorang ibu muda menangis pelan sambil menggenggam bayinya yang mulai lemah, tak lagi menangis. “Apa ini yang tersisa dari hidup kita?” bisiknya lirih, air matanya bercampur dengan kotoran di wajah.

Namun, di tengah kekacauan dan kehancuran moral ini, masih ada yang mencoba bertahan dengan dzikir. Para ulama tetap menguatkan iman mereka. Meskipun keadaan fisik mereka sama memprihatinkan, mereka mengingatkan semua yang mendengarkan bahwa penderitaan ini hanyalah ujian dari Tuhan.

“Ini bukan akhir. Allah sedang menguji iman kita. Kegelapan ini akan berlalu, tapi jiwa kalian harus tetap terang,” ujar seorang ulama di tengah desahan putus asa dan bau busuk yang memenuhi bunker.

Di luar bunker, meski hawa tak lagi panas membakar, dunia yang mereka kenal telah hancur. Namun, di dalam bunker, kehidupan perlahan berubah menjadi mimpi buruk yang tak terbayangkan.

12.5. Keputusasaan Mencapai Puncaknya

Kegelapan yang pekat, bau bacin yang semakin mencekik, dan penderitaan tanpa akhir membuat beberapa orang di dalam bunker mulai kehilangan harapan. Rasa lapar, gatal yang tak tertahankan, dan tekanan mental yang tak terelakkan membuat mereka tergelincir ke dalam jurang keputusasaan.

Di sudut bunker Sarah, terdengar suara bisikan dari seorang pria yang telah lama duduk terdiam. Matanya kosong, wajahnya tak lagi menunjukkan emosi selain kehampaan. “Aku... aku sudah tak kuat lagi...” gumamnya, suaranya hampir tenggelam dalam kegelapan.

Orang-orang di sekitar mendengar bisikannya, tetapi terlalu lemah untuk memberikan respons. Bahkan beberapa yang masih sadar hanya melirik dengan pandangan penuh putus asa. Dalam situasi seperti ini, perhatian mereka sudah terlalu terkuras untuk memikirkan orang lain.

Pria itu berdiri, kakinya gemetar, namun ia mulai melangkah dengan pelan menuju pintu bunker yang berat. Terdengar derit logam saat ia menyentuh pintu. Beberapa orang mengangkat kepala mereka, penasaran, namun tak ada yang benar-benar bergerak untuk mencegahnya.

“Apa yang kau lakukan?” tanya seorang wanita dengan suara serak, namun tak ada jawaban. Pria itu tetap berusaha membuka pintu dengan tenaganya yang tersisa.

“Dia... dia mau keluar... dia mau mati!” teriak seseorang tiba-tiba dengan nada panik, suaranya bergetar ketakutan. Orang-orang yang tadinya tak peduli kini mulai cemas. Beberapa mencoba bergerak untuk menghentikannya, tapi tubuh mereka terlalu lemah, terlalu lelah.

Namun terlambat. Pintu terbuka dengan sedikit celah, cukup bagi pria itu untuk menyelinap keluar. Saat udara dingin dari luar menyapu wajahnya, ia menarik napas dalam-dalam, berharap di kelegaan. Tapi kegelapan yang lebih pekat dan hawa dingin yang menusuk tulang segera menyergapnya. Tidak ada kelegaan, hanya kesunyian yang mematikan.

Beberapa detik setelah itu, terdengar suara jeritan memilukan dari luar, tercekik dalam rasa sakit yang tak tertahankan. Mereka yang berada di dalam bunker mendengarnya dengan jelas, tetapi tak seorang pun memiliki kekuatan untuk berbuat apa-apa.

Suara jeritan itu mereda dengan cepat, hanya meninggalkan keheningan yang lebih mengerikan. Pria itu tidak kembali.

Orang-orang di dalam bunker terdiam dalam kegelapan. Beberapa menangis diam-diam, sadar bahwa kematian bisa saja menjemput mereka semua, baik di dalam bunker atau di luar. Namun, ulama yang ada di tengah mereka tetap mencoba menenangkan keadaan.

“Bunuh diri bukan jalan keluar. Bertahanlah. Allah melihat kita, dan cobaan ini akan segera berlalu. Dzikir adalah kekuatan kita,” seru sang ulama dengan suara tegas.

Namun kata-kata itu sulit menembus keputusasaan yang merasuk dalam jiwa mereka. Di kegelapan yang tanpa akhir ini, keimanan dan kesabaran mereka benar-benar diuji.

12.6. Pertikaian di Tengah Keputusasaan

Suasana di dalam bunker semakin tegang setelah kepergian pria yang bunuh diri. Rasa frustrasi dan ketidakpastian membara dalam hati setiap orang. Di tengah kegelapan, beberapa orang mulai bersikap agresif, tidak tahan melihat penderitaan yang berkepanjangan.

“Kenapa kau diam saja? Seharusnya kita mencari cara untuk keluar dari sini!” teriak seorang pria, wajahnya dipenuhi kemarahan. “Kita tidak bisa hanya mengandalkan dzikir selamanya!”

“Tapi itu satu-satunya harapan kita!” balas seorang wanita dengan nada panik, berusaha menahan ketakutan yang merayapi dirinya. “Kau tidak boleh meragukan Allah!”

Perdebatan semakin memanas, suara-suara mulai menggaung di dalam bunker. Orang-orang berusaha saling menyalahkan satu sama lain. Dalam kegelapan, tangan-tangan mulai bergerak, saling dorong dan akhirnya berujung pada keributan.

“Diam!” teriak seorang pemuda yang terlihat semakin frustrasi. “Kalau kalian terus bertengkar, kita tidak akan bisa bertahan!”

Namun, suasana semakin tidak terkendali. Dua orang mulai berkelahi, saling serang dalam kegelapan. Suara pukulan dan teriakan membuat yang lainnya semakin panik. “Hentikan! Hentikan!” teriak beberapa orang berusaha melerai, tetapi usaha itu sia-sia.

Ketika satu pukulan mendarat, terdengar suara tangisan dari salah satu wanita. “Berhenti! Kita semua sedang menderita! Kenapa kalian harus menambah penderitaan ini?” Dia berusaha menarik perhatian mereka, tetapi pertikaian sudah semakin intens.

Akhirnya, ulama itu berusaha maju ke tengah keributan. “Kalian! Ini bukan saatnya untuk berkelahi! Kita semua dalam satu perahu. Ingatlah, jika kita tidak bersatu, kita tidak akan bertahan!” Suaranya menggelegar dalam kegelapan, menembus hiruk pikuk yang terjadi.

Kedua pria yang berkelahi terdiam sejenak, namun ketegangan masih terasa. Mereka saling memandang, nafsu marah perlahan mereda. Ulama itu melanjutkan, “Setiap detik kita di sini harusnya kita gunakan untuk mendekatkan diri kepada Allah, bukan untuk saling menjatuhkan!”

Suasana perlahan-lahan mulai tenang, meskipun masih ada rasa kesal yang terpendam. Beberapa orang saling memandang dengan rasa malu, menyadari bahwa mereka hampir kehilangan kendali dalam keadaan yang sulit ini.

“Marilah kita berdzikir bersama,” ulama itu mengusulkan. “Dengan cara itu, semoga hati kita bisa disatukan kembali.”

Seiring dengan mulai kembali kepada dzikir, suara-suara kemarahan mulai mereda, digantikan oleh kesunyian yang mengharukan, seolah mereka semua berusaha menenangkan diri dan menemukan harapan di tengah kegelapan yang pekat.

1
Sandy
mantap, sangat menginspirasi
Bunga Lestary
semangatt kakk🤗
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!