Gita terjatuh saat merenovasi balkon bangunan yang menjadi tempatnya bersekolah saat SMA.
Saat terbangun, ia berada di UKS dan berada dalam tubuhnya yang masih berusia remaja, di 20 tahun yang lalu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Verlit Ivana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sebuah Ancaman
"Tin, Kamu kenapa gak sekolah?" tanya Gita menatap lekat wajah bulat sepupunya.
Tini menggeleng, lalu duduk di tepi tempat tidur Gita. "Aku kram haid Kak," jawabnya sambil meringis.
"Kak Gita belum cerita, kenapa bisa pulang cepet. Apalagi penampilan Kakak berantakan gitu." Tini merengut.
Gita menimbang-nimbang apakah akan terbuka dengan adik sepupunya ini atau merahasiakan sisi menyedihkan dirinya di sekolah.
Setelah beberapa jenak, ia pun memutuskan untuk menceritakan hal yang ia alami. Gita saat ini, seperti tak mau kehilangan momen bersama Tini, meski harus membuka aibnya sendiri dan ia berharap Tini tidak terlalu khawatir setelah mendengar ceritanya nanti.
"Janji dulu, Kamu gak usah lebay setelah denger ceritaku." Gita menyandarkan punggungnya pada kursi.
"Oke!" Tini setuju, kepala bulatnya mengangguk-angguk antusias.
"Tadi aku dibully sama Karen," tukas Gita santai.
"Astaghfirullah ... lagi?" Tini membolakan matanya.
Gita menaikkan sebelah alisnya. "Lagi?"
Tini menepuk keningnya, ia lupa jika selama ini tengah berpura-pura tidak tahu mengenai kesulitan Gita di sekolah, karena sepupunya itu pun seperti berusaha menutupinya. Namun, Gita yang tiba-tiba menjadi terbuka ini membuat Tini keceplosan.
"Coba jelasin, apa yang Kamu tau tentang situasi yang aku alami di sekolah?" tanya Gita.
"Sebenernya ... ah maaf sebelumnya, beberapa bulan belakangan ini, aku melihat Kak Gita agak berubah. Ya, memang aku tau Kakak pendiam, tapi bukan pemurung. Biasanya, Kak Gita ramah dan banyak senyum." Tini mengatur napasnya.
"Tapi udah beberapa bulan ini Kakak kanyak berubah, jadi lebih tertutup. Jarang ngobrol juga sama aku," tutur Tini. "Awalnya kukira Kak Gita marah sama aku, tapi aku gak tau salah apa karena Kakak hanya diam aja, sampai akhirnya—" Tini menelan ludah.
"Akhirnya apa? Apa Kamu melihat aku sedang dikasari teman sekolahku?" tanya Gita, meski sebenarnya dia ragu Tini pernah melihat dirinya dijambak atau dilempari bola oleh Karen atau salah satu gengnya.
Tini menggeleng. "Enggak Kak, tapi Kak Gita pernah mengigau sambil minta ampun sama Karen," tutur Tini sendu.
Gadis itu lalu menuju rak buku Gita. Entah mengapa dada Gita berdebar-debar dan ingatannya melayang pada sebuah momen dimana dirinya yang berusia 17 tahun terlihat sedih sambil memungut sebuah buku yang koyak.
Tini lalu mengangkat tumpukan majalah dan mengambil sebuah buku yang seperti sengaja disembunyikan oleh Gita di bagian paling bawah.
"Aku gak sengaja nemu buku ini, waktu mau pinjam majalah Kak Gita," ujar Tini menunjukkan sebuah buku yang kotor dan rusak.
Gita mendengus. Hah ... bener kan ternyata, buku itu.
Gita mengambil buku itu dari tangan Tini. Ia pandangi lembar-lembar berisi goresan tangannya yang telah sobek, lecak dan kotor. Gita merasa geram dengan Karen yang dengan mudahnya merusak karya yang telah ia buat dengan susah payah.
Gita mendecih. Para pembully itu gak mikirin sama sekali perasaan dan dampak jangka panjang akibat kelakuan buruk mereka.
"Kenapa bisa Kak Gita diancam kayak gitu?" tanya Tini memecah lamunan Gita.
"Di-diancam?" Gita bertanya balik. Ancaman apa ya? Gue kita ini tindakan impulsif Karen aja, tapi apa iya ini salah satu bentuk ancaman supaya gue gak deket-deket Gio? Lagian bukan cuma gue kan yang ngedektin si Ketos itu.
Tini membuang napas kasar, tak mau kakak kesayangannya kembali berpura-pura, ia lantas mengambil kembali buku itu dan membuka halaman paling belakang.
'DIAM ATAU MATI!'
"Tu-tulisan apa itu?" Mata Gita membelalak membaca tulisan dengan cat merah di atas sketsa buatannya tersebut.
Tini menghela napas kasar dan meletakkan buku itu di atas meja.
"Kak Gita, tolong ... gak usah pura-pura lagi, aku seneng Kak Gita hari ini mau ngobrol lagi sama aku. Aku harap Kakak gak sungkan berbagi beban," ujar Tini seraya menggenggam tangan Gita.
"Bukan ... bukan begitu Tini, aku sendiri gak tau soal tulisan itu ... atau aku lupa?" Gita menelengkan kepalanya.
Tini melepas genggaman tangannya. "Kak Gita masa bisa lupa sama hal kayak gitu?" tanya Tini heran.
Gita menghela napas dan melihat-lihat kembali tulisan ancaman itu. Cat tulisan ini bersih, gak ada jejak sepatu ataupun kotoran seperti halaman-halaman lain buku ini. Kemungkinan dibuat setelah kertas ini disobek dan diinjak-injak.
***
Esok harinya Gita datang ke sekolah dengan kostum yang salah dan langsung menerima peringatan dari guru. Ia lupa jika hari itu adalah hari rabu, di mana seharusnya ia mengenakan seragam batik.
Belum lagi tas miliknya ternyata tidak diantarkan oleh Yuli ke rumahnya, membuat dirinya ke sekolah hanya membawa buku sketsa yang telah kotor dan rusak.
"Eh, Lo balik lagi sana. Ganti baju!" seru Ara, teman Karen yang menghadang Gita di depan pintu.
"Kata guru piket gak apa-apa kok, lagian gue udah diceramahin tadi di depan," balas Gita, matanya mencari-cari keberadaan Karen.
"Wah, udah berani ngebales omongan gue. Ra, gimana menurut Lo?" tanya Ara pada temannya yang gemuk.
"Duh, sorry Gita, bener kata Ara ... lebih baik Kamu ganti baju, ga enak sama teman yang lain. Kelas kita jadi enggak kelihatan kompak kalau Kamu tetap pakai putih abu-abu gitu," tutur gadis gemuk itu.
"Tuh, denger kata temen gue yang teladan ini," ujar Ara.
"Ck! Karen mana?" tanya Gita tak mengindahkan ceramah dua gadis di hadapannya.
Tepat saat itu Karen datang dari arah belakang Gita, ia tersenyum miring mendapati objek perundungannya datang sendiri.
"Ada apa Lo nyari gu—"
Gita yang mengenali suara Karen, langsung balik badan dan menyeret gadis tinggi itu menjauh dari ruang kelas, menuju area bawah tangga.
"Hei! Lepasin!" bentak Karen.
"Maksud Lo apa Karenina Wijaya?" tanya Gita seraya menghempaskan lengan Karen.
"Maksud apaan? Jangan gila deh Lo pagi-pagi! Otak lo eror ya, kerendem jus alpu-"
BRAK!
Gita menendang tempat sampah untuk membuat Karen diam, lalu menunjukkan buku sketsa ke depan wajah Karen.
"Ini! Apa maksudnya?" Gita menunjukkan buku sketsa miliknya.
Karen menyilangkan kedua tangannya ke depan dada, lalu mendecih, "Tsk! Apa sih, buku rusak aja diributin. Gambar lo jelek, makanya gue bantu sobekin, biar gampang dibuang," ejek Karen.
Gita mendengus kesal. Ini bocah mulutnya kudu dikasih ayakan pasir kayaknya.
"Maksud tulisan di buku ini apa?" tanya Gita berusaha sabar, ia butuh informasi jelas atas tulisan meresahkan tersebut.
"Tulisan apa sih?" Dengan enggan, Karen mengambil buku sketsa yang sudah dibuka Gita di halaman belakang.
Kening Karen mengernyit. "Apaan nih?"
"Lah malah balik nanya, bukannya ini kerjaan Lo?" tuding Gita.
"Bukan! Sembarangan aja Lo nuduh!" Karen melempar buku Gita ke lantai, dan meninggalkan Gita yang baginya tampak aneh saat ini.
"Si Gita kesurupan apaan sih, jadi galak gitu. Ngeselin! Ngerusak mood gue aja pagi-pagi!" gerutu Karen sambil berjalan kembali menuju kelas.
Sedangkan Gita mengambil kembali buku sketsa yang dilempar Karen tadi, dan berpikir.
"Masa sih, bukan kerjaan dia? Kerjaan siapa dong?" Gita menggaruk kepalanya.
Tanpa sepengatahuan Gita, seseorang mendengarkan perdebatan dirinya dan Karen dari sisi lain tangga dengan tangan terkepal.
***
Salam Dari "Lina : The Screet Of The Ten Haunted Souls" /Smile/