NovelToon NovelToon
Bumiku

Bumiku

Status: sedang berlangsung
Genre:Horor / Spiritual / Kutukan / Kumpulan Cerita Horror
Popularitas:1.5k
Nilai: 5
Nama Author: LiliPuy

bumi yang indah dan tenang seketika berubah menjadi zona tidak layak huni.
semua bermula dari 200 tahun lalu saat terjadi perang dunia ke II, tempat tersebut sering dijadikan tempat uji coba bom atom, sehingga masih terdapat radiasi yang tersisa.

selain radiasi ternyata itu mengundang mahluk dari luar tata Surya Kita yang tertarik akan radiasi tersebut, karena mahluk tersebut hidup dengan memakan radiasi.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon LiliPuy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

perjuangan allan

Angin berdesir lembut di antara deretan tenda yang dipasang tak beraturan di kamp konsentrasi. Allan menatap meja kayu yang berserakan kertas-kertas penuh catatan, gambaran, dan diagram. Di sana, segala sesuatunya nyaris terlihat seperti huru-hara. Namun, di balik kerumutan itu, ide-ide berkelimpahan.

“Berdasarkan pengamatan sebelumnya, radiasi dari danau elips benar-benar mempengaruhi struktur biologis,” gumamnya sendiri sambil merapikan kertas-kertas.

Dari sudut ruangan, Toni berdiri, alisnya berkerut.

“Jadi, apa rencanamu sekarang? Terus menggali lebih dalam?” Suaranya datar, tapi matanya bersinar penuh kekhawatiran.

Allan menjawab tanpa menoleh. “Jika kita tidak menemukan penyebabnya, kita akan terus terjebak dalam siklus ini. Kita perlu memahami apa yang kita hadapi.”

“Penguasa di luar sana tidak peduli dengan risetmu. Mereka lebih memikirkan bagaimana memanfaatkan situasi ini untuk kekuatan mereka sendiri,” tambah Toni, bersandar di dinding.

“Tapi saya tidak bisa berhenti. Jika ada harapan, kita harus bekerja demi itu!” Allan menggelengkan kepala, frustrasi.

“Dan aliran darahmu, apa itu, Allan? Risiko yang kau ambil? Jenderal mungkin tidak akan membiarkanmu mencari tahu lebih banyak. Mereka hanya ingin senjata,” tegas Toni, suaranya meninggi.

“Demi keberlangsungan, Toni! Ini tentang lebih dari sekadar mempertahankan posisi kita,” Allan mengucapkan setiap kata dengan penuh keyakinan.

Toni menggerakkan tangannya, membuat gerakan menandakan bahwa tidak ada titik perdebatan lagi. “Jika mereka mengetahui apa yang kau temukan, itu akan berbahaya. Tak hanya untukmu, tetapi kita semua.”

Allan menyandarkan punggungnya, merasakan berat dunia di pundaknya. “Kau tahu berapa banyak yang sudah terjadi di luar sana. Kita tidak bisa hanya bertahan hidup. Kita butuh keberanian untuk memahami.”

Toni terdiam, matanya menelusuri ruangan seolah mencari sesuatu yang hilang. “Kalau pun kau berhasil menemukan jawabannya, apakah mereka akan mendengarkan? Mereka lebih suka memiliki kekuasaan dan ketakutan untuk memimpin daripada kebenaran,” katanya lirih, tetapi tandanya menguak keputusasaan dalam hatinya.

“Jangan katakan itu. Kembali ke segala hal yang terjadi, kita tidak punya opsi lain. Selain ilmuku dan keyakinanku, apa lagi yang bisa kita andalkan?”

Toni menggigit bibirnya, nampak melawan gelombang keraguannya. “Baiklah, tapi lebih baik kau lebih berhati-hati. Jangan biarkan dirimu terjebak oleh ambisi mereka.”

“Jangan khawatir. Aku tahu siapa yang bisa kubicarakan tentang ini,” Allan memutar matanya, mencoba menata pikirannya.

Di luar, suara langkah tentara pecah dalam keheningan. Allan dan Toni berpaling ke arah suara, melihat dua prajurit mendekati tenda.

“Waktunya berlatih, Allan!” teriak salah satu prajurit, suaranya keras dan tegas.

“Mereka datang ke sini bukan hanya untuk melatih kami. Mereka punya agenda tersendiri,” Allan menggerakan tangannya kesal.

“Mungkin mereka sudah mendengar sesuatu. Mari kita berbicara di luar sebelum situasi lebih memburuk,” Toni menimpali, memperhatikan prajurit yang mendekat.

Allan mengangguk.

“Jangan lupakan tujuan kita. Ayo cepat!”

Keduanya melangkah keluar, wajah-wajah tegang sementara prajurit mengatur barisan di sekitar tenda. Suara teriakan serta pelatih menggema di udara.

“Tunggu!” seru seorang prajurit dengan nada mendesak. “Kita butuh semua orang, termasuk kalian!”

Toni menatap Allan, menilai situasi. “Momen ini, Allan. Kita tidak bisa menunggu lagi. Jika ada yang ingin kita bicarakan, kita harus melakukannya kini.”

Allan menarik napas dalam-dalam, merasa ketegangan persis di antara kepalan tangannya. “Baik. Kita bisa melakukannya setelah latihan.”

“Latihan yang intens,” Toni memandang prajurit itu, merasa tidak enak. “Mengapa kita tetap harus training di saat bencana mengintai?”

“Karena tanpa kekuatan, kita tidak akan mampu mengubah apapun, termasuk apa yang kau temukan soal danau elips,” jawab prajurit itu tanpa ragu.

“Sewaktu-waktu kita bisa digunakan sebagai alat,” Toni melirik Allan dengan intens. “Apakah kita yakin ini sah?”

“Destinasi belum ditentukan. Kita hanya bisa bekerja dengan apa yang kita punya,” Allan berusaha meraih semangat.

Toni menggertak gigi, menahan perasaan. “Aku tidak percaya pada sistem ini.”

“Perlawanan bisa menjadi solusi. Tapi saat ini, perkuatlah dirimu,” prajurit itu bersuit, memerintahkan semua orang berbaris.

Ketegangan mencekam saat barisan tentara semakin ramai, suara rebana pelatihan menggema. Allan merasa tekad menghimpit antara harapan dan ketakutan.

“Lihat di depan, Toni. Apa yang kita cari tidak akan ditegakkan kecuali kita berani berdiri,” Allan mengeluarkan suara dari dalamnya.

Toni menatapnya dengan keyakinan yang kembali muncul. “Baiklah, kita lakukan ini. Kita mencari kebenaran dan membuat suara kita dengar di sini.”

Dengan langkah mantap, keduanya memasuki area pelatihan, suara semangat dan teriakan prajurit mengisi angin. Wilayah di sini mulai bergetar dengan intensitas, dan mereka tahu, meskipun ancaman berkeliaran, hanya dengan keberanian yang tulus mereka bisa mencari jalan menuju masa depan yang lebih baik.Pelatihan dimulai dengan alunan seruan komando. Prajurit yang lain bergerak tersusun, membentuk kekuatan yang menyimbolkan ketahanan. Allan dan Toni berdiri di tepi, merasakan denyut adrenalin yang mengalir saat tentara melakukan latihan taktik.

“Jarak dua puluh meter, lari!” teriak pelatih, dan tubuh-tubuh prajurit itu bergerak cepat, kaki menjejak tanah dengan kuat.

“Kecepatan, ketepatan!” seruan mengikuti, menggema ke seluruh area.

Allan memandang ke arah Toni, lalu berbisik. “Latihan ini harusnya untuk kita, bukan mereka. Kita butuh lebih dari sekedar fisik. Kita perlu mengungkap fakta di balik semuanya.”

“Biarkan mereka berlatih. Sementara itu, kita gali informasi. Jika situasi makin mendekat, kita perlu tahu semua,” jawab Toni, matanya tajam meneliti segala gerak di hadapan mereka.

“Lihat, neraka itu adalah realita kita sekarang.” Allan menepuk pundak Toni. “Mungkin kita harus ikut dan mulai membangun kekuatan.”

Toni mengangkat bahu, bergumam. “Kalau begitu, tidak ada salahnya mencoba.”

Mereka berdua bergabung dengan barisan, mengikuti perintah, melompati rintangan, menaklukkan rasa lelah. Gerakan regu menyatu, saling mendukung, dan tawa ceria terucap di tengah pelatihan.

“Hentikan barisan! Berenang ke posisi!” jeritan pelatih menginstruksikan.

Dengan cepat, mereka menjatuhkan diri ke dalam kolam buatan, air dingin menerpa wajah mereka. Suasana tegang memberi jalan pada kekuatan kolaboratif. Di dalam air, Allan dan Toni saling berkomunikasi dengan isyarat, berusaha menyusun strategi.

“Sesaat lagi! Kita lakukan penyelidikan di sana setelah latihan!” bisik Allan saat mereka bergeser ke pinggiran.

“Kita tidak bisa menarik perhatian. Jenderal mengawasi,” respons Toni, matanya melirik ke arah pengawasan yang intens.

“Hanya kita, Toni. Kita kompak.”

Latihan berlanjut, menguras tenaga dan semangat. Dari luar, dapat terlihat prajurit yang saling menantang dan merayakan kemenangan kecil di setiap drill.

Setelah berjam-jam berlatih, pelatih berteriak, “Istirahat! Regu pulang!”

Dengan napas yang berat, Allan dan Toni berjalan ke sisi kolam. Mereka mengumpulkan kembali semangat yang terpaksa dikuras oleh pelatihan.

“Sekarang,” desis Allan. “Kita cari tahu informasi.”

“Mari kita untai rencana. Di mana mereka menyimpan catatan operasi?” tanya Toni, menggenggam keras tangan Allan.

“Mungkin di ruang kontrol. Di ujung area pelatihan, melihat mana yang bisa kita jangkau,” jawab Allan, penuh ketekunan.

Mereka bergegas ke arah ruang kontrol, bersembunyi di belakang dinding, memastikan tidak ada prajurit lain yang melihat. Suasana hening, seolah waktu berhenti sejenak agar langkah-langkah mereka bisa terarah dengan baik.

Mendekati pintu yang sedikit ternganga, suara percakapan masuk ke telinga mereka.

“Tanpa keraguan, kita perlu mempercepat rencana ini. Kami tidak boleh membiarkan Allan mengungkapkan apa pun tentang radiasi,” suara tegas datang dari dalam.

“Dan jika dia sudah tahu?” tanya yang lain, nada cemas terpancar.

“Genggam dia, pasang belenggu. Kita tidak bisa ambil risiko,” suara itu menjelaskan dengan dingin.

“Bahaya,” bisik Toni, wajahnya berubah pucat.

“Kita harus menyelidikinya dulu,” Allan menahan napas, berusaha untuk tidak terlihat cemas.

“Kalau dia tahu, ini bisa berbalik menyerang kita,” respon Toni, berpikir keras.

Dengan taktis, Allan mencolek pintu, memberikan sedikit celah untuk mendengar lebih jelas.

“Biar pun ada misteri, pastikan mereka tidak berani melangkah lebih jauh,” ucap komandan, nada tekan terlihat.

1
mous
lanjut thor
Hikaru Ichijyo
Alur yang kuat dan tak terduga membuat saya terpukau.
Mưa buồn
Kalau lagi suntuk atau gabut tinggal buka cerita ini, mood langsung membaik. (❤️)
Jelosi James
Sukses selalu untukmu, terus kembangkan bakat menulismu thor!
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!