Penasaran dengan kisahnya yuk lansung aja kita baca....
Yuk ramaikan...
Sebelum lanjut membaca jangan lupa follow, like, subscribe , gife, vote and komen yah....
Teruntuk yang sudah membaca lanjut terus, dan untuk yang belum hayuk segera merapat dan langsung aja ke cerita nya....
Selamat membaca....
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mbak Ainun, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 12
Permohonan Aris ditanggapi dengan rasa heran oleh Arumi. Aris tidak pernah selembut itu setelah berdebat dengannya.
Minta maaf? Nggak salah dia minta maaf?
Arumi masih belum percaya kata-kata yang baru didengarnya.
"Nggak mau memaafkan, ya?"
"Aku nggak marah kok, Mas. Cuma kesal aja. Udah sih nggak usah dibahas lagi. Nanti kesel lagi." Arumi hendak beranjak. Tapi kemudian tertahan oleh tangan Aris yang tiba-tiba memegangnya. Ia pun terkejut. Baru kali ini Aris menyentuhnya dengan sengaja, kecuali ketika acara sungkem setelah acara pernikahan dan saat pingsan tempo hari.
"Duduk saja dulu. Kita perlu ucap Aris. Arumi kembali mengenyakkan pinggul, barulah Aris melepas tangannya.
"Bicara apa? Kalau masih membahas tentang tadi sore, mending nggak usah. Pasti ujung-ujungnya ribut lagi."
"Tentang cadar kamu."
Arumi meraba penutup yang melindungi wajahnya.
"I-ini." Tunjuknya.
"Kamu mau membukanya sekarang?" Pinta Aris.
"Se-sekarang?"
"Kalau nggak keberatan."
Arumi menggeleng pelan, tanda penolakan.
"Nggak mau ya?" tanya Aris.
Wanita di hadapannya mengangkat wajah. "Nanti saja pas mau tidur," jawabnya.
Ada gelenyar aneh mendengar jawaban Arumi.
Sebelum tidur, pikiran Aris mulai menebak dan berkelana.
"Sudah azan isya tuh. Kita solat dulu." Arumi mengingatkan, ia bangkit. Kali ini Aris tidak dapat menahannya.
Malam sudah semakin larut dan Arumi masih sibuk membuat catatan untuk esok hari. Sesekali terlihat memainkan ponsel, membalas pesan dari pelanggan yang memesan kue-kuenya.
Sedangkan Aris sudah duduk tenang di pinggir ranjang. Ia baru saja masuk ke kamar setelah berkutat dengan laptop. Suatu ketika melirik Arumi. Pada saat yang sama, istri nya itu pun tak sengaja sedang memandang Aris. Ada rasa canggung.
Arumi menyudahi kesibukannya. Teringat akan janji pada Aris. Arumi mendekati Aris, lalu berdeham untuk mengalihkan perhatian pria itu.
Berhasil, Aris pun menoleh. "Ada apa?" tanyanya.
Arumi menggeleng pelan. Berdeham lagi sebelum akhirnya menjawab, "Seperti kataku tadi, aku akan mulai membuka cadar sebelum tidur."
"Hem," balas Aris sungkan juga meskipun sebenarnya ia sudah melihat wajah Arumi.
"Mas yang membukanya," pinta Arumi. Aris tak menjawab. Namun, Arumi memiliki inisiatif memberi kesempatan pada suaminya. Ia mendekat, lalu memiringkan posisi duduk agar menghadap Aris.
Aris pun telah siap menerima tantangan itu. Ia menghadap istrinya. Perlahan tangannya mengulur ke belakang kepala istrinya, meraih tapi pengikat cadar. Lalu, dengan satu kali tarikan, ikatan itupun terlepas. Cadar yang pelindung wajah Arumi perlahan melorot bersamaan dengan tangan Aris yang sengaja menarik benda berwarna hitam itu.
Kini, wajah Arumi terekspos seluruh di hadapannya.
"Kamu tak berniat membuka jilbabmu di depanku ?" tuntut Aris.
Arumi mendongak sebentar. Tanpa bicara apapun, tangannya bergerak ke bawah dagu, menarik sebuah pengait di sana. Dengan tenang menarik jilbab panjang penutup kepalanya. Ia juga membuka dalaman, bagian akhir penutup kepala.
Rambut Arumi terurai panjang sebatas punggung. Aris terkesima. Tanpa sadar, tangannya terulur lagi membelai lembut, membuat si pemiliknya tertunduk malu.
"Sudah siap?" Aris sengaja mengajukan satu pertanyaan yang kemudian di tanggapi dengan sebuah kerutan di dahi Arumi.
"Siap, siap apa nya?" tanya Arumi yang tak dapat menebak pertanyaan ambigu dari Aris.
"Siap tidurlah. Memang nya siap apa lagi?"
"Em, iya. Sebentar, aku ganti baju dulu."
Arumi membawa jilbab di tangannya ke kamar ganti. Ia juga mengganti pakaiannya dengan piyama tidur. Begitu membuka pintu, Aris langsung menatap penuh ke arah nya.
Aris yang sudah berbaring di tempat tidur pura-pura menarik selimut hingga membungkus seluruh tubuhnya. Arumi mendekati ranjang, lalu menempati ruang kosong di sebelah Aris.
Ia sedikit risih. Ini pertama kali nya ia tidur mengenakan piyama dengan wajah dan rambut yang terbuka bebas.
Aris berusaha terlelap, walaupun sangat sulit. Sesekali menoleh ke arah istrinya yang telah tidur. Arumi tampak tenang, memejam dengan posisi miring menghadap Aris. Wajah cantik itu menjadi pemandangan Aris malam ini. Tak ada cacat sedikitpun.
Diam-diam, ia merasa bangga memiliki pendamping secantik Arumi.
Terbersit keinginan untuk memiliki. Tetapi Aris tidak ingin terburu-buru.
Walaupun sangat sulit. Sesekali menoleh ke arah istrinya yang telah tidur. Arumi tampak tenang, memejam dengan posisi miring menghadap Aris. Wajah cantik itu menjadi pemandangan Aris malam ini. Tak ada cacat sedikit pun.
Diam-diam, ia merasa bangga memiliki pendamping secantik Arumi.
Terbersit keinginan untuk memiliki. Tetapi Aris tidak ingin terburu-buru.
"Mas nggak tidur?" tanya Arumi dengan mata yang masih terpejam. Merasa kepergok, Aris mengalihkan pandangan.
"Besok kesiangan loh bangunnya. Sudah jam berapa ini?" terdengar lagi teguran istrinya.
"Iya." Aris pura-pura memejam.
Arumi tersenyum geli melihat gelagat Aris yang ketauan tengah memandanginya.
"Mas belum tidur juga?"
tanyanya lagi merasakan Aris masih bergerak tak tenang.
"Nggak bisa tidur," jawab Aris, ia membuka mata, memandang Arumi.
"Apa yang membuat Mas nggak bisa tidur?"
"Entahlah."
"Mau Rum pijitin?
Mungkin Mas kecapekan."
Aris hanya menatap saja, tanpa menjawab.
"Boleh aku memelukmu?"
Deg!
Arumi tersentak kaget. Meskipun hanya sebuah permintaan, rasanya seperti bersinggungan dengan arus listrik.
"Nggak mau ya? Ya sudah nggak apa-apa." Aris menaikkan selimut yang memang sudah menutup tubuh nya.
"Boleh kok."
Aris tersentak mendengar jawaban ajaib Arumi. Wanita muda itu merapatkan tubuh dengan posisi memunggungi suaminya. mulai terpejam, tak perduli meskipun Aris belum juga memeluk seperti permintaan nya.
Namun, tidak sampai satu menit, ia merasakan ada yang bergerak di pinggangnya. Tangan Aris melingkar hingga ke perut. Ia menekuk bantal nya agar posisi kepalanya lebih tinggi dari Arumi. Dengan begitu, diri nya lebih leluasa memandang wajah istri nya, meskipun tidur dalam posisi miring.
Aris tidak berniat menuntut hak batin malam itu. Masih butuh waktu baginya. Biarlah semua berjalan mengalir sampai kedua nya sama-sama siap, sama-sama menginginkan nya. Bagi Aris, paling tidak setelah dirinya mengatakan kejujuran bahwa wajah Arumi sudah pernah dilihat sebelum nya. Dengan begitu, ia tidak perlu merasa bersalah.
Aris mendekatkan kepalanya, mencium dari jarak aroma wangi rambut Arumi. Hayalan nya membumbung tinggi, membayangkan beberapa adegan yang mungkin ia perankan bersama dengan wanita dalam pelukannya.
Ia tersenyum geli. Lalu menggeleng dan terus tersenyum aneh seperti orang tak waras. Sekian menit kemudian, ia membiarkan hayalnya memudar, bersama dengan ingatan nya yang mengabur ditelan rasa kantuk yang dahsyat. Aris pun terlelap.