NovelToon NovelToon
Aku, Atau Dia?

Aku, Atau Dia?

Status: tamat
Genre:Action / Tamat / Playboy / Crazy Rich/Konglomerat / Kehidupan di Sekolah/Kampus / Gangster
Popularitas:3.1k
Nilai: 5
Nama Author: keisar

Gema Tangkas Merapi, siswa tampan dan humoris di SMA Gajah Mada, dikenal dengan rayuan mautnya yang membuat banyak hati terpesona. Namun, hatinya hanya terpaut pada Raisa Navasya, kakak kelas yang menawan. Meski Gema dikenal dengan tingkah konyolnya, ia serius dalam mengejar hati Raisa.

Setahun penuh, Gema berjuang dengan segala cara untuk merebut hati Raisa. Namun, impiannya hancur ketika ia menemukan Raisa berpacaran dengan Adam, ketua geng sekolahnya. Dalam kegalauan, Gema disemangati oleh sahabat-sahabatnya untuk tetap berjuang.

Seiring waktu, usaha Gema mulai membuahkan hasil. Raisa perlahan mulai melunak, dan hubungan mereka akhirnya berkembang. Namun, kebahagiaan Gema tidak berlangsung lama. Raisa terpaksa menghadapi konsekuensi dari pengkhianatannya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon keisar, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Sakit, malas

26 Juli 2021

“Hah,” terdengar helaan napas lelah dari mulut keempat sahabat yang tertutupi masker. Mereka duduk di mushola yang jaraknya cukup jauh dari lapangan, mencoba menarik napas sejenak dari kegiatan MPLS yang melelahkan. Seragam sekolah yang mereka kenakan tampak masih baru, menunjukkan mereka baru saja memulai tahun ajaran ini.

“Kenapa sih harus ada MPLS? Udah enak-enak gua tidur sampai siang,” keluh Gema sambil melonggarkan masker yang sudah terasa pengap.

“Iya, Jing. Gua dipaksa emak gua buat masuk. Padahal dikit lagi rank gua di Dota udah mau Legend, kalau bukan diancam pake katana, gak bakal gua mau,” sahut Kian dengan nada kesal. Meskipun wajahnya tertutupi masker, kekesalan itu jelas terpancar dari matanya.

“He’eh, Tar. Kenapa emak lu harus adain MPLS sih? Gua males banget dikerjain senior,” ucap Dava dengan nada malas. Dia menyandarkan tubuhnya ke dinding mushola, berharap waktu berlalu lebih cepat.

“Lu pikir gua mau ikut MPLS? Gua juga males. Gua pengen hari-hari COVID gua ini diisi komik, musik, dan tidur,” Tara menjawab dengan nada kesal, menatap langit-langit mushola seperti sedang menghitung waktu yang terbuang.

Tiba-tiba, suara senior pembina acara MPLS terdengar dari pengeras suara. “Untuk empat siswa di mushola, segera ikut berkumpul di lapangan.”

Gema melirik ketiga temannya dengan senyum nakal di balik maskernya. “Eh, bolos yuk,” celetuknya, matanya berbinar penuh tantangan.

“Lu pada mau bolos? Bolos gih, gua sih ogah pantat gua kena sabet gesper emak gua,” jawab Tara tegas, sambil bangkit dan mulai berjalan menuju lapangan. Dia memilih untuk mengikuti aturan, meskipun dengan enggan.

Gema tidak mengindahkan dan memberi aba-aba, “Siap, satu, dua, tiga!”

Seketika itu juga, ketiga siswa itu berlari berpencar, berusaha melarikan diri dari kewajiban yang menunggu mereka.

“Kejar mereka!” seru seorang senior kelas 11, segera memimpin rekan-rekannya untuk mengejar ketiganya.

Dava, yang paling gesit di antara mereka, memilih keluar dari sekolah dengan memanjat pagar yang cukup tinggi. Tangannya cekatan, dan dalam beberapa detik, dia berhasil mencapai puncak pagar dan melompat ke sisi lain.

Sementara itu, Kian memilih rute yang berbeda. Dia berlari menuju dinding pembatas sekolah, dengan tekad bulat untuk melarikan diri. Namun, dinding itu bukanlah hal yang mudah untuk dilewati. Dengan susah payah, Kian mencoba memanjat, berjuang melawan gravitasi dan kelelahan.

“Hyat!” teriak seorang senior yang hampir menangkap ujung celana Kian, namun Kian berhasil lolos tepat pada waktunya. Dia terjun ke lapangan futsal yang berada di sebelah sekolah, menghembuskan napas lega.

“Bangsat, gak ketangkep,” maki senior itu, kesal karena buruannya lolos. Dia segera mengubah arah, melihat Dava yang sudah berhasil kabur. “Yaudah, kita kejar bocah yang lari ke gedung aja.”

Kedua senior itu kemudian berlari menuju gedung sekolah, mengejar Gema yang mencoba meloloskan diri.

Gema berusaha mengatur napasnya, dadanya naik turun seiring dengan detak jantung yang masih terpacu cepat. Keringat mengalir di pelipisnya, membasahi baju yang menempel pada tubuhnya. Dia menegakkan punggungnya sejenak, mencoba menenangkan diri, tetapi suara langkah kaki yang mendekat dari arah tangga membuatnya kembali tegang.

“Woy, bocah!” Suara seseorang yang terdengar lantang semakin dekat. Langkah kaki di tangga kini terdengar menjadi tiga—pertanda senior yang mengejarnya bertambah.

"Waduh," Gema berbisik panik, melirik ke segala arah mencari tempat persembunyian. Tanpa pikir panjang, dia berlari menuju sebuah ruangan dengan papan nama di atas pintu bertuliskan *Perpustakaan*.

Gema membuka pintu kayu yang sudah terlihat tua dan berderit pelan saat didorong. Di dalam, aroma khas buku-buku tua langsung memenuhi inderanya. Ia melihat seorang wanita bermasker hitam duduk di meja peminjaman, matanya tertuju pada novel yang terbuka di depannya.

Gema dengan cepat berjalan di belakang wanita itu, tubuhnya bergerak cepat dan cekatan. Dia lalu bersembunyi di bawah meja, berharap tidak ditemukan.

"Kak, kalo ada yang nyariin orang, bilang aja nggak ada ya," bisik Gema, melepas maskernya dengan cepat dan menunjukkan wajah memohon penuh harap.

Wanita itu hanya menoleh sekilas dengan mata datar, suaranya dingin saat menjawab, "Oh."

Brak!

Pintu perpustakaan terbuka dengan keras, dan suara berat seorang senior terdengar memenuhi ruangan. "Ra, lu liat bocah masuk sini nggak?" Nada suaranya jelas-jelas menunjukkan bahwa dia tidak sedang dalam suasana hati yang baik.

Raisa, gadis itu, menatap senior-senior yang mengejar Gema dengan tenang. "Nggak, nggak ada. Tapi tadi gue denger suara grasak-grusuk sih, mungkin itu dia," jawabnya dengan nada yang sama santainya, tanpa sedikit pun menunjukkan bahwa dia sedang melindungi seseorang.

"Oh, oke," sahut salah satu senior, diiringi dengan suara pintu perpustakaan yang tertutup kembali.

Gema tetap diam di tempatnya, menunggu selama beberapa menit untuk memastikan bahwa senior-senior tersebut benar-benar telah pergi. Setelah yakin bahwa keadaan aman, dia perlahan muncul dari bawah meja.

"Thank you," ucap Gema, menghela napas lega. Tapi tidak ada respons dari Raisa.

"Kak?" Gema mencoba memanggilnya lagi. Namun gadis itu tidak bergeming, tampak begitu fokus pada buku yang ada di tangannya.

"Kak? Hello?" Gema berusaha lagi, sedikit mendekat ke arah Raisa.

Raisa akhirnya melirik Gema dengan tatapan tajam yang membuatnya langsung tersadar bahwa ia mungkin telah mengganggu. "Okay, sorry ganggu," ucapnya cepat, merasa sedikit canggung.

Keheningan pun melingkupi ruangan untuk beberapa saat sebelum Raisa, tanpa mengalihkan pandangan dari bukunya, bertanya dengan nada datar, "Kenapa kamu nggak ikut MPLS?"

Gema merasa sedikit lega mendengar pertanyaan itu, seolah membuka jalan untuk percakapan. "Gaklah, ngapain? Malesin, buang-buang waktu. Lebih baik gua main Dota, udah rank Ancient, loh," jawabnya dengan bangga, berusaha menunjukkan sisi cool-nya.

Gema kemudian mulai berjalan di sekitar perpustakaan, matanya menjelajahi deretan buku-buku yang tertata rapi di rak. Buku pelajaran, cerita kemerdekaan, beberapa komik—namun tidak ada satu pun yang benar-benar menarik perhatiannya.

Dia mengangkat sebuah kursi yang biasanya digunakan untuk membaca dan membawanya ke samping Raisa. Rasa penasaran menguasainya.

"Baca buku apa, Kak?" tanyanya, mencoba mencari topik untuk memulai percakapan.

"Detective Hercule Poirot," jawab Raisa singkat tanpa menoleh dari bukunya.

"Kayak Sherlock Holmes ya?" Gema mengangguk-angguk, mencoba menunjukkan bahwa dia paham.

Raisa melepaskan maskernya. Seketika Gema merasa sedikit gugup saat Raisa melepaskan maskernya, memperlihatkan wajah imut bercampur cantik. Pupil matanya sebesar boba, pipinya putih mulus. Walaupun wajahnya tampak serius, Gema merasa gemas melihatnya.

"Bener, tapi beda." Raisa menatap Gema sekilas sebelum melanjutkan, "Hercule Poirot itu seorang detektif yang sangat perfeksionis, suka show off tentang kejeniusannya. Dia tidak ceroboh, berbeda dengan detektif yang jago berkelahi tapi ceroboh. Poirot memperhatikan setiap detail, baik itu bukti atau bahasa tubuh saksi."

Gema menatap Raisa, terpaku pada cara gadis itu berbicara dengan begitu yakin dan mendalam. Dadanya kembali berdebar kencang.

Dag dig dug.

"Bangsat, kenapa jantung gua deg-degan?" gumam Gema dalam hatinya, kebingungan. Padahal dia sudah sering menggombali banyak wanita, tapi baru kali ini jantungnya berdegup kencang seperti ini.

......................

Kini, Gema duduk malas, menopang dagunya dengan tangan. Ia merenungkan kembali momen-momen ketika pertama kali bertemu Raisa, sosok yang kini menjadi pujaan hatinya.

Bel istirahat telah berbunyi beberapa menit yang lalu, namun Gema tak berniat pergi ke kantin meskipun perutnya telah memprotes dengan bunyi lembut. Kehilangan selera makannya disebabkan oleh ingatannya tentang kemesraan Raisa dan Adam. Melihat kebersamaan mereka membuat Gema malas, takut rasa cemburunya semakin memuncak dan amarahnya meledak.

Dengan malas, Gema bangkit dari kursinya dan menaruh tasnya di atas meja. Ia merebahkan tubuhnya di meja, menggantungkan kepala di atas meja Tara. Jika ditanya tentang rasa malu, jawabannya jelas tidak, dari kecil, Gema sudah tidak terlalu peduli dengan malu.

Gema tersenyum kecil ketika menatap ponselnya, memperhatikan wallpaper foto Raisa. Saking jatuh cintanya, ia bahkan menjadikan foto Raisa sebagai wallpaper di layar beranda dan WhatsApp-nya.

Setelah beberapa lama memandangi ponselnya, Gema perlahan menutup matanya dan tertidur.

................

“Tar, si Gema mana?” tanya Dava sembari menyeruput jus mangga miliknya.

“Tau tuh! Tumben dia di kelas, biasanya dia orang pertama yang keluar sebelum guru datang,” sahut Kian, sambil mengambil paksa jus Dava dan meminumnya.

“Babi!” Dava merebut jusnya kembali dan memukul pundak Kian dengan keras, membuat Kian meringis kesakitan.

“Aduh, sakit banget! Lu baper amat, ngambil jus anak yatim-piatu tanpa izin,” ucap Kian kesal.

“Gua kan yatim-piatu juga! Lu dosa ngambil jus gue,” balas Dava dengan nada penuh kemarahan.

“Gema lagi malas kali, gua juga gak tau. Tapi kayaknya dia lagi sakit deh, soalnya dia pucet banget,” ucap Tara sambil fokus memainkan konsol DS-nya dan sesekali menyuap bakso ke mulutnya.

Raisa, yang secara kebetulan mendengar pembicaraan mereka, tiba-tiba merasa cemas. Tanpa pikir panjang, ia bangkit dari tempat duduknya.

“Mau ke mana, Raisa?” tanya Gita, bingung melihat Raisa yang tiba-tiba berdiri dan meninggalkan meja makan.

“Mau ke perpustakaan!” jawab Raisa singkat sambil bergegas pergi.

“Mau ngambil apa? Kalo buku paket, bisa nanti,” ujar Indah, menatap Raisa dengan penuh selidik.

“Gua mau ngambil buku Poirot, kemarin gua nitipin ke Bu Firly,” kata Raisa tanpa menoleh, berusaha mempercepat langkahnya.

“Kan bisa nanti,” protes teman-temannya, tetapi Raisa sudah terlalu terburu-buru.

“Gua udah penasaran banget! Kemarin Poirot lagi analisis kemungkinan motif dari orang-orang yang terlibat!” Raisa berkata cepat, tanpa menghiraukan tatapan heran dari teman-temannya.

Dia meninggalkan mereka yang kini hanya bisa saling berpandangan dengan penuh kecurigaan.

......................

1
Azilah Asyifa⋋✿ ⁰ o ⁰ ✿⋌
semangat terus ya bg
bagus kok nevelmu
aku suka
Rose Skyler
mamanya masih 29?
Siti Nina
oke ceritanya,,,👍👍👍
Siti Nina
ceritanya bagus kak tetep semangat,,,👍💪
Iqhbal
tetap semangat bg🗿butuh waktu untuk ramai pembaca🗿
Iqhbal
semangat bg, jangan lupa share di komunitas agar orang pada tau
Iqhbal: mau dibantu share? 🗿
Keisar: gak ada waktu, tapi thank you udah komen
total 2 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!