Dimas, seorang Mahasiswa miskin yang kuliah di kota semi modern secara tidak sengaja terpilih oleh sistem game penghasil uang. sejak saat itu Dimas mulai mendapat misi harian
misi khusus
misi kejutan
yang memberikan Dimas reward uang IDR yang melimpah saat misi terselesaikan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon slamet sahid, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Hari Santoso
Pagi itu, langit di desa Brojol begitu cerah. Matahari mulai mengintip dari balik bukit, menyiramkan sinarnya yang hangat ke seluruh penjuru desa. Burung-burung berkicau riang, seakan-akan menyambut datangnya hari baru.
Namun, bagi Hari Santoso, pagi itu bukanlah pagi yang ceria. Ia harus melakukan sesuatu yang berat, sesuatu yang belum pernah ia bayangkan sebelumnya.Hari bangun lebih awal dari biasanya. Di kamarnya yang mewah untuk ukuran Sultan Desa, ia duduk di atas tempat tidurnya yang empuk, memandang lekat-lekat kalung emas yang tergenggam erat di tangannya.
Kalung itu adalah peninggalan mendiang ibunya, satu-satunya harta yang paling berharga bagi dirinya.
Ia masih ingat, Ibunya selalu mengenakan kalung itu, bahkan saat sakit parah hingga ajal menjemputnya.
“Maafkan aku, Bu,” bisik Hari pelan, matanya berkaca-kaca.
“Aku terpaksa menjualnya. Demi adik, demi rahasiaku, demi keluarga kita.”
Adiknya, Pendi, memang menjadi masalah besar sejak lulus dari SMA beberapa tahun terakhir. Sejak ia mulai mabuk-mabukan dan berjudi, keadaan Pendi semakin memburuk saja . Ayah mereka tidak ambil perduli tentang hal ini sehingga Pendi semakin gila dengan kelakuannya.
Meski belum tiba saatnya, Hari kini merasa tanggung jawab keluarga Santoso sepenuhnya berada di pundaknya. Uang sewa Sawah yang seharusnya sudah di laporkan ke Tangan Bapaknya..malah di pakai Pendi untuk judi, mabuk-mabukan dan hal tak bermanfaat lainnya.
Masalah ini kalau tidak segera ditangani akan jadi drama yang berkelanjutan.salah satu sumber penghasilan utama keluarga Santoso kini terancam di salah gunakan oleh adiknya, karena itu Dengan langkah berat, Hari memasukkan kalung emas itu ke dalam kantong bajunya.
Ia tidak berpamitan pada Ayahnya, terutama kepada Pendi yang masih terlelap di kamarnya setelah semalaman berjudi. Hari tak berani membangunkan Ayahnya, takut amarahnya akan meledak.
Jalan menuju desa Brojol tidaklah mudah. Hari harus melewati jalan setapak yang berkelok-kelok dan menanjak, menembus bukit kecil yang rimbun. Namun, demi kepentingannya, ia rela menempuh perjalanan itu.
Sampai di perbatasan antara desa Silogiri dan desa Brojol, Hari ingat bahwa nanti Dia akan melewati rumah kekasihnya, Siti. Mereka sudah berselingkuh selama beberapa bulan dan saling mendukung dalam suka maupun duka.
Siti adalah gadis desa yang sederhana namun penuh perhatian. Waktu mereka SMP,benih cinta mulai muncul diantara keduanya dan berlanjut hingga lulus SMA.
Sayang Takdir tidak memihak cinta kasih mereka, ketika Hari kuliah di kota,tiba-tiba datang kabar bahwa Siti akan menikah.
yang lebih menyiksa, ketika Hari berkesempatan pulang ke desa,ternyata Siti di boyong Suaminya ke Kota.
Setelah di wisuda setahun lalu akhirnya Hari pulang ke desa, dan pucuk di cinta ulampun tiba, Saat Ibu Siti meninggal dunia,sehingga mau tidak mau Siti harus kembali ke desa dan mewarisi Rumah serta Sawah untuk selanjutnya menjadi tanggung jawabnya sebagai satu-satunya pewaris yang sah untuk mengelola. Di situlah awal mereka bertemu kembali dan melakukan perbuatan hina sampai sekarang.
Pagi itu, Hari memutuskan untuk mampir sebentar, berharap mendapatkan sedikit ketenangan dan dukungan dari Siti sebelum melanjutkan perjalanannya.
Hari mengetuk pintu rumah Siti dengan perlahan. Tak lama, pintu terbuka dan Siti muncul dengan senyum manis di wajahnya. “Hari, kenapa pagi-pagi sudah ke sini? Ada apa?” tanya Siti sambil mengajak Hari masuk.“Aku butuh berbicara denganmu, Siti,” jawab Hari dengan suara bergetar. “Aku ingin menjual kalung emas ibu untuk mengganti uang sewa sawah yang di pakai Pendi.”
Siti terkejut mendengar kabar itu. Ia tahu betapa berharganya kalung itu bagi Hari. “Kenapa harus menjualnya, Hari? Bukankah itu peninggalan yang sangat berharga bagimu?”
Hari lalu menceritakan semua yang terjadi, tentang Pendi yang terjerat hutang judi, tentang uang sewa sawah yang di gelapkannya, dan tentang beban berat yang ia pikul karena Pendi mengancam dengan hubungan gelap mereka yang enah bagaimana di ketahuinya.
Siti mendengarkan dengan seksama dan terkejut, wajahnya menunjukkan campuran antara kaget,sedikit ketakutan dan prihatin.Setelah mendengar penjelasan Hari, Siti menarik napas dalam-dalam.
“Aku mengerti, Hari. Terkadang kita harus berkorban demi orang yang kita cintai dan kepentingan kita. Aku mendukung keputusanmu.”Siti mendekat dan memeluk Hari dengan erat. “Aku tahu ini sulit bagimu. Tapi kamu tidak sendiri. Aku selalu ada untukmu.”Pelukan Siti memberikan sedikit kelegaan bagi Hari. Mereka duduk bersama di ruang tamu, berbicara tentang banyak hal. Obrolan mereka mengalir ringan, seolah-olah waktu berhenti sejenak dan hanya ada mereka berdua. Hari merasa lebih tenang, berkat dukungan dan cinta dari Siti.
Siti kemudian menawarkan Hari untuk sarapan bersama sebelum melanjutkan perjalanannya ke desa Brojol. Hari menyetujui dengan senang hati. Mereka menikmati hidangan sederhana namun penuh kehangatan, sambil berbincang tentang masa depan mereka dan impian-impian yang ingin dicapai.Setelah sarapan, Hari merasa lebih siap untuk melanjutkan perjalanan. Ia berpamitan kepada Siti dengan senyum di wajahnya. “Terima kasih, Siti. Kamu selalu tahu cara membuatku merasa lebih baik.”Siti membalas senyum Hari dan menggenggam tangannya. “Hati-hati di jalan, Hari. Semoga semuanya berjalan lancar.”Dengan langkah yang lebih ringan, Hari melanjutkan perjalanan menuju desa Brojol.
Sesampainya di desa Brojol, Hari langsung menuju rumah Pak Yanto, seorang saudagar kaya yang dikenal baik hati. Pak Yanto sudah lama mengenal keluarga Hari, terutama ibunya. Mereka sering berbisnis bersama, menjual hasil panen dan kerajinan tangan. Sehingga urusan menjual kalung itupun terselesaikan tanpa memakan waktu lama.
.