NovelToon NovelToon
The Disgusting Beauty

The Disgusting Beauty

Status: sedang berlangsung
Genre:Balas Dendam / Teen School/College / Slice of Life
Popularitas:1.3k
Nilai: 5
Nama Author: アリシア

Tidak ada yang benar-benar hitam dan putih di dunia ini. Hanya abu-abu yang bertebaran. Benar dan salah pun sejatinya tak ada. Kita para manusia hanya terikat dengan moralitas dan kode etik.

Lail Erya Ruzain, memasuki tahun pertamanya di SMU Seruni Mandiri yang adalah sekolah khusus perempuan. Seperti biasa, semua siswi di kelas akan gengsi dan malu-malu untuk akrab dengan satu sama lain. Waktu lah yang akan memotong jarak antara mereka.

Hingga dia mengenal Bening Nawasena. Teman sekelas yang bagaikan salinan sempurna Lail saat SMP.

Drama pertama kelas dimulai. Siswi toxic mulai bermunculan.

Bagaimana Lail menghadapi semua itu?

"Menyesal? Aku gak yakin."

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon アリシア, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

CH.02 - Gadis Pengurus Ruang BK

Sejak awal masuk sekolah, pasukan oranye atau mereka yang alumi SMP Reka Karya selalu mendominasi kelas. Semuanya terlihat dengan jelas, apalagi ketika pemilihan perangkat kelas. Semua yang menjadi perangkat kelas adalah para pasukan oranye. Lail tidak ambil pusing, sebab sejak awal dia tidak tertarik menjadi perangkat kelas. Menjadi siswi biasa sudah cukup baginya.

Ke mana-mana mereka selalu bersama. Mau ke kantin atau sekedar nongkrong di gazebo sekolah, takkan ada satu pun yang ketinggalan. Begitu juga saat pulang, lima dari mereka naik angkot bersama kecuali satu yang memang beda arah dan punya motor sendiri.

Makanya ketika kemarin Lail memergoki Bening pulang sendiri, deteksi dramanya menyala. Pasti ada sesuatu di antara mereka. Lail menyadari kalau Bening jadi agak penyendiri setelah nilai UH Bahasa Indonesia tempo hari. Lail jadi menduga kalau permasalahannya di mulai dari sana.

Tapi yah, kenapa Lail harus peduli kalau dia punya opsi untuk mengabaikan masalah Bening?

“Lail, ke kantin yuk!”

Lail mengangguk menyetujui ajakan Azara. Berbeda dengan Bening, sejak UH Bahasa Indonesia, Lail menjadi lebih dekat dengan Azara karena ia membantu temannya itu menjawab soal nomor lima. Ini adalah kemajuan untuk Lail sendiri.

Suasana kantin tak akan luput dari keramaian. Banyak sekali jenis makanan yang dijajakan. Ada siomay, batagor, pecel, nasi bakar dan banyak lagi lah. Menu wajib di kantin sekolah tetap bakso dan mi instan.

“Kamu mau jajan apa, Lail? Aku kayaknya lagi pengen nasi bakar. Lapar soalnya, maklum belum sarapan.” Azara nyengir sembari menunjuk perutnya yang bergemuruh sejak periode keenam dimulai.

Sekolah ini ada dua kali jam istirahat. Yang pertama pukul 10:00 sampai 10:40, yang kedua ketika waktu makan siang dengan durasi 40 menit juga. ada beberapa yang mengeluh karena 40 menit tampak tidak cukup. Apalagi mereka pulang pukul tiga tepat kecuali Senin dan Jumat pulang lebih cepat.

“Kayaknya aku mau batagor.”

“Batagor mulu perasaan, sampe mamang penjualnya kenal.” Azara menatap datar Lail saat gadis itu lagi-lagi memilih untuk membeli batagor dari sekian banyaknya makanan yang dijual. Padahal mamang penjualnya juga tidak ganteng sampai membuat Lail bolak-balik setiap hari membeli itu.

Lail nyengir kuda. Justru kalau dia pusing mau beli apa, dia akan main aman dengan membeli makanan yang sudah pernah dia coba. Apalagi rasanya enak dan harganya murah, itu nilai plus dari Lail untuk mamang batagor. Oh, harusnya Lail bertanya siapa nama mamang batagor supaya mereka lebih akrab.

“Mang, yang biasa.” Pesan Lail pada mamang batagor.

“Siap, neng Lail.” Mamang batagor mengiyakan, saking seringnya beli batagor, mamangnya sampai ingat nama Lail.

“Nama mamang siapa sih?”

“Panggil aja Mang Pundi.” Jawab Mang Pundi sambil menyiapkan batagor pesanan Lail.

“Mang Pundi? Pundi uang?”

“Yah, si eneng malah ngelawak.”

“Hehe...” Lail tertawa hambar.

Setelah pesanan Lail siap, dia membawa piringnya ke meja di mana Azara duduk dengan piring nasi bakar tersaji di depannya.

“Lamaaa. Mamangnya gak ganteng tapi diapelin terus.” Cibir Azara. “Enak tau batagornya! Kamu disuruh nyoba gak mau.”

“Aku ‘kan sukanya siomay, batagor skip dulu.”

Lail merotasikan bola matanya malas. Dia meletakkan piring berisi batagor ke atas meja, duduk berhadapan dengan Azara yang mulai menyendokkan nasi bakarnya. Belum satu suap dia rasakan, Lail menangkap sosok Bening berjalan berdua dengan seseorang yang bukan berasal dari pasukan oranye.

“Zar, kamu tau gak itu siapa yang sama Bening?” Lail menoel Azara yang nyaris menumpahkan sendok berisi nasi bakarnya.

Azara mendelik, menoleh ke arah yang sama dengan Lail, “Itu Jelika. Tumben Bening sama Jelika.”

“Iya ‘kan?! Biasanya juga dia sama pasukan oranye.” Timpal Lail.

“Pasukan oranye?” Azara menaikkan sebelah alisnya.

Lail tersenyum lebar, “Batik SMP mereka ‘kan oranye menyala.”

“Batik kita sekarang juga oranye. Cuma kotak-kotak aja.”

Lail mengangguk, kemudian melanjutkan memakan batagornya. Harusnya dia tidak peduli pasal Bening yang mendadak menjauh dari pasukannya. Itu juga hak Bening untuk punya teman baru dari sekolah yang berbeda. Tidak ada yang salah. Dia pun begitu. Yah, Lail sih karena tak punya teman sekelas dari SMP yang sama. Buktinya sekarang dia berteman dengan Azara.

“Nanti kamu pulang telat?” tanya Azara.

“Iya. Aku mau piket dulu biar besok gak usah piket pagi banget. Takutnya mobil susah lewat.”

“Ouhhh...” Azara mengangguk-anggukkan kepalanya.

 Sesuai perkataannya, Lail akan piket dulu sebelum pulang. Lagi-lagi dia yang terakhir di kelas. Lail dengan telaten menyapu kelas sambil membersihkan kolong-kolong meja yang biasanya dijadikan sarang sampah oleh mereka yang malas membuangnya ke tong sampah.

“Hm?”

Saat memeriksa kolong meja Bening, ternyata kertas bekas kemarin masih ada di sini. Kertas yang isinya soal dan jawaban UH prediksinya sendiri. Tapi kertasnya sudah rusak, mungkin karena dia mengoyaknya terlalu kuat.

Lail melempar gumpalan kertas itu ke tong sampah, dia selebrasi saat lemparannya berhasil masuk di percobaan pertama. Selepas menyapu seluruh kelas, Lail menaruh sapu kembali ke tempatnya lalu menutup pintu kelas.

Lail melangkahkan kakinya keluar gerbang sekolah. Lagi dan lagi. Matanya selalu menangkap sosok Bening meski dia tak ingin. Gadis itu berdiri di trotoar menunggu angkot atau bis lewat. Prediksi Lail dia ketinggalan angkot.

Dia ngapain aja sampe ketinggalan angkot? Aku sih piket.

“Ning–!” Tenggorokan Lail tercekat kala matanya menemukan hal ganjil. Sorot netranya tak henti menatap pergelangan tangan Bening yang memiliki banyak goresan. Kalau kata anak-anak zaman sekarang, itu namanya barcode.

Ada dua kemungkinan mengapa orang-orang mengiris pergelangan tangannya sendiri. Pertama karena sedang trend di media sosial, mengiris nama di tangan atau sekedar garis saja. Dan yang kedua, depresi. Dia tak punya cara lain untuk melampiaskan rasa tertekannya selain melukai diri sendiri.

Namun lagi-lagi, Lail yang seorang pengecut takkan bertanya pada Bening kenapa dia mengiris pergelangan tangannya sendiri. Pertama, dia takut ditolak, takut Bening menghindari pertanyaannya dan malah mengatakan baik-baik saja. Yang kedua, jikapun Lail berhasil membuatnya bercerita, dia tak punya kata-kata yang bisa menenangkan orang lain. Menenangkan orang adalah hal sulit baginya, karena dia terlalu sarkas untuk mengucapkan hal-hal baik.

Jadi, mari tinggalkan Bening dan masalahnya sendiri.

“Belum pulang, Ning? Ketinggalan angkot, ya?” Lail bertanya basa-basi.

Bening menengok ke belakang, terdapat Lail berdiri di ambang pintu gerbang sambil memegangi tas punggungnya. “Iya. Kamu sendiri?”

“Aku piket.”

Bening ber’oh ria. Matanya kembali menatap jalanan. Jam sehabis pulang memang jarang sekali angkot lewat. Karena faktor jumlah angkot yang sedikit, ditambah mereka hanya narik ketika jam rawan karyawan dan anak sekolah pulang.

Aku gak mau pulang sore...

Esok harinya, saat Lail baru memasuki kelas. Dia merasa atmosfer pagi ini sangat berbeda. Sepertinya ada berita hangat. Biasanya yang paling cepat soal berita adalah pasukan oranye.

Lail hanya bisa mengela napas berat saat tak ada siapapun yang bisa dia tanyakan. Azara belum datang. Gadis itu spesialis masuk siang. Dia alergi untuk datang tepat waktu. Bukan hanya itu, belum sebulan sejak tahun ajaran baru dimulai, tapi dia sudah absen lima kali. Lail mulai merasa kalau dia memulai tali pertemanan dengan orang yang salah.

“Gue mah dari awal gak niat ikut ekskul apa-apa.”

“Kayaknya gue tertarik sama silat, deh.”

“Silat? Wah, entar lo jago debus donk.”

“Gak ada ekskul Bahasa Jepang ‘kah? Inggris doank mah gue juga udah bisa.”

“Gak ada kocak! Guru yang bisa Bahasa Jepang juga udah keluar.”

Samar-samar Lail mendengarkan percakapan mereka sambil pura-pura membaca buku. Dari sana Lail tahu kalau mereka membicarakan tentang ikut ekstrakuliler di sekolah. Di sekolah ini ada lebih dari sepuluh ekskul. Peraturan sekolah ini tidak begitu ketat, jadi setiap siswi tidak diwajibkan mengikuti ekskul.

Lail sendiri tertarik dengan ekskul Desain Grafis dan Fotografi. Itu bukanlah dua ekskul yang berbeda. Keduanya sengaja disatukan dalam satu ekskul karena guru yang ahli dan mau menjadi pembimbing ekskul hanya satu.

Semoga saja di kelas ini ada juga yang satu ekskul denganku.

Azara datang bersamaan dengan bel masuk. Dia dengan santainya menaruh tas di kursi dan duduk di samping Lail yang berwajah masam. Seharusnya sebagai siswi teladan, Azara bisa datang lebih awal. Ini juga agar Lail punya teman mengobrol. Tidak lucu jika yang dia lakukan hanya planga-plongo seperti orang idiot.

“Zar, udah denger belum?”

“Kenapa?”

“Pendaftaran ekskul udah dibuka.”

“Ouh... aku udah denger dari kemarin.”

Lail memperbaiki posisi duduknya menghadap Azara, “Terus kamu mau masuk ekskul apa?”

“Silat. Biar keren.” Singkat, padat, biar keren.

Lail melengos. Alasan yang tidak masuk akal. Tapi tak apa, setidaknya bocah pembolos ini berada satu tingkat di atas mereka yang memilih ekskul ‘langsung pulang’.

“Kalau silat jadwal ekskulnya hari apa aja?”

“Selasa sama Kamis.”

“Ouh...”

“Terus Lail milih ekskul apa?” Azara bertanya balik.

“Desain Grafis & Fotografi.”

“Hari apa?”

“Hari ini sama Jumat.”

Azara mengangguk paham. Percakapan terputus saat guru mata pelajaran sudah menyapa. Pembelajaran pun dimulai hingga bel tanda istirahat pertama berbunyi.

Semua murid berhamburan keluar kelas. Tujuan mereka macam-macam, ada yang ke kantin, lapangan, gazebo, perpustakaan, ada juga yang menyelinap keluar sekolah hanya karena menu jajanan di luar lebih beragam.

“Gak ke kantin, Lail?” tanya Azara saat Lail melangkah ke arah yang berlawanan dari kantin.

“Hari ini gak dulu.”

“Gak kangen mamang batagor ‘kah?”

“Besok ke sana. Tapi aku boleh nitip?”

“Nitip apa?” Azara menaikkan sebelah alisnya.

“Lemper sama risol. Masing-masing dua, entar sisa kembaliannya buat kamu.” Ucap Lail sambil memberikan selembar uang lima ribuan.

“Oke. Tapi aku makannya di kantin, jadi gak langsung ke kelas. Gak apa- apa ‘kan?” Azara bertanya memastikan.

Lail mengangguk, tak apa.

Lail dan Azara berpisah di lorong yang bersimpang. Azara terus melambaikan tangannya sampai dia berbelok ke arah kantin. Lail tersenyum tipis, kemudian memandang papan nama di atas pintu yang ada di hadapannya.

Ruang BK.

Tok! Tok! Tok!

“Permisi,” Lail mengetuk pintu, berharap kalau ada seseorang di dalam ruangan.

Hening. Namun itu hanya sebentar. Daun pintu berputar searah jarum jam. Pintu terbuka, memperlihatkan sesosok wanita paruh baya. Katanya usia Guru BK sudah sampai 40 tahun-an, tapi wajahnya seperti wanita di pertengahan usia 30 menurut Lail pribadi.

“Kamu datang lagi, Lail? Padahal tak apa jika orang lain yang melakukannya.” Ujar Bu Dea, Guru BK khusus siswi tahun ketiga.

Sudah menjadi rutinitas tetap Lail untuk mendatangi Ruang BK setiap Rabu dan Jumat untuk membantu Bu Dea mengorganisir dokumen- dokumen yang di sampulnya terdapat nama siswi-siswi bermasalah. Bukan hanya yang terlibat kasus, tapi juga yang curhat masalah keluarga. Bu Dea bersedia mendengarkan keluh kesah para siswinya.

Awal mula rutinitas ini adalah sebuah ketidaksengajaan. Lail pernah sakit dan ingin berbaring di UKS, tapi UKS saat itu tengah penuh. Bu Dea menawarkannya berbaring di sofa Ruang BK. Sehari setelahnya, Lail berniat berterima kasih karena kebaikan hati Bu Dea dan membalasnya dengan membantu beliau mengorganisir tumpukan dokumen yang berantakan di laci.

Dan karena ada banyak dokumen di laci, Lail tak bisa menyelesaikannya dalam sehari. Juga, kasus selalu ada setiap minggunya, tentu saja pekerjaan itu tak kunjung usai. Akhirnya Lail menawarkan diri pada Bu Dea agar ia bisa membantu di hari Rabu dan Jumat. Lail tak meminta balasan, dia hanya senang merapikan sesuatu yang tidak pada tempatnya.

“Ada kasus baru ya, Bu?” tanya Lail saat ia melihat ada tumpukan dokumen baru dalam laci.

“Iya, baru selesai Senin lalu.”

Untuk informasi, tumpukan yang ada di dalam laci berisi kasus-kasus yang sudah selesai. Sedangkan yang ada di atas meja Bu Dea sendiri adalah kasus yang belum selesai. Untuk guru BK lain yang menangani kasus kelas 1 dan 2, ruangannya tetap di sini, tapi mereka tak punya meja sendiri. Karena di sini hanya ada satu meja, tiga kursi dan satu sofa. Perabotan sisanya adalah dispenser, dan beberapa rak di mana dokumen yang sudah selesai dan terorganisir diletakkan. Yang di dalam laci ‘kan belum diorganisir, nah, rak-rak itu adalah destinasi terakhir para dokumen.

Dokumen berisi kasus-kasus diurut sesuai tahun, bulan, dan tanggalnya. Ini seharusnya pekerjaan mudah. Masalah Lail hanya satu. Ada satu baris rak yang dokumennya tidak diurut sesuai tahun, bulan dan tanggal karena waktu itu awal-awal ruangan ini dibangun. Guru BK saat itu tak tahu kata mengorganisir, jadinya Bu Dea sendiri yang merapikan semua kekacauan itu. Beruntung Lail datang membantu layaknya pahlawan kesiangan.

“Tidak banyak siswi yang mau membantu di sini. Tidak. Mereka bahkan terlalu takut untuk sekedar masuk ke sini walau tak terlibat kasus apa pun.” Curhat Bu Dea.

“Padahal jika mereka mau curhat, Ibu siap mendengarkan. Dan informasi itu takkan pernah bocor.”

Itu benar. Tidak sembarang orang bisa menjadi guru BK. Hanya mereka yang taat terhadap kode etik yang mampu. Menutupi aib orang lain adalah poin penting bagi mereka. Karena itulah awalnya Lail tak boleh membantu di sini. Boleh saja dia membaca dokumen itu, tapi menyebarkannya adalah kasus lain.

Untung saja Lail tak pernah comel. Tapi kalau kasusnya memang harus disebarkan, dia takkan segan-segan berbagi cerita dengan Azara. Barang bagus tak boleh disimpan sendiri, begitu kata para ahli.

“Hari ini kamu ada ekskul ‘kan?”

“Iya, Bu. Hari pertama.” Lail menjawab, tapi matanya tak teralihkan dari kertas yang ditempel di rak-rak bertuliskan tahun dan bulan kasus dimulai (tanggal hanya tertulis di sampul dokumen).

“Kamu harus serius.”

Lail mengangguk mendayu, dia tahu.

... ****...

Di saat kebanyakan murid sudah pulang. Lail duduk di ruangan ekskul sambil memandangi siapa saja yang ikut. Mungkin saja akan ada wajah yang dia kenali di sini. Dan benar saja, ada satu. Dari kelas yang sama dengannya. Gadis itu duduk di sebelahnya, melemparkan senyum tipis pada Lail.

“Siapa nama kamu? Aku Nylam, kita ini sekelas. Aku ingat wajah kamu.” Tanya gadis itu ramah, tangannya terjulur untuk menjabat tangan Lail.

“Lail.” Lail membalas jabatan tangan itu, juga mengulas senyum manis. Dia telah mendapatkan teman lain yang satu kelas dengannya selain Azara. Setidaknya meski sering masuk bersamaan dengan bunyi bel masuk, gadis ini belum pernah absen.

Pertemuan pertama, tak ada materi. Tujuh murid yang masuk ekskul ini saling berkenalan. Hanya ada dua kakak kelas yang membimbing mereka bersama seorang guru pria. Materi akan mulai diajarkan di pertemuan kedua.

Di esok harinya, hari Kamis, aroma weekend sudah mulai tercium meski masih samar. Kali ini Lail datang paling pertama –tidak, ada Bening yang sudah duduk. Dia terlalu fokus dengan ponselnya sampai tak menyadari kehadiran Lail.

Perlahan langkah kaki Lail menghampiri meja Bening. Saat sosok Lail berdiri tepat di depan Bening, gadis itu baru sadar. Dia mendongak cepat.

“Ap–”

“Kamu mau ikut ekskul denganku, tidak?” Lail memotong pertanyaan Bening dan malah mengajukan pertanyaan lain.

Bening terdiam, informasi belum mencapai otaknya.

“HUH???”

TBC

1
anggita
like👍☝iklan utk Lail.. moga novelnya sukses thor.
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!