NovelToon NovelToon
Happy Story

Happy Story

Status: tamat
Genre:Tamat / Cinta Murni
Popularitas:1.6k
Nilai: 5
Nama Author: Riska Darmelia

Karya ini berisi kumpulan cerpenku yang bertema dewasa, tapi bukan tentang konten sensitif. Hanya temanya yang dewasa. Kata 'Happy' pada judul bisa berarti beragam dalam pengartian. Bisa satir, ironis mau pun benar-benar happy ending. Yah, aku hanya berharap kalian akan menikmatinya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Riska Darmelia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Satu Sama part 2.

“Nanti Papa jemput jam berapa?”tanya Papaku.

“Kinar pulang sendiri aja. Bye, Pa,”kataku sebelum melangkah pergi.

“Bye,”balas Papa.

Aku berbalik sebentar hanya untuk tersenyum padanya.

Pagi ini cerah. Langit pagi ini biru, membuat hatiku sejuk hanya dengan memandangnya. Aku kembali teringat ciuman 2 malam lalu. Aku merasa malu dan muak, tapi aku juga tahu aku juga salah dalam kasus itu. Aku yang melempar diriku pada laki-laki yang bereputasi buruk di sekolah dan menganggap dia bisa membantuku untuk sebuah alasan yang semakin dipikirkan semakin terasa konyol. Aku menyasali semuanya.

Saat berjalan di lorong menuju kelas, aku melihat Nania keluar dari kelas kami membawa sesuatu yang terlihat sebagai buku tulis di tangannya. Aku teringat tentang Nania yang suka menulis cerita romance dewasa yang dari kudengar dari Revan. Aku jadi berniat bicara dengan orang yang belum pernah kuajak bicara walau kami sekelas karena hal itu.

Aku mengikuti Nania.

Nania berhenti di meja baca yang terletak di luar perpustakaan sekolah, seperti sedang menunggu perpustakaan buka. Nania membuka buku tulis yang ia bawa, lalu mulai menulis.

Aku mendekat. Rasanya ingin menggodanya di pertemuan pertama kami. “Bikin apa, Nania? Cerita dewasa, ya?”godaku.

Nania terlihat panik sekali saat menutup bukunya. Dia menatapku dengan mata yang membulat karena kaget. “Nggak. Aku lagi bikin PR,”katanya sebelum tertawa gugup.

Aku terbahak. Alasan yang bertolak belakang sekali dengan sikap paniknya barusan. “Kalo cuma PR kenapa kamu ketakutan kayak gitu?”

Mata Nania menyipit saat ia membenarkan kacamatanya. Kemarahan terlihat kentara di wajahnya, membuatku merasa berhasil menggodanya. “Kamu tau dari siapa?”

“Apanya?”godaku lagi.

Nania diam. Matanya menatapku dengan tatapan yang menyiratkan dia kesal sekali.

Aku tertawa gugup. Padahal aku cuma ingin berkenalan dan sedikit menggodanya. “Aku tau dari Revan,”jawabku jujur.

Nania mendengus. “Oh, si playboy itu. Kamu ada urusan apa sama dia?”

Kasar sekali. “Kenapa emangnya?”tanyaku.

“Dia bukan cowok baik-baik. Bagusnya di jauhi aja,”jawabnya ringan.

“Hubungan kami berakhir di hari pertama kali kami jalan bareng. Kamu nggak usah khawatir.”

Nania mengangguk. “Good.” Nania menatap tangannya terus, membiarkan aku berdiri lama di sampingnya tanpa bisa berkata apa-apa.

“Kenapa kamu benci Revan?”tanyaku setelah memantapkan hati karena merasa pertanyaanku sedikit terlalu berlebihan untuk orang yang baru berkenalan.

Nania menalihkan pandangan padaku. “Kata siapa aku benci dia?”

“Kata Revan.”

Nania menghembuskan nafas panjang, lalu mengalihkan pandangan ke arah lain. “Dulu iya. Dia pernah ada salah sama aku. Sekarang aku nggak benci sama dia lagi.”

“Karena dia nyium kamu atau karena dia ngerendahin kamu setelah dia baca cerita yang kamu tulis?”tanyaku, mulai jadi berani.

Nania menatapku. “Dia cerita apa aja sama kamu?”

Aku tersenyum, mencoba mengingat-ingat. “Ada beberapa hal yang dia certain tentang kamu. Juga soal kamu yang ngejadiin dia sebagai orang pertama yang kamu tampar.” Aku tersenyum. “Dia memang pantas di tampar, sih.”

Nania ikut tersenyum, membuatku merasakan angin perdamaian darinya. “Boleh duduk bareng?”tanyaku.

Nania menatapku lama sekali.

Aku jadi sedikit tidak enak hati. “Kenapa? Nggak boleh, ya?”tanyaku.

“Bukan itu. Kenapa kamu mau duduk sama aku?”

“Aku pengen mgobrol sama kamu. Boleh?”

Nania membersihkan kursi yang ada di sebelahnya lalu pindah ke sana. “Silakan,” katanya sambil menunjuk kursi yang tadinya ia duduki.

Aku tersenyum untuk menyambut sikap manisnya. “Makasih. Ngomong-ngomong aku boleh liat novel yang kamu tulis?”

“Maaf karyaku bukan konsumsi publik sebelum terbit. Masih banyak yang harus di perbaiki dan aku nggak terlalu suka karyaku di komentari orang,”katanya sambil menunduk. Selesai bicara begitu dia menatapku.

Entah apa yang coba ia katakan lewat tatapannya. “Kenapa? Novelmu jelek?”

Nania meringis. “Menurutku nggak. Tapi nggak semua orang suka tema novelku.”

“Emang temanya apa?”

Nania mendesah. “Udahlah. Nggak usah dibahas.”

Aku baru akan membuka mulut untuk bicara saat seseorang mencolek bahuku. Aku menoleh, menemukan wajah asing berseragam guru berdiri di belakangku. Aku cuma bisa tersenyum dengan perasaan canggung.

“Nania, kamu bawa teman buat bantu kerjaan kita hari ini?”tanyanya.

Aku tercengang. Kerjaan apa?

Aku lega melihat Nania menggeleng karena aku sendiri tidak sanggup menolak permintaan bantuan seperti apa pun. “Ini teman sekelas saya, Bu. Tadi dia cuma mau ngobrol. Iya, kan?”

“Nama kamu siapa?”tanya si guru penjaga perpustakaan.

“Kinar, Bu,”jawabku.

Aku membayangkan waktu yang akan kuhabiskan untuk mengobrol bersama Nania kalau aku ikut membantu, tapi aku perlu bicara dengan pacarku yang beda kelas. Aku ingin menyelesaikan masalah dengan hubungan kami secepat mungkin. “Maaf, Bu. Lain kali mungkin saya bisa bantu. Sekarang saya harus pergi,”kataku jujur.

“Ya sudah,”kata guru penjaga perpustakaan sebelum membuka pintu perpustakaan.

“Bye, Nania,”kataku sebelum pergi.

Tidak ada jawaban darinya bahkan sampai aku menghilang di balik bangunan kelas. Sepertinya Nania tidak suka padaku.

Pacarku sakit, jadi dia tidak pergi sekolah hari ini. Aku khawatir sekali. Meskipun dia sudah menghianatiku, aku masih saja merasa bersedih karena dia sakit. Sepulang sekolah, aku menjenguk ke rumahnya dengan membawa sekilo jeruk.

“Permisi!”panggilku sambil mengetuk pintu rumahnya. Ini pertama kalinya aku datang ke sini dan alamatnya pun ke dapatkan dari tata usaha sekolah. Aku gugup sekali sampai aku berkeringat.

Seseorang membuka pintu untukku. Saat melihat wajah pucat pacarku muncul dari balik pintu yang terbuka aku semakin khawatir. Ia mencoba tersenyum, tapi senyumannya terlihat sangat lemah. “Hai, Kinar. Masih sempat jenguk aku?”tanyanya.

“Kamu kok ngomongnya gitu?”

“Nggak, sih. Tapi dibanding Revan aku memang bukan apa-apa, kan?”

Aku jadi salah tingkah sendiri. “Hubunganku sama Revan nggak kayak yang kamu pikirin. Lagian kamu tahu dari siapa sih? Yang ngasih tau sok tau banget.”

“Siapa yang ngasih tau nggak penting. Tapi hubunganmu dan Revan udah cukup jadi jawaban buatku. Hubungan kita kayaknya emang harus di akhiri,”katanya dengan nada yang membuatku muak.

“Kamu yang selingkuh duluan,”tuduhku.

“Sama siapa?”

“Keyla.”

“Keyla itu pacar abangku. Kalo mau nuduh cari orang yang lebih masuk akal, dong.”

“Akhir-akhir ini kamu deket sama dia. Iya, kan?”

“Iya. Dan itu semua supaya surprise party buat ultah abangku sukses.”

Aku terdiam. Aku ingat soal surprise party yang pacarku maksud. Karena aku menolak membantunya, pacarku pernah berkata akan minta bantuan orang lain. Dan rasanya Keyla memang orang yang tepat karena dia pacar abang pacarnya. Aku rasa aku memang hanya salah paham. “Aku percaya,”kataku dengan rasa bersalah bergulung-gulung di hati.

“Nggak perlu. Aku udah nggak percaya lagi sama kamu. Silakan pergi. Aku mau istirahat.”

Pacarku menutup pintu dengan gerakan pelan, tapi rasanya sama seperti dia membanting pintu itu di depanku. Aku membuang nafas, tidak tahu harus menghadapi semua ini dengan cara bagaimana. Sekarang satu-satunya hal yang bisa kulakukan adalah pulang ke rumah.

Pagi ini aku datang ke sekolah dengan perasaan yang luar biasa resah. Perutku tidak enak diisi sarapan dan aku terus saja mengkhawatirkan hubunganku dengan pacarku yang masih belum jelas. Dalam kegelisahanku, aku melangkahkan kaki ke perpustakaan, berharap akan bertemu Nania lagi. Entah kenapa aku merasa lebih baik aku bicara dengan orang yang hanya akan menanggapiku sekedarnya dari pada bicara dengan orang-orang yang aku anggap teman dekat. Aku tidak butuh ditanyai setiap detail kondisi hubunganku saat ini, karena aku lebih ingin menenangkan diri.

Aku menemukan Nania di meja baca di teras perpustakaan. Ia duduk di kursi yang sama seperti kemarin, sibuk menulis dan tidak menyadari kehadiranku. “Perpustakaan buka jam berapa sih?”tanyaku untuk memecah keheningan sekaligus memulai pembicaraanku dengannya.

“Jam 7,”jawabnya singkat tanpa menatapku.

Aku menatap buku yang sedang Nania tulis. Sepenting apa buku itu sampai dia menyia-nyiakan kesempatan untuk punya teman baru. Mungkin Nania memang seperti rumor yang selama ini tersebar tentangnya. Penyendiri dan tidak terlalu suka berteman.

“Kamu nulis apa, sih?”tanyaku sebelum duduk di sampingnya.

“Novel.”

“Udah sejak kapan nulisnya?”

“SMP kelas 8 SMP.”

“Udah berapa buku tulis?”

“Tiga.”

“Asyik, ya, nulis?”

“Iya.”

“Kamu nulis cerita tentang apa?”

“Percintaan?”

“Kok malah nanya?”

Nania menutup bukunya. “Kinar, sebenernya apa yang bikin kamu tertarik buat deket sama aku? Kamu nggak lagi PDKT, kan?”

Aku tertawa. “Kamu kira aku lesbi?”

Nania tersenyum lebar dengan wajah yang terlihat jelas menahan tawa, menandakan kalau dia sedang bercanda. “Asyik, ya punya temen ngobrol. Sejak pisah sekolah sama temen deketku, aku selalu sendirian di sekolah,”katanya.

Aku menatap wajah Nania yang terlihat melamun. Entah kenapa Nania sedikit mirip dengan Revan. Mereka sama-sama mengaku padaku kalau mereka kesepian. Rasanya mereka akan cocok kalau mereka bersama. Aku ingin mengatakan pada Nania kalau mereka sebaiknya bersama saja, tapi mengingat Nania sudah menyatakan kalau dia tidak suka pada Revan, rasanya perkataanku hanya akan membuat Nania marah.

“Kinar, kenapa diam?”tanya Nania, membuarku berhenti berpikir.

“Nggak, kok. Aku mikir kamu ada niat buat nerbitin karyamu atau nggak?”kilahku.

“Ada niat pastinya. Tapi novelku belum selesai. Yah… penulis mana sih yang nggak mau karyanya terbit?”

Aku tertawa. Rasanya benar juga. Pertanyaanku memang terdengar bodoh sekali. Aku tidak bicara lagi. Aku membiarkan saja Nania menulis dan berpikir. Dia perlu ketenangan agar apa pun yang dia tulis hasilnya jadi bagus sehingga suatu hari nanti aku bisa membaca hasilnya.

Saat perpustakaan buka, Nania mengajakku masuk ke perpustakaan dan ia merekomendasikan beberapa judul buku. Aku menganggap itu sebagai isyarat pertemanan darinya dan menerimanya dengan senang hati.

Sambil membaca buku sastra terbitan beberapa puluh tahun yang lalu, aku berpikir tentang sikapnya kemarin yang bertolak belakang dengan sikapnya sekarang. Entah karena dia berubah pikiran tentangku atau dia hanya bersikap apa adanya tergantung mood.

Aku merasa Nania adalah orang yang sedikit susah di tebak.

1
𝕻𝖔𝖈𝖎𝕻𝖆𝖓
Hai ka.....
gabung di cmb yu....
untuk belajar menulis bareng...
caranya mudah cukup kaka follow akun ak ini
maka br bs ak undang kaka di gc Cbm ku thank you ka
Riska Darmelia
〤twinkle゛
Terima kasih sudah menghibur! 😊
Riska Darmelia: sama-sama/Smile/
total 1 replies
Tiểu long nữ
Suka dengan gaya penulisnya
Riska Darmelia: makasih.
total 1 replies
🍧·🍨Kem tình yêu
Nggak kebayang akhirnya. 🤔
Riska Darmelia: terima kasih karena sudah membaca.😊
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!