NovelToon NovelToon
The Prisoner

The Prisoner

Status: sedang berlangsung
Genre:Romantis / cintamanis / CEO / Cinta Seiring Waktu
Popularitas:6.7k
Nilai: 5
Nama Author: Miss Loxodonta

Kembali ke Kota kelahirannya di Hamburg—Jerman menjadi awal penderitaan Lenka Lainovacka. Dia disekap di ruangan bawah tanah oleh Steven Gershon—pria yang sangat membencinya karena mengira ia adalah orang suruhan Piero—musuh bebuyutannya Stevan dan turut terlibat dalam kecelakaan yang menewaskan kekasih pria itu.


"Kau ingin mati, bukan?" menautkan kedua tangan di bawah dada, Steven bersandar pada dinding ruangan itu. "Tapi aku belum rela, Len—ka," dia menekan nama perempuan itu sampai suara gemeratuk giginya terdengar. "Aku harus menyiksamu setengah mati dulu."

***

Ig : @missloxodonta

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Miss Loxodonta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Sangat Tersiksa

Rasa dingin kini berkali-kali lipat menusuk kulit bahkan menembus tulang Lenka. Bibir perempuan itu bergetar hebat, gemeratuk giginya terdengar kuat—dia menggigil. Tak ada cara bagi Lenka untuk menghangatkan tubuhnya, bahkan untuk meringkukpun dia tidak bisa. Posisinya yang berdiri—terikat sambil mengenakan pakaian basah sangat menyiksa perempuan itu.

Air mata mulai membasahi wajah sendu Lenka, ingatan pada sang ibu membuatnya menangis tersedu-sedu. Kehidupannya benar-benar hampa semenjak wanita yang melahirkannya itu pergi untuk selamanya dan penderitaan yang Steven berikan untuknya melengkapi kekosongan jiwa perempuan itu. Lenka sudah kehilangan tujuan hidup—tepatnya, dia sudah kehilangan dirinya sendiri tepat dimana Steven mengurungnya di ruang bawah tanah.

Lenka tak bisa menghitung dengan jari, sudah berapa lama dia berdiri dan sudah berapa jam waktu yang ia habiskan disini. Tak ada cahaya matahari untuk menunjukkan pagi di dalam sana, tak ada terang bulan yang memberitahukan malam padanya.

Hanya sebuah lentera yang menjadi satu-satunya sinar untuk Lenka, bahkan cahaya dari lampu itu pun kini mulai meredup.

Jika tadi kulit Lenka masih bisa merasakan dingin, kali ini dia seperti mati rasa. Kakinya seakan tidak menginjak lantai, perih di lengannya akibat goresan tali pun tidak ia rasakan lagi. Tubuhnya terasa ringan—seperti melayang tanpa beban.

Mungkinkah sudah waktunya dia pergi?

“Ma, Pa. Aku merindukan kalian.” Lenka menunduk, maniknya terpejam. Perempuan itu sudah tidak kuat lagi.

***

Seorang wanita paruh baya berlari tergopoh-gopoh memasuki ruang kerja majikannya, tampak kekhawatiran di wajah rentanya.

“Tu—tuan, Nona—nona Lenka tidak sadarkan diri.” Ujar Samantha dengan nafas tersengal. Tanpa mengetuk pintu, dia menerobos masuk ke ruangan yang biasa dipakai Steven bekerja jika berkunjung ke villa.

Steven mengalihkan pandangan dari komputer yang ada di hadapannya, dia menatap intens Samantha.

“Sediakan pakaian gantinya dan pasang penghangat ruangan di kamar tamu.” Meninggalkan rapat online yang sedang berlangsung, Steven mengayunkan langkah menuju ruang bawah tanah.

-

-

Mengangkat dagu Lenka ke atas, perempuan itu tak bergeming bahkan ketika jemari Steven sedikit menekan wajahnya.

“Kau belum bisa mati tanpa seizinku.” Ucap Steven setengah berbisik ketika embusan nafas Lenka menyapu kulitnya, tangan pria itu kini sibuk melepas tali yang melilit tubuh perempuan itu. Setelah tali tersebut terlepas, dia membawa Lenka ke dalam gendongannya menuju kamar tamu.

Sesampainya di kamar tamu, dia membaringkan Lenka di atas ranjang. Disana sudah ada Samantha yang memegang pakaian ganti Lenka. Pakaian itu di dapat dari rumah Lenka beberapa hari yang lalu, dijemput oleh pengawal pribadi Steven.

“Bersihkan tubuhnya dengan air hangat dan ganti pakaiannya. Panggil aku jika bibi sudah selesai melakukannya.”

“Baik, Tuan.”

Steven berjalan keluar, dia berdiri di balik pintu kamar yang tertutup. Menunggu Samantha selesai membenahi Lenka.

Beberapa menit berlalu...

“Tuan, saya sudah selesai.” Ujar Samantha, dia membuka lebar daun pintu yang tertutup tadi.

“Siapkan bubur hangat dan antar kesini jika sudah matang.”

Steven kembali masuk ke dalam kamar tamu sedangkan Samantha pergi menuju dapur untuk memasak bubur yang diminta sang majikan.

Mengangkat sebuah sofa puff berbentuk bulat dari depan meja rias, Steven meletakkannya di sisi ranjang. Dia duduk di atas benda itu sambil menatap wajah Lenka yang pucat. Kulit bibir perempuan itu mengelupas bahkan terlihat garis merah bekas darah disana.

“Kupikir perempuan iblis sepertimu tidak akan bisa terbaring lemah seperti sekarang.” Steven tersenyum miring. Tidak ada rasa iba sedikitpun di hati pria itu melihat ketidakberdayaan Lenka.

“Dengar, nyawamu tidak akan bisa mengembalikan kebahagiaanku. Bahkan sampai ke ujung neraka sekalipun, aku akan tetap mengejarmu. Bagaimana menjalani hidup seperti mati, begitulah kau menghabiskan hari-harimu.” Tangan Steven terkepal kuat saat bayangan kekasihnya terlintas di benak pria itu.

“Shi*t!!!” Dia menyurai rambutnya dengan kasar. Amarah pria itu memuncak berkali-kali lipat pada Lenka ketika mengingat kematian Airen.

Suara dering ponsel dari saku celana Steven sedikit meredam rasa emosional pria itu. Mengangkat panggilan telepon dari sang asisten, tampak kerutan dalam di kening pria itu.

“Dia sudah kembali dari Moskow?! Dan dengan percaya dirinya si brengsek itu meminta kerjasama dengan perusahaan kita?! Tunggu, aku akan segera menemuimu sekarang.” Mengakhiri panggilan dari sang asisten, Steven segera beranjak dari tempatnya menuju dapur. Dia menemui Samantha yang masih sibuk memasak bubur untuk meninggalkan pesan pada wanita paruh baya itu.

“Beri dia makan jika sudah siuman dan segera minta pengawal untuk memindahkannya lagi ke ruang bawah tanah. Uhhm, tidak perlu mengikatnya. Tapi jangan lupa mengunci pintu ruangannya. Aku keluar sebentar dan mungkin akan kembali saat malam.” Ujar Steven sambil menarik ke atas resleting jaket kulit yang ia kenakan.

“Baik, Tuan.” Jawab Samantha mengerti.

Dengan langkah terburu-buru, Steven berjalan keluar dari dalam villa.

***

[Di sebuah kafe, di tengah Kota Hamburg]

Sebuah meja yang berada di pojok ujung dekat jendela, Steven dan Kendry duduk saling berhadapan. Mereka cukup jauh dari pelanggan lain, karena memang sengaja memilih tempat itu agar lebih nyaman berbincang.

“Tadi sekretaris Piero menghubungi saya, Tuan. Perusahaan mereka ingin ikut terlibat dalam pembangunan hotel di München, mereka bersedia membantu dana sebanyak 70 % tanpa jaminan apapun.” Kendry memulai percakapan terlebih dahulu.

“Cihh, permainan apalagi yang direncanakan si brengsek itu.” Pembangunan hotel milik Gershon group di München hampir setengah tahun ini mengalami kendala akibat tersangkut sengketa kepemilikan lahan, ada pihak lain juga yang mengakui bahwa tanah yang menjadi tempat hotel itu didirikan adalah kepunyaannya. Pembangunan tidak dapat diteruskan sampai masalah itu selesai.

“Dan sekretarisnya juga mengatakan, jika tuan menyetujui kerjasama ini, Piero ingin bertemu langsung dengan tuan.”

“Menarik—“ Steven mengusap dagunya, seperti menimbang-nimbang sesuatu. “Hubungi sekretarisnya dan katakan aku menyetujui kerjasama yang mereka minta.” Ujar Steven sambil menyeruput lemon tea melalui sedotan stainless di hadapannya.

***

Setelah pertemuannya dengan Kendry, Steven tidak langsung kembali ke Villa. Dia pulang ke mansion utama yang menjadi tempat tinggal dirinya dan sang kakak.

“Kau sudah selesai healing, uhm?” Meletakkan koran yang ia baca ke atas meja, Valir berdiri memeluk sang adik yang baru saja tiba.

Setelah pertemuan terakhir mereka di perusahaan Gershon group, Steven beralasan pada sang kakak. Dia mengabari Valir melalui via telepon bahwa dirinya akan pergi berlibur untuk melepaskan beban yang ia pikul.

“Tidak akan pernah selesai kak.” Jawab Steven.

“Belajarlah menerima keadaanmu, Stev. Kakak juga tidak mau kau terus-menerus larut dalam kesedihan.” Nasihat Valir pada sang adik.

Mereka mengurai tautan tubuh dan duduk di atas sofa ruang tamu.

“Akan kucoba kak. Aku kesini ingin menyampaikan sesuatu pada kakak,” wajah Steven berubah serius. “Piero Ackerley, pria itu meminta kerjasama dalam pembangunan hotel kita di München, kak.”

Manik Valir membola mendengar kalimat Steven barusan.

1
Ivonovi
thor lanjutin dong 🙏🙏
narrehSha
love in strugell gmn kak kok ga ada kelanjutannya
F.T Zira
sudah mampir thor..
salam kenal yaa...
kalo berkenan mampir juga di karyaku Silver Bullet
muna aprilia
lnjut
marrydianaa26
mampir thor, semangat updatenya🔥
mampir juga di karya aku ya😄
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!