NovelToon NovelToon
Memori Kelabu

Memori Kelabu

Status: sedang berlangsung
Genre:cintapertama / Cinta Murni
Popularitas:2.4k
Nilai: 5
Nama Author: Subber Ngawur

Kenangan mungkin tak selalu berisi manis. Rasa pahit akan selalu menyertai. Amira sadar jika dirinya adalah orang yang telah memberi warna kelabu pada masa lalu kehidupan Vian. Kini rasa sesal tak lagi berlaku, sebab Vian telah melupakan semuanya. Semua boleh hilang, semua boleh terlupakan. Yang Amira harapkan hanya satu, Tuhan memberikan kesempatan untuk memperbaiki apa yang pernah ia sia-siakan.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Subber Ngawur, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Keping ke-12

Mama nyaris berteriak memanggil nama Vian untuk kesekian kalinya jika tak segera ia lihat anak laki-lakinya itu sedang bergurau dengan seorang gadis kemeja polkadot di depan kulkas.

“Vian?” panggil Mama pelan.

Vian yang akhirnya mendengar suara Mama pun bergegas menutup pintu kulkas dan merapikan celemeknya. “Ma...?” Pelan Vian menoleh pada Amira. Gadis di sebelahnya itu ternyata juga sedang menolehnya. Dan buru-buru Vian menarik tangan Amira untuk lebih mendekat padanya.

“Anu... kami sedang membuat sesuatu untuk Mama.” Vian meremas tangan Amira.

Amira sadar betul, tangan Vian mendadak dingin dan gemetar. “Tante... selamat malam, saya membuatkan bisku—”

“Ah, kamu pacar Vian?” Tak disangka, ekspresi tenang Mama berubah sumringah. Wanita itu berjalan mantap ke tempat muda-mudi itu berdiri. “Manisnya...” Mama menyentuh lembut pipi kanan Amira. “Kalian belepotan tepung, manisnya...”

Mama melangkah ke meja makan, memang ada seloyang biskuit di sana. “Ini buatan kalian? Hmm, bau jahe. Manisnya...”

“Hee?” Vian dan Amira saling berpandangan. Heran. Sedari tadi Mama Vian terus mengucap ‘manisnya’ bagi mereka itu sesuatu yang sedikit menakutkan.

“Emm, enak!” pekik Mama, membuat Vian dan Amira terbelalak bersama.

“Sungguh?” tanya Vian. Ia geret Amira mendekat ke Mamanya.

Mama mengangguk mantap. “Udah lama Mama nggak makan biskuit jahe.” Mama tersenyum hangat pada Amira. “Pasti Vian yang ngasih tahu kamu tentang cemilan kesukaan Mama, ya?” Tiba-tiba Mama Vian mengelus kepala belakang Amira. “Terimakasih...”

Ingin Amira menjerit dan menangis sejadinya. Rupanya Mama Vian adalah seorang wanita yang ramah dan penyayang. Wanita yang mengelus lembut kepalanya saat ini, adalah wanita yang disakitinya dahulu kala. Wanita itu adalah Ibu dari pemuda yang dicintainya, dan mungkin suatu hari nanti mereka akan hidup bersama. Tapi... bagaimana bisa? Dengan kenyataan pahit masa lalu yang disebabkannya, mana mungkin bisa?

“Oh, iya... namamu siapa?”

Amira menelan ludah susah payah. Ia ulurkan tangan pada Mama Vian. “Nama saya Amira.” Kemudian ia cium hormat punggung tangan wanita berseragam batik itu.

“Amira... namamu secantik dirimu.”

Sungguh Amira tak kuasa menahan luluhan air matanya. Membuat panik Vian dan Mama.

“K‒kenapa?”

“Ahaha, tidak Tante... cuma sepertinya kelilipan...” tipu Amira. Ia tengadahkan wajah sambil mengedip-kedipkan mata supaya Mama dan anak itu lebih percaya.

“Sini, saya bantu...” Tanpa diduga, Vian mengapit kedua pipi Amira dengan telapak tangannya. Vian tarik pelan wajah Amira hingga mendekat pada wajahnya. Kemudian ia buka kelopak mata kiri Amira yang merah dan berair. Lalu meniupnya dengan sabar.

“Ah, kalian ini, bikin Mama malu aja.” Mama tertawa kecil, lantas beranjak keluar dapur.

Amira melepas tangan Vian. “Udah, ah. Bukan cuma Mama, tapi aku juga malu tahu...”

“Saya juga malu kok, jadi kita kompakan,” sahut Vian.

“Kompakan malunya? Dih, yang ada malu-maluin.” Amira terkekeh sambil mengucek mata. “Udah nggak apa-apa kok.” Tak dipungkiri, Amira bahagia sekali saat ini.

Tiba-tiba Mama melongokkan kepala ke dapur. “Vian, Mama keluar dulu sebentar. Beli gado-gado, jangan biarkan Amira pulang.” Mama mengedipkan sebelah mata.

“Yes, Mom!” jawab Vian mantap sembari menghormat pada Mama.

***

Amira membanting tas selempangnya ke kursi taksi. Galau melanda, Amira sengaja minta turun di dekat Alun-alun saat diantar pulang Vian naik motor tadi.

“Jalan Tirtamoyo, Pak...” ucapnya pada supir taksi.

Berkali-kali Amira menghela napas lelah. Apa yang dirasakannya begitu keluar rumah Vian sangatlah berbeda dengan saat ia masih di dalamnya. Di sana, tertawa bersama Vian dan Mamanya sungguh membuatnya bahagia. Tapi kini... di dalam taksi, rasa takut dan bersalah kembali mencekam diri. Ia berusaha mengusir semua bayang kelam masa lalu. Tapi apalah daya, semua kepahitan yang telah lalu tak ubahnya seperti minyak dalam lampu bersumbu. Terus dan terus membasahi sumbu hatinya hingga terbakar setiap kali disulut ‘api’ kebahagiaan seperti ini.

“Aargh!” teriak Amira tiba-tiba.

“Eh? Kenapa, Mbak?” tanya pak supir.

Amira tersenyum kikuk, “nggak Pak, hehe.” Dasar, bisa-bisanya ia terbawa emosi sampai tidak sadar dirinya sedang di dalam taksi. Amira merogoh tas dan mengeluarkan ponselnya.

Aku pecundang? Ya, benar! Tapi...

Mungkin memang ini takdirku. Aku tak perlu tenggelam lagi dalam kepedihan rasa bersalah atas perbuatan buruk yang kulakukan di masa lalu.

Mungkin aku harus menyimpannya sendiri? Tanpa harus ada niatan untuk kuungkap pada mereka berdua sebagai bukti penyesalan diri?

Begitu Amira menulis status di akun facebook-nya. Ia tersenyum lebar begitu memasukkan ponselnya ke dalam tas lagi. Amira merasa tidak adil jika ia terus merasa sakit karena rasa bersalah. Jadi ia putuskan untuk ‘melangkah’, meninggalkan jejak kelamnya masa lalu, dan mulai menyambut kisah hidup yang baru.

Mungkin benar bahwa ini termasuk pengaruh setan, tapi Amira sudah menegaskan diri untuk menyimpan rapat-rapat perkara yang dialaminya dengan keluarga Vian beberapa tahun lalu. Ya, Amira akan terus merahasiakannya dari pemuda amnesia itu. Demi bisa hidup bahagia dengan Vian, apapun akan berlaku.

Taksi berhenti di perempatan karena nyala lampu merah rambu jalan. Tanpa sengaja pandangannya menangkap sesosok perempuan yang dikenalnya di emperan sebuah depot.

“Pak, berhenti di sini.” Amira buru-buru mengambil dompet dan mengeluarkan sejumlah uang untuk kemudian ia sodorkan pada supir.

“Serius mau turun sini, Mbak?”

Amira mengangguk, dan segera turun taksi sebelum lampu rambu menyala hijau. Ia berlarian kecil di trotoar menuju depot yang tadi sempat diperhatikannya.

“Nova?!” teriak Amira segera.

Perempuan berbaju kantoran yang sedang makan di kursi depan depot mie ayam pun langsung mendongak dan celingak-celinguk. Tapi Amira keburu menepuk pundaknya dari belakang. Nova, teman sebangku Amira masa SMA. Pasti Amira tak salah melihatnya.

“Nova? Ini beneran kamu?” Amira terbelalak begitu duduk di hadapan perempuan rambut panjang itu.

“Iya... Kamu... Amira?” tanya perempuan yang membenarkan bernama Nova.

Amira mengangguk. Ia perhatikan penampilan temannya. Polesan make up di wajah Nova begitu mencolok, dengan hiasan softlens warna biru di matanya. Meski begitu, Nova memang cocok dengan gaya itu, karena pakaian ala kantorannya juga sepadan dengan riasan.

“Apa kabar, Amira?” tanya Nova. Nova yang pindah ke luar pulau setelah kelulusan sangat berbeda penampilan dengan sekarang. Dulu berkacamata tebal dan berkepang, tapi sekarang... ah, yang jelas suara seraknya masih sama.

“Aku baik. Kamu?”

Nova tersenyum ramah, tapi terlihat aneh di mata Amira. “Aku yang sekarang... jauh lebih baik daripada aku yang dulu. Kuharap kamu pun begitu...”

1
Anita Jenius
5 like mendarat buatmu thor. semangat ya.
Subber Ngawur: terima kasih 🥰
total 1 replies
Anita Jenius
Salam kenal kak
Subber Ngawur: halo, salam kenal
total 1 replies
Lucky ebj
ceritanya menarik,, bikin penasaran
Subber Ngawur: Terima kasih sudah mampir baca 🥰
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!