Banyak faktor yang membuat pasangan mencari kesenangan dengan mendua. Malini Lestari, wanita itu menjadi korban yang diduakan. Karena perselingkuhan itu, kepercayaan yang selama ini ditanamkan untuk sang suami, Hudda Prasetya, pudar seketika, meskipun sebelumnya tahu suaminya itu memiliki sifat yang baik, bertanggung jawab, dan menjadi satu-satunya pria yang paling diagungkan kesetiaannya.
Bukan karena cinta, Hudda berselingkuh karena terikat oleh sebuah insiden kecelakaan beberapa bulan lalu yang membuatnya terjalin hubungan bersama Yuna, sang istri temannya karena terpaksa. Interaksi itu membuatnya ingin coba-coba menjalin hubungan.
Bagaimana Malini menyikapi masalah perselingkuhan mereka?
***
Baca juga novel kedua saya yang berjudul Noda Dibalik Rupa.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Windersone, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ke Hotel Victoria
🌿🌿🌿
Hudda berjalan keluar dari kamar mandi dalam balutan handuk kimono, kakinya melangkah pelan menuju Malini yang sedang memainkan laptop di atas pangkuannya. Istrinya itu duduk dengan kaki memanjang ke depan dengan piyama merah terpasang di tubuhnya.
"Malam ini saatnya kita menghabiskan waktu bersama." Hudda menarik laptop itu dan meletakkannya ke atas meja.
"Pekerjaanku belum selesai, Mas. Besok aku akan masuk kerja. Malam ini aku atur jadwal untukku dan anak-anak juga. Besok akan ada pembantu yang akan mengurus mereka." Malini kembali mengambil laptop itu.
"Kamu yakin akan bekerja? Kita tidak kekurangan uang." Hudda ragu akan keputusan istrinya itu.
Malini hanya tersenyum dan menganggukkan kepala. Wanita itu memainkan keyboard laptop dan mengabaikan Hudda yang masih berdiri di sampingnya. Pria itu menarik kembali laptop tersebut dan menaruhnya di atas meja. Setelah itu, ia membaringkan tubuh istrinya dan bersikap memaksa, mengajak Malini berhubungan suami-istri.
"Mengapa aku merasa kamu menghindariku?" tanya Hudda dengan dahi mengkerut bingung.
"Mas … aku sudah bilang kalau aku ada pekerjaan. Nanti saja, aku sedang sibuk. Tengah malam saja, bagaimana?" Malini tersenyum menggoda untuk menyembunyikan emosi yang sempat muncul.
"Aku ada urusan. Jam sepuluh nanti aku bertemu teman lama di luar dan kemungkinan kembali dini hari," balas Hudda, mengingat permintaan Yuna hari ini.
Malini memberhentikan tangan mengetik di keyboard laptop, sejenak ia terdiam sambil mengingat pembicaraan Hudda dan Yuna hari ini yang didengarnya secara diam-diam. Hatinya kembali sesak, seperti tertimpa oleh benda yang begitu berat.
"Kalau begitu, kamu bisa pergi sekarang. Jangan terlalu larut kembali. Setelah itu, baru kita melakukannya." Malini menatapnya dengan senyuman lebar sampai kedua pipinya naik.
Hudda diam memikirkan Malini, ia merasa apa yang dikatakan istrinya bisa dijalankan. Hudda menganggukkan kepala dan tersenyum, tangannya mendarat di pundak Malini dan berjalan menuju lemari. Sesekali Malini memperhatikannya, mengamati Hudda yang sedang merapikan rambut sampai memakai parfum yang menyengat.
"Kalau begitu, aku pergi sekarang," pamit Hudda sambil mengambil jas di atas meja dan mengenakannya.
Hudda menghampirinya dan memberikan satu kecupan di dahinya. Lalu, pria itu keluar dari kamar. Malini pun bangkit dari kasur, ia mengambil jaket dan mengenakannya. Kembali, ia mengambil ponsel dan kunci mobil dari meja dan bergegas keluar dari rumah. Mobilnya keluar dari pekarangan rumah dan dikemudikan mengikuti mobil Hudda secara diam-diam.
"Bu Malini." Rangga berpapasan dengan Malini di jalan raya.
Rangga putar arah dan mengikuti mobil Malini setelah melihat mobil Hudda yang juga berpapasan dengannya. Ia merasa sesuatu terjadi, apalagi setelah melihat gelagat Malini yang sepertinya terburu-buru sampai tidak melihatnya. Sekarang mereka saling mengikutiku saru sama lain dalam ketidaksadaran.
Mobil Hudda masuk ke pekarangan hotel Victoria. Malini menginjak rem, memberhentikan mobilnya di tepi jalan. Rangga pun begitu.
"Bu Lini!" panggil Rangga sambil berlari menghampiri Malini yang hendak berjalan setelah keluar dari mobil.
"Rangga," lirihnya kaget.
"Mas Hudda akan menemui wanita itu di dalam. Mereka akan …." Malini menggantungkan perkataannya karena membayangkan suaminya dan Yuna bertindak tidak senonoh.
"Tenang. Kita lihat mereka. Ayo!" Rangga merangkul bahunya dan mengajaknya masuk ke hotel itu.
Rangga menghampiri resepsionis hotel dengan Malini berdiri di pojokan lobi hotel. Ia mencari tahu keberadaan Hudda dengan bertanya kepada resepsionis hotel itu. Malini memperhatikan mereka dari jauh, melihat komunikasi antara Rangga dan resepsionis hotel berjenis kelamin perempuan itu.
Setelah berbicara, Rangga menghampiri Malini.
"Mereka ada di kamar sepuluh," kata Rangga.
Malini bergegas memasuki lift yang berada di sampingnya. Kakinya tidak bisa berjalan pelan karena tidak bisa menahan kesabaran untuk melihat mencegat mereka. Namun, setelah sampai di depan kamar nomor sepuluh itu, pikirannya jadi buntu, ia tidak tahu bagaimana bertindak.
"Apa lagi? Masuk saja," kata Rangga, ikut tampak emosi.
"Tidak. Itu bukan adegan yang bagus untuk membongkar hubungan mereka." Malini tegak pinggang dan berjalan mondar-mandir sambil berpikir di depan pintu kamar hotel itu.
Mata Malini mendapati wujud Anisa yang baru keluar dari sebuah kamar yang berada di lantai yang sama. Sekretaris Hudda itu keluar bersama suaminya yang baru menikahinya enam bulan lalu. Melihatnya membuat Malini mendapatkan ide.
Malini berjalan cepat mencegatnya masuk ke lift.
"Bisa berbicara sebentar? Empat mata," kata Malini.
Anisa menoleh ke samping, menatap suaminya. Pria bertubuh lebih tinggi darinya itu tersenyum dan paham dengan tatapan sang istri. Pria itu berjalan masuk ke lift, meninggalkan Anisa bersama Malini. Barulah Rangga menghampiri mereka.
Malini meminta bantuan Anisa untuk terlibat dalam sandiwara yang dibuatnya nanti. Malini menceritakan semua plan yang sudah dibuatnya untuk memergoki Hudda dan Yuna di kamar itu.
Anisa sedikit ragu dengan rencana nya, tapi wanita itu tetap mencoba dan menyetujuinya.
"Rangga, kamu juga bisa ikut dalam rencana kami," kata Malini.
Pria itu menganggukan kepala dan tersenyum.
Sekitar lima menit kemudian, Malini memulai rencananya. Ia mengetuk pintu nomor sepuluh itu dalam balutan pakaian rapi dan tas menggantung di pundaknya. Pakaian yang digunakannya saat milik Anisa, kebetulan wanita itu menyimpan pakaiannya di kamar hotelnya.
Setelah beberapa kali mengetuk pintu, seseorang membuka pintu tersebut. Orang yang membukanya seorang pelayan hotel. Wujud wanita pelayan hotel itu membuat Malini sedikit bingung.
"Anisa …!" panggil Malini sambil menerobos masuk ke dalam kamar hotel itu.
Kamar tersebut malah kosong. Matanya menjelajahi setiap sisi kamar dan tidak melihat siapa pun di sana. Akan tetapi, indera pendengaran menangkap suara kran air yang hidup dari kamar mandi. Kakinya langsung menghampiri pintu kamar mandi dan menggenggam daun pintu.
"Jangan! Anda siapa?" Pelayan hotel itu menahan tangannya membuka pintu itu.
"Saya? Saya temannya," balas Malini, emosi.
Tangan Malini terlepas dari daun pintu setelah merasakan seseorang membukanya dari dalam.
"Sayang …!" Yuna keluar dari kamar mandi dalam balutan handuk kimono warna putih.
Wanita itu terdiam dengan mata terbelalak kaget melihat Malini berdiri di hadapannya. Lalu, matanya beralih mengarah ke pintu kamar melihat Hudda baru masuk dan ikut berdiri membeku melihat Malini di kamar itu.
Malini menoleh kiri dan kanan, memperhatikan mereka secara bergantian dengan ekspresi dingin. Lalu, ia berjalan mendekati Hudda, berdiri di hadapan suaminya yang berdiri dengan kepala tertunduk.
"Teman lama. Lanjutkan!" Malini menepis pundak Hudda dan kakinya lanjut berjalan keluar dari kamar itu.
Hudda mengikutinya, ia mencoba memberikan penjelasan kepadanya.
"Aku tidak memiliki hubungan apa pun bersama Yuna. Kami hanya teman biasa. Aku bertemu dengannya hanya karena pekerjaan. Aku …." Hudda menggantungkan perkataannya setelah masuk ke kamar hotel di mana ada Anisa dan Rangga sedang duduk di sofa bersama beberapa berkas-berkas kerja di atas meja.
"Aku tidak pernah bilang kamu dan dia memiliki hubungan. Bukankah kamu ingin bertemu temanmu? Pergilah! Aku juga ada pekerjaan." Malini berbicara dengan santai dan lanjut berjalan menghampiri kedua temannya sampai ikut duduk bersama mereka.
Hudda jadi bingung. Akankah dirinya kembali ke kamar Yuna atau berbicara bersama Malini, meskipun wanita itu bersikap santai seolah tidak ada kemarahan di wajahnya. Namun, ia masih merasa ada sikap aneh dari istrinya itu yang membuatnya keringat dingin dan tidak tenang.
"Pergilah! Jangan bilang kalau kamu benar memiliki hubungan dengannya?" Malini tersenyum dengan mengajak Anisa dan Rangga ikut tersenyum, seolah mereka sedang mengajak Hudda bercanda biasa.
Hudda tersenyum dan memutar tubuh membelakangi mereka dengan perasaan masih dilanda kebingungan. Apakah istrinya itu tahu dan marah atau istrinya tidak berpikir kalau dirinya sedang mendua. Kaki Hudda lanjut berjalan keluar dari kamar itu dengan langkah pelan menuju kamar Yuna.