"Apa kamu sudah menemukan informasi tentangnya, Jackson?"
"Sudah, Kak. Aku yakin dia adalah dady kita."
Dua bocah laki-laki berusia 7 tahun itu kini menatap ke arah layar komputer mereka bersama-sama. Mereka melihat foto seorang Pria dengan tatapan datar dan dingin. Namun, dia memiliki wajah yang sangat tampan rupawan.
"Jarret, Jackson apa yang kalian lakukan?" Tiba-tiba suara seseorang membuat kedua bocah itu tersentak kaget.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon emmarisma, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 12. Jarret & Jackson
Giani benar-benar tak kuasa menahan sakit yang menderanya. Dia bahkan sampai mencengkeram jas yang dipakai oleh pria penolongnya.
Sangking tak tahannya, Giani bahkan sampai tak mengenali siapa pria penolongnya itu. Padahal dulu Giani pernah bertemu dan sempat berbicara beberapa kali.
Giani terengah-engah. Pria itu menatap cemas. Namun, tidak lama kemudian sesuatu mengalir dari dan membasahi celana pria itu karena posisi Giani yang masih berada di pangkuannya.
"Ahh, ketubanku sepertinya pecah," ujar Giani lemah.
"Bertahanlah, aku mohon." Saat mendengar suara itu, Giani mengangkat kepalanya. Di tengah rasa sakitnya, Giani harus tahu siapa yang telah menolong dirinya.
Namun, saat mendongak Giani dibuat terkejut. Ia mengerjap beberapa kali untuk memastikan jika penglihatannya tak salah.
"Tu-tuan Benjamin?" lirih Giani. Ben menunduk dan tersenyum samar. Raut wajahnya terlihat jelas sedang diterjang kekhawatiran.
Mobil mulai memasuki Mansion mewah milik Ben yang ada di Sidney. Di sana rupanya juga memiliki ruangan khusus seperti rumah sakit pribadi dimana ada dokter dan juga perawat.
Ramos sudah memberitahukan pada Tim dokter untuk bersiap membantu tuannya. Ben meletakkan Giani di atas ranjang. Ia melepas jasnya dan menggantinya dengan jubah steril. Di tengah rasa sakitnya, Giani masih bisa mendengar Ben memerintah perawat untuk menyiapkan infus dan kantong darah untuk dirinya.
"Kenapa tuan Ben ada di sini? apa ini hanya kebetulan, tapi kenapa? dimana aku? Bagaimana dengan Albern, dia pasti cemas."
Rasa sakit yang lebih dasyat kembali menyerang Giani. Dia mencengkeram tepi ranjang dengan mata yang terpejam. Bibirnya yang seksi kini pucat dan mendesis.
Ben memasang alat di perut Giani untuk mendeteksi denyut jantung bayinya dan juga mendeteksi kontraksi yang dialami oleh Giani. Wanita yang tanpa sengaja membawa benihnya.
Mata Ben membelalak saat mendengar tak hanya satu suara denyut jantung.
"K-kau hamil anak kembar?" tanya Ben dengan nada tak percaya. Giani mengangguk lemah.
"Ya."
Ben segera menutup tirai dan membatasi tenaga medis yang membantunya. Hanya ada 1 dokter anak dan 3 perawat. Keempat tenaga medis itu semuanya perempuan.
Ben mamakai sarung tangan dan mulai mengecek pembukaan di area sensitif Giani.
"Bertahanlah, sebentar lagi pembukaannya sempurna." Giani hanya bisa meringis di situasi seperti ini. Diriny tak menyangka jika atasan papanya rupanya juga seorang obgyn. Dalam hati Giani merutuki kebetulan yang memalukan ini.
Setengah jam kemudian rasa sakit yang dirasa Giani semakin menjadi dan lebih intens. Punggungnya terasa sangat sakit, panas dan perutnya terasa seperti baju yang diremas dengan sangat kuat.
"Aargh, tolong. Aku benar-benar tidak tahan!" pekik Giani.
"Nyonya, tolong ikuti aba-aba dari tuan Ben."
Kedua perawat membantu menaikkan posisi ranjang Giani hingga posisi Giani setengah duduk. Celana yang dia pakai bahkan tak tahu ada dimana. Giani tidak sadar kapan Ben melepaskan celananya.
"Bersiaplah, rambut bayimu sudah terlihat. Tarik nafasmu dalam dan ... ayo sekarang mengejanlah."
Dengan meremas tepi ranjang, Giani mengejan sekuat tenaga. Dan tak perlu berlama-lama seorang bayi merah dan sangat tampan lahir tepat pukul 10 malam. Giani mencoba tetap tersadar meski tiba-tiba dia merasa begitu mengantuk.
"Nyonya, jangan tidur dulu, apa kau tidak mau melihat putramu yang tampan. Kau juga masih harus mengeluarkan bayimu yang satunya, lagi," ujar salah satu perawat yang melihat Giani memejamkan mata. Ben yang tadi masih terpaku pada bayinya seketika mengangkat pandangannya.
Kontraksi selanjutnya kembali mendera Giani. Dengan sisa tenaga dan aba-aba dari Ben, Giani berusaha untuk mengeluarkan bayi keduanya. Wanita itu tampak sudah sangat kepayahan. Ben segera berpindah mendekat ke arah Giani. Sedang dokter anak yang tadi mengambil alih tempat Ben.
"Ayo, kamu pasti bisa. Tarik napas sekali lagi dan dorong," ujar Ben. Posisinya kini sebelah tangannya merangkul bahu Giani. Sedangkan sebelah tangannya menggenggam tangan Giani. Giani kembali mengejan kali ini dia menggenggam tangan Ben dengan kuat.
"Selamat nyonya, Bayi kedua anda juga laki-laki."
Ben tak tahu, hatinya tiba-tiba disusupi perasaan hangat hingga membuat pelupuk matanya terasa begitu penuh. Dia menyaksikan sendiri bagaimana Giani berjuang keras untuk menghadirkan kedua putranya. Bahkan dia selama ini tak tahu jika Giani ternyata hamil karena perbuatannya. Dia pikir eksperimen gila yang dia lakukan waktu itu tak berakibat apa-apa pada Giani, tapi ternyata fakta baru terungkap di detik-detik terakhir.
Ben bersyukur bisa menyaksikan dan bahkan mengangani sendiri kelahiran kedua putranya. Keduanya terlihat sehat dan tampan.
"Apa aku boleh melihat bayiku?"
"Sebentar lagi, Nyonya."
"Panggil aku, Giani. Aku bukan wanita bersuami. Jangan memanggilku nyonya," kata Giani lirih.
Ben yang berdiri di samping Giani merasa tertohok dengan ucapan wanita itu.
"Oh, maafkan aku jika begitu, Nona."
"Tidak masalah. Aku hanya tidak mau terlihat tua dengan panggilan itu," kata Giani. Setelah mendapat dua jahitan di bagian perineum. Giani kini dipindahkan ke ruangan lain.
Saat berada di ruangan itu, Giani sama sekali tak melihat keberadaan Ben. Hanya dua suster yang menemani dirinya.
"Apa aku belum boleh melihat kedua putraku?"
"Tunggu sebentar, Nona." Dokter Rein sedang memeriksanya.
"Tapi apakah mereka baik-baik saja? ehm, karena mereka lahir di usia 34 minggu."
"Sejauh pemantauan, semuanya baik-baik saja. Tuan Ben sendiri yang memastikan, jika obat untuk mematangkan paru-paru kedua putra anda bekerja dengan baik dan sempurna."
Tak lama setelah itu, dua perawat datang dengan mendorong kedua bayi Giani. Ben berdiri di belakang kedua perawat itu, dia terlihat seakan memantau bayi-bayinya sendiri.
"Bagaimana kondisimu?" tanya Ben dengan suara beratnya.
"Masih lemas, tapi aku bahagia. Semuanya telah terbayar. Terima kasih, Tuan. Ini semua berkat anda," kata Giani
"Tidak perlu sungkan. Apa kau sudah menyiapkan nama untuk bayimu?"
Giani mengangguk dengan senyum yang menggembang di bibirnya. Namun, saat melihat wajah Ben yang terkesan sedih. Giani langsung berujar, "Apa anda ingin memberikan nama untuk mereka?"
"Aku ingin dengar dulu, nama yang kau pilih," kata Ben. Dia duduk di kursi sebelah ranjang Giani.
"Namanya Jack dan Jill."
"Nama yang bagus, tapi sebaiknya jangan dipakai. ganti yang lain saja."
"Ehm, bagaimana kalau Jarret dan Jackson."
"Itu terdengar lebih baik," kata Ben.
"Apa anda tidak jadi menyumbangkan nama?" tanya Giani. Ben tersenyum tipis.
"Bagaimana jika menyematkan nama Alexander di belakang nama mereka."
Giani mengerjapkan matanya berkali-kali. "Anda jangan bercanda, Tuan."
"Aku serius."
"Ehm, aku tidak seberani itu."
"Kenapa?"
"Aku tidak berani mengambil resiko dengan memberi nama belakang anda untuk mereka. kelak jika mereka dewasa aku khawatir mereka akan mengira jika anda adalah ayah mereka," kata Giani.
Ben menatap teduh ke arah wanita yang telah melahirkan dua keturunannya yang tampan itu. Dalam hatinya dia bergumam, "Aku memang ayahnya, Giani."