Maura Geraldin, wanita cantik yang berprofesi sebagai Dokter kandungan, akhirnya menerima lamaran dari sang kekasih yang baru di kenalnya selama 6 bulan, yaitu Panji Kristian anak terakhir dari keluarga Abraham yaitu pemilik perusahaan batu bara.
Namun tidak menyangka Panji, Laki-laki yang di cintai Maura ternyata mempunyai wanita lain di belakang Maura, padahal mereka berdua sudah bertunangan, akan kah Maura membatalkan pertunangannya, atau malah mempertahankan hubungan mereka.
Jika kalian penasaran simak terus yukk perjalanan mereka.. jangan kasih kendor.. Dan jangan lupa untuk like nya juga.
Happy Reading
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dwi cahya rahma R, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Part 12
Di dalam kamar Maura terus saja menangis, entah berapa banyak air mata yang sudah menetes membasahi bantalnya, dari sore hingga malam ia belum keluar kamar sama sekali, bahkan sang kakak dan sang ayah berkali-kali memanggilnya namun tetap saja tidak ada respon dari Maura. Maura tidak ingin berbicara atau bertemu dengan siapa pun, hatinya benar-benar hancur berkeping-keping mengetahui sang kekasih yang begitu sangat bejat menyakiti dirinya. Hati Maura begitu sangat terpukul, lantaran sang mama yang juga tega merebut calon tunangannya, bahkan mereka berdua sudah pergi ke hotel bersama.
Sedangkan di lantai bawah Panji baru saja sampai di kediaman Maura, Panji pun sudah bertemu dengan tuan Guntoro dan juga kak Dinda.
"Bagaimana om, apa Maura belum juga mau keluar dari kamarnya?." tanya Panji kepada calon mertuanya.
"Belum.. om jadi takut kalau Maura akan berbuat hal yang aneh-aneh di dalam kamar, om takut kalau Maura akan bunuh diri."
"Husss.. papa.. papa tidak boleh bilang seperti itu." Kak Dinda yang sedikit memukul tangan ayahnya.
"Sebenarnya ada apa dengan Maura, tadi pagi dia baik-baik saja, bahkan sempat mengirim pesan kalau dia akan kumpul dengan teman-temannya." om Guntoro yang begitu sangat panik dengan perubahan sifat Maura.
Panji yang mendengar ucapan tuan Guntoro hanya diam, sebenarnya Panji tahu, kenapa Maura bersikap seperti ini, ya karena itu ulah Panji dan juga nyonya Geraldine.
"Apa kalian ada masalah Ji? atau kamu membuat kesalahan apa gitu sama Maura, sampe-sampe Maura kaya gini, nggak biasanya lo Maura mengunci kamar, dan tidak mau bertemu dengan orang-orang di rumah ini." tanya kak Dinda kepada Panji.
Panji yang mendapat pertanyaan dari kak Dinda sedikit gugup. "Ah.. tidak kak, lagi pula hari ini aku dan Maura juga belum bertemu, karena aku sedang sibuk mengerjakan skripsi dan Maura juga bilang akan kumpul dengan teman-temannya." jawab Panji.
"Ada apa ya dengan anak itu, sampai-sampai dia pingsan di jalan, kata dokter dia tidak sakit, hanya kelelahan." sahut om Guntoro.
"Ya mungkin memang Maura sedang capek om, Kak Dinda, secara selama ini kan Maura tidak pernah libur, kalau begitu saya akan mencoba menemui Maura di kamarnya, siapa tau Maura mau ke luar." ucap Panji.
"Ya sudah sana kamu temui Maura, om sudah kewalahan hampir 10 kali ke atas namun dia juga tak kunjung keluar, hanya menangis saja dari tadi."
"Baik om." Panji yang sudah berjalan menuju ke kamar Maura.
Tuan Guntoro pun seketika langsung menjatuhkan tubuhnya di sofa, sambil memijat keningnya karena pusing.
"Apa papa baik-baik saja? Dinda ambilkan minum dulu ya pa."
"Tidak.. tidak usah.. ngomong-ngomong mama mu juga kemana? kenapa sudah malam begini belum pulang juga, sudah tahu anaknya lagi sakit, malah sibuk terus." gerutu tuan Guntoro.
"Katanya mama baru di jalan pa, macet jadi sampainya lama." jawab kak Dinda.
Panji sudah tiba di depan pintu kamar Maura, Panji pun mencoba mengetok pintu kamar tunangannya tersebut.
"Tok.. Tok.. Tok.. "
"Maura.. sayang.. aku ingin bicara sama kamu, tolong buka pintunya ya." ucap Panji sambil mendekatkan kepalanya ke pintu.
"Maura.. plis.. dengerin penjelasan aku dulu ya, aku bisa jelasin sama kamu." Panggil Panji lagi, namun lagi-lagi Maura tidak ada jawaban.
"Sayang.. aku jauh-jauh ke sini lo buat ketemu sama kamu, masa kamu gak mau sih ketemu sama aku, ayo dong keluar, papa sama kak Dinda khawatir sama kamu sayang." Panji yang terus mencoba merayu Maura, agar Maura keluar dari kamar.
Panji pun sudah mulai lelah, hampir 15 menit ia berdiri di depan kamar Maura, namun Maura tidak meresponnya, Panji yang juga tidak berhasil membujuk Maura pun memutuskan untuk kembali ke bawah.
Saat Panji turun ke bawah di sana ia melihat bahwa nyonya Geraldine sudah tiba di rumah, Panji yang tadinya sedikit tenang, kini entah kenapa menjadi takut, ia takut bahwa perselingkuhannya dengan nyonya Geraldine ketahuan oleh tuan Guntoro dan kak Dinda, apa lagi dengan orang tua Panji sendiri.
"Gimana nak Panji, apa Maura juga tidak mau keluar dari kamarnya?." tanya tuan Guntoro.
Panji pun menggeleng. "Maura tetap tidak mau keluar om, padahal saya sudah berkali-kali membujuknya."
"Sebenarnya ada apa sih pa dengan anak kita? bagaimana bisa dia berada di rumah sakit?." nyonya Geraldine yang berpura-pura tidak tahu.
"Entah lah.. papa. juga belum bertemu dengan Maura." jawab tuan Guntoro.
"Tidak biasanya lo Maura tidak mau bertemu dengan Panji, semarah-marahnya Maura ia pasti akan luluh jika Panji dagang ke rumah ini, tapi lihat Maura tetap saja tidak mau keluar dari kamarnya."
"Iya benar.. tidak biasanya Maura semurung ini." Tuan Guntoro yang juga ber sependapat dengan anak sulungnya.
"Kamu yakin Ji tidak membuat salah, awas kamu ya kalau ketahuan menyakiti Maura, aku pukul kepala mu pake kampak."
Panji yang mendapat ancaman dari kak Dinda seketika semakin menciut, begitu pun nyonya Geraldine, dia hanya diam tanpa berbicara apa-apa. Nyonya Geraldine pun memutuskan untuk masuk ke dalam kamarnya.
"Mama mau mandi dulu, setelah mandi mama yang akan mencoba berbicara dengan Maura, siapa tahu Maura mau keluar dan menceritakan masalahnya." ucap nyonya Geraldine sambil berjalan menuju ke kamarnya.
Hari semakin malam dan waktu sudah menunjukan pukul 9 malam, Panji pun segera berpamitan untuk pulang, karena besok dirinya masih ada tugas kuliah yang harus ia kerjakan.
"Om.. tante.. Panji pamit pulang dulu ya.. maaf tidak bisa lama-lama, karena Panji masih banyak tugas di rumah." ucap Panji yang sudah mencium punggung tangan tuan Guntoro dan nyonya Geraldine.
"Iya nak Panji, kamu hati-hati ya di jalan, jangan terlalu memikirkan Maura, fokus saja dengan skripsi mu, masalah Maura biar om yang atasi." ucap tuan Guntoro.
"Siap om, kalau begitu Panji permisi dulu."
"Ayo nak Panji, tante anterin ke depan, papa di sini aja, biar mama yang nganterin." ucap nyonya Geraldine.
Panji pun sudah berjalan keluar dari rumah, dengan nyonya Geraldine berjalan lebih dulu di depannya, sesampainya di mobil, nyonya Geraldine mencoba mendekat ke arah Panji. "Kamu hati-hati ya sayang di jalan, jangan ngebut-ngebut." ucap nyonya Geraldine sangat pelan sambil menengok kanan dan kiri takut ada orang yang melihat mereka berdua.
"Iya tan.. pasti, kalau begitu aku pamit dulu ya."
"Iya sayang.. love you." ucap nyonya Geraldine lagi.
"Love you too." Panji yang seketika mengecup kening nyonya Geraldine, lalu masuk ke dalam mobil begitu saja.
Di atas jendela kamarnya Maura terus menatap ke arah Panji dan juga mamanya, Maura kembali di lihat kan Panji sedang bercumbu dengan mamanya, bahkan Maura melihat Panji mengecup kening nyonya Geraldine dengan sangat lembut. Maura yang melihat adegan barusan kembali menitihkan air mata, Maura berfikir bahkan di situasi seperti ini mereka berdua masih sempat-sempatnya bercumbu seperti tidak ada salah sedikit pun.