Aku wanita yang menjunjung tinggi kesetiaan dan pengabdian pada seorang suami.
3 tahun mengarungi bahtera rumah tangga, aku merasa menjadi wanita paling bahagia karena di karuniai suami yang sempurna. Mas Dirga, dengan segala kelembutan dan perhatian yang selalu tercurahkan untukku, aku bisa merasakan betapa suamiku begitu mencintaiku meski sampai detik ini aku belum di beri kepercayaan untuk mengandung anaknya.
Namun pada suatu ketika, keharmonisan dalam rumah tangga kami perlahan sirna.
Mas Dirga diam-diam mencari kebahagiaan di tempat lain, dan kekecewaan membuatku tak lagi memperdulikan soal kesetiaan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Clarissa icha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 12
Lebih dari 10 menit aku berdiri dibalik pintu rumah setelah terakhir kali mendengar suara deru mobil Mbak Karina menjauh. Aku kembali keluar rumah untuk melanjutkan pekerjaanku. Ku ambil sapu yang tadi aku tinggal begitu saja di teras, lalu melanjutkan menyapu tanpa menoleh ke samping rumah. Entah ada Mas Agam atau tidak, aku memilih pura-pura tidak tau dengan situasi sebelumnya.
Ternyata drama rumah tangga memang ada. Meski saat tinggal di rumah lama sudah sering mendengarkan permasalahan keluar ibu-ibu di sana, tapi baru kali ini aku mendengar secara langsung pertengkaran antara suami istri.
Di tambah keduanya sama-sama tak mau meredam amarah. Saling bicara dengan nada tinggi dan membentak. Seolah-olah tidak bisa lagi di. bicarakan dengan kepala dingin.
Tapi aku bisa memahami kenapa Mas Agam bicara dengan nada tinggi, sebagai suami yang harus di tinggal terus menerus oleh istrinya, wajar jika kecewa dan marah. Apalagi Mbak Karina tidak mau mendengarkan perkataan Mas Agam.
Suara dering ponsel terdengar dari rumah sebelah. Aku reflek menoleh, rupanya ada Mas Agam yang duduk di teras dan saat ini sedang menerima telfon dengan tatapan mata yang beradu denganku. Ku lempar senyum tipis dan anggukkan kepala sebelum mengalihkan pandangan. Tapi noda merah di tangan kiri Mas Agam malah menarik perhatianku.
Darah.? Aku yakin itu darah yang tampak menetes di lantai teras yang berwarna putih.
Namun Mas Agam tampak santai saja dengan tangan kanan yang memegang ponsel.
"Tenang saja, akan aku selesaikan besok pagi."
"Kamu kirimkan saja berkas-berkasnya." Mas Agam mulai serius berbicara di telfon. Sedangkan aku terus menatap tangan kirinya yang menjutai di samping kursi dengan darah yang menetes.
"Bia.? Kenapa.?"
Aku tersentak saat Mas Agam menegur ku. Entah sejak kapan panggilan telfonnya terputus, yang jelas saat ini Mas Agam tidak lagi menelfon dan sedang menatap lekat ke arahku.
"Tangan Mas berdarah." Mataku seraya mengarahkan jari telunjuk ke tangan kanan Mas Agam.
Pria itu menatap tangannya dengan tatapan datar. Luka di tangannya seolah-olah tak berpengaruh apa-apa.
"Cuma luka kecil, aku lupa menyeka darahnya." Tuturnya kemudian beranjak dari kursi dan mendekati keran. Mas Agam mengguyur tangannya dengan air. Aku justru ngilu melihatnya. Sepertinya lukanya tidak kecil karna masih mengeluarkan darah.
"Kayaknya harus di obatin Mas, darahnya masih keluar. Bisa-bisa infeksi kalau di biarin."
"Sebentar Bia ambilkan betadine sama perban dulu." Aku langsung masuk ke dalam rumah untuk mengambil kotak p3k.
Saat aku kembali, Mas Agam sudah duduk lagi kursi. Aku menyodorkan kotak p3k padanya.
"Ini Mas. Bisa pasang perban sendiri kan.?"
"Kayaknya lukanya panjang." Aku bicara sambil memperhatikan luka di tangan kiri Mas Agam yang entah karena apa. Tapi yang jelas terkena benda tajam, entah pisau atau mungkin pecahan kaca.
"Iya bisa. Makasih ya." Mas Agam membuka kotak dan mengambil betadine.
Meski tidak berniat untuk membantunya mengobati luka karena takut di salah artikan oleh Mas Agam, tapi aku tetap berdiri di sana untuk menunggu sampai Mas Agam selesai mengobati lukanya.
"Susah yah.? Sini aku bantu guntingin." Aku mengambil perban dan gunting dari tangan Mas Agam karna dia tampak kesulitan memotong gulungan perban.
Aku yang tadinya enggan membantu Mas Agam, justru sampai memasangkan perban hingga selesai. Semoga saja hal ini tidak membuat Mas Agam salah paham. Aku hanya ingin membantunya mengobati tangannya karna kasihan, bukan karna hal lain.
Siapapun pasti akan melakukan hal yang sama jika ada di posisiku. Tidak mungkin membiarkan orang lain kesulitan di depan mata, kecuali orang yang tidak punya hati.
"Udah selesai Mas. Sebaiknya jangan kena air dulu ya sampai besok." Kataku sembari memasukkan perban, plester dan gunting ke dalam kotak p3k.
"Hemm,," Hanya terdengar suara deheman yang berat dari bibir Mas Agam. Aku kemudian bergegas untuk pergi tanpa menatapnya, bahkan sejak aku membantunya memasang perban di tangan Mas Agam. Karna aku harus menghindari kontak mata, bagaimana pun itu tidak baik untuk kami yang sama-sama sudah memiliki pasangan.
"Tunggu Bia,," Aku tersentak. Ku tatap tangan Mas Agam yang menahan pergelangan tanganku. Sontak aku buru-buru menariknya dan menatap Mas Agam. Pria itu tampak salah tingkah mungkin karna melihat reaksiku yang kaget.
"Maaf,, aku reflek." Ucapnya.
Aku mengangguk kecil dan menganggap Mas Agam memang reflek memegang tanganku tanpa bermaksud apapun.
"Makasih,," Suara deep Mas Agam membuatku terpaku menatapnya. Untuk sesaat kami saling beradu pandang, tapi kemudian aku menyadarkan diri dan bergegas masuk ke dalam rumah.
"Apa yang aku lakukan pada Mas Agam berlebihan.?" Aku bertanya pada diri sendiri. Aku hanya tidak ingin Mas Agam berfikir macam-macam, apalagi rumah tangganya dengan Mbak Karina sedang tidak baik-baik saja.
"Semoga aja Mas Agam mengerti kalau aku cuma ingin membatunya,"
...*****...
Aku memarkirkan mobil dekat kantor Mas Dirga. Sudah 20 menit aku berada di dalam mobil. 10 menit lagi waktunya jam pulang. Aku penasaran, apa benar Mas Dirga lembur di kantor, atau justru dia akan keluar dan lembur di tempat lain.
Jantungku seketika bergemuruh saat dari kejauhan melihat satu persatu kendaraan keluar dari kantor. Aku menajamkan penglihatan, jangan sampai tidak melihat saat mobil Mas Dirga keluar dari kantor.
Aku memperhatikan dari kejauhan sampai tidak ada lagi kendaraan yang keluar. Dan sampai detik ini aku belum melihat mobil Mas Dirga keluar.
"Tolong tunggu sebentar lagi ya Pak." Pintaku pada supir taksi. Sejujurnya aku merasa tidak enak padanya, walaupun aku membayarnya berkali-kali lipat agar dia mau berhenti disini selama 1 jam.
"Iya neng nggak papa, santai saja." Jawabnya ramah. Aku rasa dia tau apa yang sedang aku lakukan, tapi dia tak banyak bertanya.
Sudah hampir 1 jam menunggu, akhirnya aku memutuskan untuk menelfon Mas Dirga. Aku akan pura-pura meminta ijin padanya untuk keluar rumah.
Panggilan telfonku langsung di angkat oleh Mas Dirga. Saat itu juga aku mendengar suara bising laki-laki dan perempuan yang sekilas membahas pekerjaan.
"Ya hallo Dek. Ada apa.? Kamu baik-baik aja kan.?" Suara lembut Mas Dirga penuh perhatian.
Ternyata Mas Dirga tidak bohong padaku, dia benar-benar lembur. Aku salah karna sudah menuduhnya yang tidak-tidak.
"Eh,, itu Mas, aku mau beli sesuatu." Aku berusaha bicara tenang agar Mas Dirga tak menaruh curiga.
"Kamu mau keluar.? Mau Mas isiin saldonya.?" Tangannya.
"Nggak usah Mas, saldo yang kemaren masih ada."
"Aku cuma mau bilang aja sama Mas." Seketika aku merasa tidak enak pada Mas Dirga.
"Ya sudah, hati-hati di jalan ya Dek. Mas usahain jam 8 sudah pulang."
Aku mengiyakan, kemudian mematikan sambungan telfonnya.
sesuai judul selimut tetangga...
kalo security yang datang kerumah Bianca... judulnya pasti rubah jadi selimut security /Smile/
klo bia membalas selingkuh dngn agam sama aja 11 12 dong