Drabia tidak pernah di sentuh suaminya selama menikah. Karena sebelumnya Ansel mendengar gosib tentang dirinya yang pernah tidur dengan pria lain sebelum menikah.
Di saat Ansel akan menceraikannya, Drabia pun meminta satu hal pada Ansel sebagai syarat perceraian. Dan setelah itu jatuhlah talak Ansel.
Apakah yang di minta Drabia?, akan kah Ansel memenuhi permintaan Drabia?.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Icha cute, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
12. Sidang
Drabia mendatangi rumah mertuanya, meminta penjelasan atas hubungan Ansel dan Hafshah. Bukankah awalnya Ibu mertuanya itu menerimanya, tapi kenapa mengijinkan Ansel menikah lagi?.
Drabia yang baru memarkirkan kenderaannya di halaman rumah Ibu Nimas, langsung keluar dari dalam mobil berjalan masuk ke dalam rumah.
Salam yang di ucapkan Drabia sebelum masuk langsung di balas seorang pembantu dari dalam.
"Bi, Mama mana?" tanya Drabia pada pembantu yang membukakan pintu untuknya itu.
"Di kamar Non" jawab pembantu itu.
Drabia pun langsung melangkahkan kakinya ke arah pintu kamar mertuanya tanpa ragu mengetok pintunya.
"Siapa?" sahut dari dalam.
"Drabia Ma!"
Tidak lama kemudian pintu itu terbuka dari dalam. Ibu Nimas keluar dari kamarnya. Ibu Nimas menarik napasnya melihat Drabia menatapnya menuntut.
"Mama tidak bisa melakukan apa apa selain merestuinya" ucap Ibu Nimas melangkahkan kakinya ke arah sofa ruang tamu.
"Aku pikir Mama benar benar meneriaku" balas Drabia mengikuti langkah mertuanya dari belakang.
"Aku menerimamu sebagai menantu. Tapi Ansel tidak bisa menerimamu sebagai istrinya. Apa yang harus Mama lakukan, Mama tidak bisa memaksa hatinya untuk mencintaimu" jelas Ibu Nimas sembari mendudukkan tubuhnya.
Air mata Drabia menetes tak terbendung. Dari cara bicara Ibu mertuanya, Drabia bisa menilai kalau Ibu mertuanya tidak menerimanya. Hanya saja tidak bisa menolak permintaan Ayahnya yang sudah banyak berjasa di perusahaan mereka.
"Aku pikir selama ini Mama menyayangiku" lirih Drabia.
Setelah Ibunya meninggal, selama ini Drabia selalu menganggap Ibu Nimas pengganti Ibunya. Mengingat Ibu Nimas adalah sahabat kedua orang tuanya.
"Drabia, seharusnya kamu menanggung resikomu yang tidak bisa menjaga diri. Bukan malah mencari celah kesalahan Mama dan Ansel. Seolah olah kami tidak punya hati. Kami menyayangimu Drabia, Ansel juga. Tapi menerimamu menjadi istri, bukan hal yang mudah bagi Ansel."
Drabia terdiam dan hanya bisa menangis.
"Kalau kamu mencintai Ansel dari dulu. Seharusnya kamu dengarkan Mama yang melarangmu pergi ke Club malam, bukan malah kecanduan" omel Ibu Nimas.
"Maafkan Mama Drabia. Ansel anak Mama satu satunya. Kebahagiaan Mama ada padanya. Sekarang Mama minta, biarkan Ansel menikahi Hafshah" mohon Ibu Nimas menyentuh tangan Drabia yang berdiri di sampingnya.
Drabia menggeleng gelengkan kepalanya," Gak Ma, aku gak mau cerai dari Ansel. Aku gak akan membiarkannya menikah lagi."
Drabia pun menghapus air matanya, dan langsung berpamitan pulang. Drabia menangis sambil menyetir, semakin dia berusaha mendapatkan Ansel, Ansel semakin sulit untuk di jangkaunya. Apakah Drabia akan menyerah?.
Sampai di rumah, langkah Drabia terhenti mendengar suara Bi Nina memanggilnya. Drabia membalik badannya ke arah wanita paruh baya itu.
"Ada ada Bi?"
"Ini Non!" Bi Nina memberikan sebuah amplop berwarna putih kepada Drabia. Drabia membuka amplop itu, di dalamnya tertulis surat undangan dari pengadilan Agama. Ansel ingin menceraikannya karena tidak bisa menerima Drabia yang sudah tidak suci lagi sebelum mereka menikah.
"Sabar ya Non" ucap Bi Nina kasihan melihat majikannya itu.Drabia tidak menjawab, ia hanya mengangguk dengan air mata mengalir di pipinya.
"Aku ke kamar ya Bi" pamit Drabia melangkahkan kakinya masuk ke dalam kamar yang di tempatinya.
Tiga hari berlalu, semenjak surat panggilan pengadilan itu sampai di tangannya. Ansel tidak pernah pulang ke rumah. Dan hari ini adalah sidang pertama mereka. Drabia menghadiri sidang itu di temani sahabatnya Lea.
Di pengadilan Ansel tidak hadir, dia menyuruh pengacara untuk mewakilinya. Di dalam sidang, Drabia tidak menerima alasan Ansel menceraikannya. Sehingga hasil sidang pun belum bisa di putuskan.
Keluar dari ruang sidang, Lea yang menunggu dari tadi langsung memeluknya.
"Bagaimana?" tanya Lea.
"Menunggu sidang berikutnya" jawab Drabia menghela napasnya kasar.
"Yang sabar saja, suatu hari nanti, pasti ada hari yang baik untukmu. Apa pun keputusan akhirnya, yakinlah itu yang terbaik. Jangan pikirkan siapa yang akan menang dan yang kalah" ucap Lea, Drabia menganggukkan kepalanya.
Meninggalkan kantor pengadilan, Lea pun mengajak Drabia mencari hiburan di sebuah mall. Seperti hoby kebayakan wanita pada umumnya, apa lagi kalau bukan berbelanja, cari makanan dan ke salon.
Saat menikmati makanan di sebuah restoran, tak sengaja Lea melihat Ansel masuk ke sebuah butik bersama dua wanita berhijab. Lea mengenal wanita paruh baya itu adalah Ibu Nimas. Dan di sebelahnya, Lea tidak mengenal wanita cantik itu. Lea pun memilih tidak memberitahu Drabia yang menikmati makanannya dengan lahap. Lebih baik seperti itu, pikir Lea. Tak ingin Drabia sakit hati lagi.
"Drabia, aku ke teoilet dulu" pamit Lea langsung berdiri dari kursinya. Keluar dari dalam restoran, Lea tidak pergi ke toilet melainkan ke butik yang di masuki Ansel bersama Mama dan calon istrinya.
"Selamat siang Mbak! ada yang bisa di bantu?" tanya karyawan butik itu ramah.
"Mau lihat lihat dulu Mbak" balas Lea tersenyum ramah sembari memperhatikan sebuah gaun busana muslim yang terpasang di patung manekin.
"Silahkan Mbak!" ucap karyawan butik itu meninggalkan Lea, karena harus melayani pengunjung lain.
Sedikit demi sedikit Lea menggeser kakinya mendekati Ansel yang duduk di sebuah sofa di butik itu. Lea mendudukkan tubuhnya di samping Ansel, membuat Ansel yang sibuk dengan ponselnya kaget.
"Kamu mengundang Drabia ke pengadilan, tapi kamu sendiri gak datang" ucap Lea melihat wajah Ansel yang menatapnya tak suka.
"Apa urusanmu?" cetus Ansel
Lea malah menyunggingkan senyumnya." Bagaimana jika calon istrimu itu, juga tidak suci lagi?. Apa kamu akan menceraikannya?."
"Bisa saja calon istrimu itu masa lalunya lebih kelam dari pada Drabia" tambah Lea lagi.
"Jaga bicaramu!" geram Ansel mengeraskan rahangnya.
Lea mengedikkan bahunya tanpa takut melihat tatapan tajam Ansel.
"Kamu dan Ibumu kesingnya aja yang alim ya. Tidak sesuai dengan isi hati kalian" lanjut Lea lagi. Membuat Ansel ingin memarahi wanita di sampingnya.
"Kasihan wanita itu, mendapat calon suami sepertimu." Lea berdiri dari samping Ansel." Menurutmu, mungkin Drabia tidak pantas untukmu, sekuat apa pun dia memantaskan diri. Tapi aku rasa, kamu tidak pantas untuk wanita itu, sekuat apa pun kamu memantaskan diri" ucap Lea lagi langsung berlalu dari hadapan Ansel.
Ansel terdiam, memikirkan perkataan Lea. Tiba tiba Ansel merasa kawatir, takut Hafshah mengetahui statusnya yang sebenarnya.
'Aku harus cepat cepat membereskan perceraianku dengan Drabia' batin Ansel. kawatir Hafshah atau keluarganya mengetahui kalau Ansel masih berstatus suami.
"Ansel!"
Mendengar suara Ibu Nimas memanggilnya. Ansel langsung tersadar dari lamunannya, dan langsung menoleh ke arah wanita yang berdiri di samping Ibunya.Hafshah terlihat sangat cantik dengan gaun busana muslim yang di kenakannya.
"Bagaimana menurutmu?" tanya Ibu Nimas mengulas senyumnya.
Hafshah yang di perhatikan Ansel, pun tersenyum malu malu.
"Masya Allah!" puji Ansel. Senyum Hafshah pun semakin mengembang.
*Bersambung