Putri Kirana
Terbiasa hidup dalam kesederhanaan dan menjadi tulang punggung keluarga, membuatnya menjadi sosok gadis yang mandiri dan dewasa. Tak ada waktu untuk cinta. Ia harus fokus membantu ibu. Ada tiga adiknya yang masih sekolah dan butuh perhatiannya.
"Put, aku gak bisa menunggumu tanpa kepastian." Satu persatu pria yang menyukainya menyerah karena Puput tidak jua membuka hati. Hingga hadirnya sosok pria yang perlahan merubah hari dan suasana hati. Kesal, benci, sebal, dan entah rasa apa lagi yang hinggap.
Rama Adyatama
Ia gamang untuk melanjutkan hubungan ke jenjang pernikahan mengingat sikap tunangannya yang manja dan childish. Sangat jauh dari kriteria calon istri yang didambakannya. Menjadi mantap untuk mengakhiri hubungan usai bertemu gadis cuek yang membuat hati dan pikirannya terpaut. Dan ia akan berjuang untuk menyentuh hati gadis itu.
Kala Cinta Menggoda
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Me Nia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
12. Fakta Mengejutkan
"Wahhh ada pesta apa?!" Aul yang baru datang membelalakkan mata menyaksikan anggota keluarga sedang bersantai di karpet dengan buah-buahan dan makanan tersaji di tengah. Selepas makan ia disuruh Ibu mengantarkan makanan untuk Uwa (Kakak dari Ibunya) yang sedang sakit.
"Teh Aul ke rumah Uwa lama banget. Jadi gak ketemu pacarnya Teh Puput." Ami berkomentar sambil mengunyah donat madu topping coklat. Ia paling antusias ingin unboxing lebih dulu isi dari goodie bag, setelah tamu pergi. Ternyata salah satu box berisi donat kesukaannya dengan aneka topping. Membuatnya bersorak girang dan lebih dulu memakannya.
"Idih...pacar apa?! Anak kecil diem!" sahut Puput yang sedang menonton televisi sambil rebahan, mendelik ke arah adik bungsunya itu.
"Teh Puput abis dilamar. Ini lihat hantarannya!" Zaky turut mengompori. Mengangkat seuntay anggur merah yang besar-besar kualitas premium. Buru-buru beranjak ke belakang Ibu untuk berlindung dari serangan kakaknya yang bakal marah.
"Kamu juga sontoloyo!" Puput bangun. Bersiap menjitak kepala adik laki-lakinya itu. Sayangnya, Zaky berlindung di belakang punggung Ibu. Dan begitu akan didekati malah beralih ke belakang Aul sambil tertawa-tawa. Ibu hanya geleng-geleng kepala melihat kelakuan becanda kedua anaknya. Disatu sisi merasa bersyukur, anak-anaknya rukun.
"Ihh...aku terlewat kabar apa, Teh? Kepo deh." Pertanyaan Aul menghentikan aksi kejar-kejaran Puput dan Zaky. Ia memetik satu anggur sambil menunggu sang kakak bercerita.
"Au ah. Tanya Ibu aja." Entahlah, digoda oleh Ami dan Zaky soal tamu tadi mendadak bete melanda hati. Padahal biasanya ada tamu laki-laki yang datang ke rumah dan lalu digoda adik-adiknya, ia cuek-cuek saja. Tidak ambil pusing.
Ibu menceritakan semuanya. Aul mendengarkan sambil beralih mengambil satu red velvet kemasan cup yang berjumlah empat. Si bungsu malah sudah mengambil donat kedua dengan toping bluberry.
"Ingat Aul, Zaky, Ami, skill yang kalian punya selain untuk perlindungan diri, juga harus bisa untuk menolong orang lain yang teraniaya. Kita harus jadi manusia yang bisa memberi manfaat. Dan jangan pamrih." Ibu mengakhiri cerita dengan sebuah nasihat.
Puput dan ketiga adiknya terdiam. Khusyu mendengarkan nasehat lembut Ibunya dan menjawab dengan anggukkan.
Melihat adik-adiknya semangat menikmati buah tangan dari sang tamu, mendadak ingatannya melayang pada almarhum sang ayah. Bekerja di perusahaan Jepang di wilayah Bekasi, pulang sebulan sekali. Pasti saja setiap pulang akan membawa seluruh keluarga makan-makan di luar, lalu belanja buah-buahan dan kue sesuai kesukaan setiap anak.
Meski bukan keluarga kaya, tapi kebutuhan hidup sekeluarga selalu tercukupi. Keinginan membeli barang yang disukai empat orang anak selalu terpenuhi. Barang yang dibeli sesuai kemampuan finansial tentunya. Ayah tidak pernah mengeluh dengan permintaan anak-anaknya. Dengan satu syarat, Jaga Shalat!
Ah, jadi kangen Ayah.
Puput mengulas senyum simpul menatap ketiga adiknya yang saling becanda dan tertawa berebut pisang cavendish. Mendadak suasana hatinya syahdu mengingat kebersamaan lengkap seperti dulu, saat ada Ayah. Ia yang digembleng langsung oleh Ayah berlatih silat sejak umur lima tahun. Dimana beliau dulunya merupakan mantan atlet dan pelatih . Ayah seolah telah menyiapkan masa depan untuk Puput. Dimana ia dipersiapkan menjadi wanita tangguh bermental baja. Memikul tanggungjawab mengayomi keluarga.
...***...
Pagi menjelang.
Rumah Enin lebih ramai karena kedatangan anak dan menantunya, ditambah calonnya Rama. Semua sudah duduk di meja makan bersiap sarapan. Belum dimulai karena Enin menunggu pepes ikan yang sedang dipanaskan oleh asisten rumah tangganya.
"Kejadian yang menimpa Cia sangat tidak diharapkan." Enin menyapukan pandangan pada seluruh orang yang duduk melingkari meja makan bulat. "Tapi ada hikmah dari kejadian ini. Kalian bisa datang menemui ibumu yang sudah tua ini. Tidak setahun sekali pas lebaran." Sambungnya fokus menatap Krisna dan Ratna.
"Ibu---- Maafkan aku." Ratna menatap sang ibu penuh rasa bersalah. Yang lainnya tidak ada yang bersuara, diam mengatupkan mulut. Aura wibawa Enin saat bicara serius membuat siapapun tidak berani berbicara.
"Kamu gak salah, Ratna. Karena kamu harus nurut sama suami." Sindir Enin sambil menatap tajam sang menantu. Yang ditatap nampak menelan saliva dan menundukkan wajah menatap piring yang masih kosong.
"Maafkan aku, Bu. Pekerjaan di kantor selalu numpuk. Kadang aku harus keluar kota juga." Krisna berusaha memberi alasan logis pada sang mertua.
"Selama masih bisa menghirup udara, kesibukan tidak akan pernah habis. Justru umur kita yang akan habis. Jadi itu hanya alasan klise."
Suasana pagi di meja makan hening. Ucapan Enin menohok hati semua orang.
"Insyaa Allah, Bu. Mulai sekarang kami akan lebih sering menengok Ibu." Krisna berjanji dengan yakin sambil menoleh terhadap Ratna, istrinya. Yang ditatap nampak berwajah semringah.
"Ah, pepes sudah datang. Jadi lapar.....ayo mulai makan ah!" Bibi Ratih memecah kekakuan dan ketegangan yang tercipta dengan memekik riang begitu pepes ikan nila buatan Ibu Sekar disajikan di meja. Menu lain sudah lebih dulu tersaji. Tidak lupa lalab dan sambal wajib ada.
"Zara, makan sama pepes enaknya pakai tangan langsung. Jangan pakai sendok!" Mami Ratna memberi saran melihat Zara kesusahan memisahkan duri ikan dengan sendok garpu.
"Aku gak biasa makan pakai tangan langsung, tante." Zara meringis malu.
Rama tidak bereaksi apa-apa. Fokus menunduk menekuri piringnya. Capcay plus daging ikan nila yang tebal dengan rasa pepes yang maknyus terlalu sayang untuk dilewatkan. Reaksi Enin hanya mendongak sesaat sambil membeliakkan mata.
"Enak sekali pepesnya. Ini Cicih yang buat?!" Ratna bertanya pada Ratih, adiknya. Merasa baru menikmati pepes seenak itu.
"Bukan. Ini buatan ibunya Puput. Sehari-harinya jualan lauk pauk," sahut Ratih yang semalam sudah menceritakan kronologis kejadian yang menimpa Cia.
"Dek, nanti kalau teteh mau pulang pesenin ya buat dibawa ke Jakarta." Pinta Ratna. Yang dibalas anggukkan oleh Ratih.
"Nanti aku yang ambil ke rumahnya, Mam." Cia mengacungkan tangan. Merasa senang ada kesempatan bakal bertemu Puput lagi.
"Nanti Kakak yang anter!" sahut Rama kalem.
.
.
"Kenapa belum siap?!" Damar mengerutkan kening, heran. Rama masih pakai kaos dan malah duduk santai di kursi teras sambil merokok. Sementara ia sudah rapih memakai kemeja berpadu celana jeans biru. Bersiap untuk ke kantor RPA.
Rama menolehkan kepala ke kiri dan kanan. Untuk memastikan tidak ada orang yang mendengar. "Si Zara pengen ikut. Jujur gue gak pengen semua karyawan di sini tahu soal hubungan gue sama dia. Lo tahu sendiri, dia kan suka pamer kemesraan. Jadi lo aja yang berangkat!" tegasnya.
"Oke." Sahut Damar.
"Mar, soal kemarin. Gue keterlaluan gak sih ngasih skorsing?!" Rama sengaja memilih menyendiri di luar sambil merenung tentang briefing yang terpaksa di cut kemarin.
"Soal ini tadinya pengen gue bahas semalam. Tapi keburu Om Kris datang." Damar duduk di kursi sebelah kanan Rama. Melirik jam, masih ada waktu 10 menit lagi sebelum berangkat. "Kalau menurut gue, lo terlalu cepet ngasih vonis. Gak biasanya lo saklek gitu. Harusnya di SP dulu. Bahkan Pak Hendra bilang baru kali ini karyawan itu bolos. Mau dianulir apa gimana sekarang?"
Rama terdiam sesaat. Berpikir.
"Kemarin gue kepancing emosi denger kabar soal Cia. Jadinya kebawa suasana, pengen cepet pulang. Akhirnya ya gitu---" Rama menghela nafas panjang. Ada nada penyesalan karena sudah gegabah membuat sebuah keputusan. "Sekarang udah terlanjur. Nanti aja kalau aku ke kantor dievaluasi lagi," sambungnya menutup obrolan karena Damar bersiap berangkat.
...***...
Hari baru untuk Puput. Tempat kerjanya pindah ke lantai satu, tempat terbuka yang bisa melihat langsung hilir mudik pengunjung juga pramuniaga.
"Ini meja kamu!" Septi menunjukkannya dengan raut puas. Orang yang selama ini dianggap rivalnya dalam mencuri perhatian Pak Hendra, kini berada di bawahnya. "Pas sekali Dini mulai cuti melahirkan hari ini. Selamat bekerja Putri Kirana. Nanti Novia akan menjelaskan tugas-tugasmu," ia tersenyum penuh kemenangan.
"Baik, Bu Septi. Dengan senang hati aku menerima tugas baru ini." Puput balas tersenyum dengan ceria. Ia tidak takut oleh intimidasi Septi yang selama ini selalu sinis padanya.
Septi pergi, Novia datang dengan raut lesu.
"Lagi m ya, lesu amat?!" Puput melirik Via yang mendudukkan bo kong dengan keras. Seolah terpaksa.
"Dasar siput gak peka." Via mendelik sebal. "Masa iya kamu jadi anak buah aku. Jadi pengen nyakar muka gantengnya Pak Rama deh," ia masih dalam mode protes. Dikeluarkannya kertas-kertas yang akan dijelaskan terhadap Puput.
"Woles, bakpia. Aku aja ora popo." Puput mengedipkan mata. Ia masih sama seperti biasanya, tetap enerjik.
Rekan kerja Puput yang dari tadi diam, mulai mendekatkan kursinya saat Via sudah pergi.
"Put, gantiin Dini?!" Rasa penasaran Cepi sebagai salah satu admin mulai diungkapkan.
"Ho oh, Cep. Kan Dini cuti lahiran."
"Kok bisa kamu yang gantiin? Kamu kan bagian accounting?" Cepi masih belum puas dengan jawaban Puput.
"Buktinya ini bisa." Puput membuka kedua telapak tangannya dengan raut jenaka. "Dah ah kita mulai kerja. Nanti bantu cek ya kalau ada data entry yang salah," sambungnya memutus keingintahuan lebih dalam sang rekan kerja.
.
.
Di lantai 2. Pak Hendra memasuki ruang owner. Ada Damar yang kini duduk berhadapan dengan sang manajer itu.
"Pak Damar, kenapa Pak Rama gak datang?" Sudut hati Hendra merasa kecewa. Tadinya ia ingin melobi sang owner RPA agar membatalkan skorsing Putri Kirana. Sayangnya, orangnya tidak masuk.
"Pak Rama sedang ada urusan keluarga. Kalau ada apa-apa, Pak Hendra bisa bilang sama saya."
Hendra mengangguk. "Pengen bahas soal skorsing kemarin, Pak. Putri tidak bolos kerja. Ia datang jam 9 lebih dengan memberi alasan logis."
"Oh, namanya Putri ya?!" Damar memastikan.
"Nama lengkapnya Putri Kirana," sahut Hendra. "Ia terlambat karena menyelamatkan dulu perempuan yang akan diper kosa. Sampai mengantar korban pulang ke rumah. Ia pandai silat, makanya bisa melumpuhkan pelakunya."
Damar mengerutkan kening. Cerita Hendra mengingatkannya pada peristiwa yang menimpa Cia kemarin.
"Sebentar- sebentar----" Damar seolah sedang merajut benang merah.
Tapi yang nolong Cia namanya Puput bukan Putri Kirana.
Ini pasti beda kasus.
"Kenapa, Pak Damar?!" Hendra bingung melihat sikap Damar yang mengetuk-ngetuk kening.
Damar menghela nafas. Memutuskan, sebaiknya Hendra tahu tentang masalah yang menimpa keluarga Rama.
"Kemarin saat briefing, neneknya Pak Rama telpon kalau adiknya hampir diper kosa."
Nampak raut keterkejutan di wajah Hendra.
"Alhamdulillah selamat. Ada yang nolongin cewek namanya Puput. Saya tadi mikir apakah cerita Pak Hendra kasus yang sama atau beda kasus?" Damar nampak berpikir keras.
Hendra memperbaiki posisi duduk dengan menegakkan punggung. "Putri Kirana punya nama panggilan Puput, jangan-jangan....."
Disinilah keduanya berada. Posisi terlindumgi oleh rak display berbagai merk cat. Hendra dan Damar mengarahkan pandangan pada staf admin perempuan yang nampak ramah, memegang gagang telepon kantor sedang berbicara dengan seseorang di ujung telepon.
"Benar, itu Puput yang nolongin adiknya Rama. ASTAGA!" Damar spontan meremas rambutnya.