Indira pikir dia satu-satunya. Tapi ternyata, dia hanya salah satunya.
Bagi Indira, Rangga adalah segalanya. Sikap lembutnya, perhatiannya, dan pengertiannya, membuat Indira luluh hingga mau melakukan apa saja untuk Rangga.
Bahkan, Indira secara diam-diam membantu perusahaan Rangga yang hampir bangkrut kembali berjaya di udara.
Tapi sayangnya, air susu dibalas dengan air tuba. Rangga diam-diam malah menikahi cinta pertamanya.
Indira sakit hati. Dia tidak menerima pengkhianatan ini. Indira akan membalasnya satu persatu. Akan dia buat Rangga menyesal. Karena Indira putri Zamora, bukan wanita biasa yang bisa dia permainkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bunda SB, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pesta Kesombongan
Gedung Pradipta Medika yang berdiri megah di kawasan SCBD tampak berkilauan di bawah lampu sorot yang dipasang khusus untuk malam ini. Spanduk besar bertuliskan "Celebrating Excellence: Pradipta Medika's Renaissance" terbentang di fasad gedung, terlihat mencolok bahkan dari kejauhan. Mobil-mobil mewah berdatangan satu per satu, menurunkan para tamu undangan yang mengenakan busana terbaik mereka.
Di lantai dua puluh lima, ballroom yang biasanya digunakan untuk rapat direksi telah disulap menjadi venue pesta yang memukau. Kristal chandelier besar tergantung di langit-langit, memantulkan cahaya keemasan ke seluruh ruangan. Meja-meja bundar dengan taplak putih bersih tersusun rapi, masing-masing dihiasi centerpiece bunga mawar merah dan putih yang mahal. Di sudut ruangan, sebuah panggung kecil telah disiapkan, lengkap dengan backdrop bertuliskan logo Pradipta Medika dan Gunawan Industries berdampingan... simbol kemitraan yang menyelamatkan perusahaan dari jurang kebangkrutan.
Rangga berdiri di dekat pintu masuk, menyambut setiap tamu yang datang dengan senyum lebar yang penuh percaya diri. Pria itu mengenakan tuxedo hitam yang sempurna, rambutnya ditata rapi ke belakang, memancarkan aura kesuksesan yang ia bangun dengan susah payah dalam enam bulan terakhir. Di sampingnya, Ayunda berdiri dengan anggun dalam gaun merah marun yang membalut tubuhnya dengan pas, rambut panjangnya disanggul elegan. Wanita muda itu tersenyum dengan mata berbinar... Ini adalah puncak kemenangannya, momen di mana ia bisa berdiri sebagai wanita di samping Rangga, bukan lagi sebagai selingkuhan yang tersembunyi.
"Selamat datang, Pak Tono," sapa Rangga sambil berjabat tangan dengan seorang pria paruh baya yang merupakan direktur salah satu rumah sakit swasta terbesar di Jakarta. "Terima kasih sudah meluangkan waktu hadir malam ini."
"Tentu saja, Rangga," jawab Pak Tono sambil menepuk bahu Rangga. "Siapa yang menyangka Pradipta Medika bisa bangkit secepat ini? Kamu benar-benar luar biasa, anak muda."
Rangga tertawa, suara tawanya terdengar sedikit terlalu keras, terlalu puas. "Semua berkat kerja keras tim, Pak. Dan tentu saja, dukungan dari Gunawan Industries yang luar biasa."
Ayunda melenggang mendekati mereka dengan dua gelas champagne di tangan. "Pak Tono, silakan," ucapnya dengan senyum manis sambil menyerahkan satu gelas. Gerakan tubuhnya terlatih, profesional... hasil dari berbulan-bulan menjadi sekretaris yang tidak hanya menguasai administrasi, tapi juga seni diplomasi bisnis.
Setelah Pak Tono berjalan menuju meja minuman, Ayunda berdiri lebih dekat ke Rangga. "Tamu dari Gunawan Industries sudah datang. Mereka duduk di meja nomor tiga," bisiknya.
"Bagus," Rangga mengangguk. "Bagaimana dengan Zamora Company?"
"Mereka mengirim utusan, Pak Lingga. Sudah tiba sepuluh menit yang lalu," jawab Ayunda sambil mengecek tablet di tangannya. "Tapi yang paling penting..." ia menghentikan kalimatnya, matanya menatap Rangga dengan sorot penuh arti, "...dia belum datang."
Rangga mengerti siapa yang dimaksud Ayunda tanpa perlu disebutkan. Senyumnya melebar. "Dia akan datang. Aku kenal Indira... dia tidak akan melewatkan undangan pribadi dariku. Rasa ingin tahunya pasti lebih besar dari harga dirinya."
"Kamu yakin ini ide yang bagus?" tanya Ayunda dengan nada sedikit ragu yang jarang muncul. "Maksudku, mengundangnya ke sini..."
"Justru itulah poinnya, sayang," Rangga menyela sambil menyentuh pinggang Ayunda dengan gerakan yang possessive. "Aku ingin dia melihat sendiri betapa berhasilnya aku sekarang. Betapa salahnya dia meninggalkanku. Dan aku ingin dia tahu bahwa aku tidak butuh dia untuk sukses."
Ayunda tersenyum, meski ada sesuatu yang mengganggu di balik senyumnya itu. Tapi ia mengenyahkan perasaan itu. Malam ini adalah malam kemenangan mereka.
Di sebuah apartemen mewah, Indira berdiri di depan lemari pakaiannya dengan tatapan bingung. Undangan yang dicetak di kertas premium itu tergeletak di meja rias, amplop emas mengkilat di bawah lampu kamar. Undangan itu datang tiga hari yang lalu, diantarkan langsung oleh kurir pribadi, bukan melalui kantor tapi ke alamat rumahnya... sebuah tanda bahwa ini adalah undangan personal, bukan profesional.
"Kamu serius ingin pergi ke sana?" suara Rani terdengar dari ponsel yang tersambung melalui speaker.
Indira meraih dress hitam dengan potongan simple namun elegan. "Aku penasaran, Ran. Aku ingin tahu sejauh mana kesombongan pria itu bisa mencapai."
"Dira, kamu tahu ini jebakan, kan?" Rani terdengar frustasi. "Rangga pasti ingin pamer. Dia ingin membuatmu merasa kecil."
"Aku tahu," jawab Indira tenang sambil meletakkan dress itu di tempat tidur. "Tapi yang tidak dia tahu adalah... siapa sebenarnya aku."
Ada keheningan di ujung sana. Kemudian Rani tertawa yang penuh dengan antisipasi jahat. "Oh, ini akan menyenangkan. Kamu akan memberitahunya?"
"Tidak langsung," Indira tersenyum tipis. "Aku akan datang, tersenyum manis, dan membiarkan waktu yang berbicara. Lagipula, Zamora Company juga diundang. Pak Lingga akan ada di sana sebagai perwakilan."
"Dan Adrian?"
Tepat saat Rani menyebutkan nama itu, ponsel Indira bergetar dengan panggilan masuk. Nama Adrian muncul di layar.
"Dia menelepon," ucap Indira. "Aku angkat dulu, ya."
"Hati-hati, Dira," pesan Rani sebelum sambungan terputus.
Indira menggeser layar hijau. "Halo, Adrian."
"Dira," suara hangat Adrian mengalir dari speaker. "Kamu dapat undangan dari Pradipta Medika?"
"Dapat. Kamu juga?"
"Ya," ada jeda sebentar. "Aku tahu ini mungkin terdengar... aneh, tapi apa kamu berencana datang?"
Indira bisa menangkap kekhawatiran dalam suara Adrian. Pria itu selalu bisa membaca situasi, selalu tahu kapan dia harus memberikan ruang dan kapan dia harus hadir. "Aku akan datang."
"Sendirian?" pertanyaan itu keluar lebih cepat dari yang Adrian inginkan, terdengar terlalu peduli, terlalu khawatir.
Indira tersenyum meski Adrian tidak bisa melihatnya. Ada kehangatan yang muncul di dadanya setiap kali Adrian menunjukkan perhatiannya dengan cara yang begitu tulus. "Seharusnya iya. Kenapa?"
"Pergi bersamaku," ucap Adrian tanpa ragu-ragu kali ini. "Maksudku, kita sama-sama diundang, sama-sama ke tempat yang sama. Lebih praktis, kan?"
Indira tertawa pelan. "Adrian, kamu tidak perlu membuat alasan. Tapi... aku tidak keberatan. Bahkan akan lebih baik jika ada teman."
"Teman," ulang Adrian, dan Indira bisa mendengar senyum di suaranya. "Aku akan jemput kamu jam tujuh. Jangan terlambat."
"Siapa yang biasanya terlambat?" protes Indira dengan nada bercanda.
"Kamu. Selalu kamu," jawab Adrian dengan tawa. "Sampai nanti, Dira."
Setelah telepon terputus, Indira menatap dress hitam di tempat tidurnya. Malam ini akan menjadi malam yang menarik.
Pukul tujuh lewat lima belas menit, mobil Adrian berhenti di depan gedung apartemen Indira. Pria itu sudah mengenakan setelan jas abu-abu gelap dengan dasi hitam, rambutnya ditata rapi namun tetap terlihat natural. Ia keluar dari mobil dan berjalan ke arah pintu masuk tepat saat Indira melangkah keluar.
Adrian terdiam sejenak. Indira mengenakan dress hitam yang simple namun memperlihatkan siluet tubuhnya dengan sempurna. Rambutnya yang biasanya digerai kini ditata setengah sanggul, membingkai wajahnya yang cantik dengan riasan minimal. Sebuah kalung berlian tipis melingkar di lehernya... warisan dari ibunya.
"Kamu cantik," ucap Adrian tanpa berpikir, kemudian sedikit merona menyadari betapa terbukanya ia mengungkapkan itu.
Indira tersenyum. "Terima kasih. Kamu juga tampan, seperti biasa."
Perjalanan menuju gedung Pradipta Medika diisi dengan percakapan ringan. Adrian menceritakan tentang proyek terbarunya di Suryatama Group, sementara Indira berbagi tentang ekspansi Zamora Company ke wilayah Asia Tenggara. Mereka tertawa, bercanda, dan untuk sesaat Indira lupa bahwa mereka sedang menuju pesta yang diadakan oleh mantan suaminya.
Ketika mobil mereka memasuki area parkir gedung Pradipta Medika, atmosfer berubah. Indira bisa merasakan ketegangan yang mulai muncul di bahunya.
"Hey," Adrian menyentuh tangannya dengan lembut. "Kamu tidak perlu melakukan ini jika tidak siap. Kita bisa putar balik sekarang."
Indira menatap mata Adrian yang penuh dengan ketulusan. Tidak ada tuntutan di sana, tidak ada ekspektasi... hanya kepedulian murni. "Aku baik-baik saja. Lagipula..." senyumnya berubah menjadi sedikit nakal, "...aku penasaran ingin melihat reaksi Rangga nanti."
Adrian tertawa. "Baiklah. Tapi ingat, kapanpun kamu ingin pulang, kita pulang. Oke?"
"Oke," Indira mengangguk.
Mereka berjalan berdampingan memasuki gedung, melewati lobby yang dihiasi dengan standing banner promosi Pradipta Medika. Lift membawa mereka ke lantai dua puluh lima, dan ketika pintu terbuka, suara musik lembut dan obrolan para tamu menyambut mereka.
Ballroom sudah dipenuhi orang. Para pengusaha sukses berkelompok di berbagai sudut ruangan, gelas champagne di tangan, tertawa dan berbincang tentang bisnis dan peluang. Indira mengenali beberapa wajah familiar... Pak Tono dari Kartono Medical Center, Ibu Sandra dari Sandra Pharmaceutical, dan di meja nomor tiga, Pak Gunawan dengan beberapa petinggi Gunawan Industries.
Dan di dekat pintu masuk, berdiri Rangga dan Ayunda, masih menyambut tamu-tamu yang berdatangan.
Rangga melihat mereka terlebih dahulu. Matanya melebar sesaat, kemudian menyipit saat menyadari Adrian berdiri di samping Indira. Ekspresinya berubah... ada sesuatu yang gelap melintas di wajahnya sebelum ia memasang senyum lebar yang palsu.
"Indira!" serunya dengan suara yang terlalu ramah, terlalu keras. "Kamu datang! Aku hampir mengira kamu tidak akan datang."
Indira melangkah maju dengan senyum tipis, anggun dan terkontrol. "Aku tidak akan melewatkan undangan pribadi darimu, Mas Rangga. Selamat atas kesuksesanmu."
Rangga meraih tangan Indira dan menggenggamnya lebih lama dari yang seharusnya, tatapannya intens. "Terima kasih. Kamu tahu, semua ini... aku membangunnya dari nol lagi. Dan sekarang, lihat di mana aku berada."
Ada nada menggantung di kalimat terakhirnya, sebuah implikasi yang tidak terucap: Lihat apa yang kamu lewatkan dengan meninggalkanku.
"Impressive," ucap Indira datar, menarik tangannya dengan halus. Matanya kemudian beralih ke Ayunda yang berdiri dengan senyum kaku. "Ayunda, kamu terlihat... berbeda."
"Terima kasih," jawab Ayunda, ada nada defensif di suaranya. "Aku sekarang sekretaris pribadi Rangga. Banyak yang berubah."
"Jelas sekali," Indira tersenyum yang tidak mencapai matanya.
Rangga kemudian menoleh ke Adrian dengan tatapan yang jauh lebih dingin. "Adrian. Tidak kusangka kamu datang bersama Indira."
"Kami kebetulan sama-sama diundang," jawab Adrian tenang. "Dan sepertinya ini acara yang menarik."
"Tentu saja menarik," Rangga tertawa, suaranya penuh dengan kesombongan yang tak tersembunyi. "Ini adalah puncak dari kerja keras. Dari hampir bangkrut menjadi kembali berjaya. Tidak semua orang bisa melakukan itu."
"Memang tidak semua orang," Adrian mengangguk, tatapannya tidak berubah. "Tapi dengan investor yang tepat, banyak hal yang mungkin."
Ada ketegangan yang muncul di udara. Rangga menatap Adrian dengan tatapan yang menyelidik, mencoba membaca apakah ada sarkasme di balik komentar itu.
"Silakan menikmati pesta," akhirnya Rangga berkata, gesturnya mengisyaratkan mereka untuk masuk. "Oh, Indira..." ia memanggil saat Indira hendak berjalan, "...nanti aku ingin berbicara denganmu. Ada yang ingin kuceritakan tentang... perkembangan bisnisku."
Indira menoleh, alisnya terangkat sedikit. "Aku tidak yakin aku tertarik mendengar detail bisnis perusahaan orang lain, Mas Rangga."
"Oh, aku yakin kamu akan tertarik," Rangga tersenyum lebar. "Lagipula, dengan perusahaan kecilmu, mungkin kamu bisa belajar satu dua hal dariku."
Perusahaan kecil.
Kata-kata itu menggantung di udara seperti tantangan. Adrian merasakan tubuh Indira menegang di sampingnya, dan ia hampir melangkah maju untuk membela wanita itu. Tapi kemudian ia merasakan sentuhan ringan di lengannya... Indira menghentikannya dengan tatapan yang tenang.
"Mungkin," jawab Indira dengan senyum yang misterius. "Kita lihat saja nanti."
Mereka berjalan masuk ke tengah ballroom, meninggalkan Rangga dan Ayunda di belakang. Begitu cukup jauh, Adrian membungkuk sedikit dan berbisik, "Perusahaan kecil? Dia serius tidak tahu?"
Indira tertawa pelan, suaranya penuh dengan hiburan. "Tampaknya tidak. Dan aku tidak akan memberitahunya. Setidaknya, belum."
Di seberang ruangan, Lingga melihat kedatangan Indira. Matanya melebar dengan pengenalan, dan ia segera bangkit dari kursinya, bermaksud menghampiri. Tapi kemudian ia berhenti, memperhatikan Adrian yang berdiri protektif di samping Indira. Sebuah senyum muncul di wajahnya. Lingga kemudian duduk kembali, memutuskan untuk menunggu waktu yang tepat.
Malam masih panjang, dan drama baru saja dimulai.
Rangga, yang masih berdiri di dekat pintu, menatap punggung Indira dengan tatapan yang kompleks... campuran antara kerinduan, kesombongan, dan sesuatu yang menyerupai kepuasan. Ia tidak menyadari bahwa badai yang akan menghancurkan kesombongannya sudah berdiri di ruangan yang sama dengannya, tersembunyi di balik senyum tenang seorang wanita yang pernah ia remehkan.
mau bgaimanapun ayunda adlh pelakor.
mau bgaimanapun alasannya ayunda adlh pelakor dan pelakor hrs dpt hukuman juga biar gk tuman dan gk Ada yg niru.
nnti jd kebiasaan mendukung ayunda jd pelakor krn blas dendam.