SINOPSIS
Nara dan Ingfah bukan sekadar putri pewaris takhta Cankimha Corp, salah satu konglomerat terbesar di Asia. Di balik kehidupan mewah dan rutinitas korporasi mereka yang sempurna, tersimpan masa lalu berdarah yang dimulai di puncak Gunung Meru.
Tujuh belas tahun lalu, mereka adalah balita yang melarikan diri dari pembantaian seorang gubernur haus kuasa, Luang Wicint. Dengan perlindungan alam dan kekuatan mustika kuno keluarga Khon Khaw, mereka bertahan hidup di hutan belantara hingga diadopsi oleh Arun Cankimha, sang raja bisnis yang memiliki rahasianya sendiri.
Kini, Nara telah tumbuh menjadi wanita tangguh dengan wibawa mematikan. Di siang hari, ia adalah eksekutif jenius yang membungkam dewan direksi korup dengan kecerdasannya. Di malam hari, ia adalah ksatria tak terkalahkan yang bersenjatakan Busur Sakti Prema-Vana dan teknologi gravitasi mutakhir.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Princss Halu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Anak Cahaya yang menyelamtkan Desa
Patan menyadari bahwa pintu rahasia itu kini telah terbuka lebar. Penduduk mulai berbisik, dan tatapan penuh harap dari pria di bawah rumahnya adalah awal dari beban besar yang akan dipikul putrinya.
"Tunggu di sini," kata Patan singkat kepada pria itu.
Ia segera naik ke atas rumah, mengemasi bekal seadanya, dan memakaikan caping pada Ingfah serta Nara agar wajah mereka sedikit tersembunyi.
"Kita harus ke kuil sekarang," bisik Patan kepada Nenek Bua dan Bibi Prik.
"Kabar ini menyebar lebih cepat dari air sungai. Hanya Khun Khru yang tahu apa yang harus kita lakukan."
Patan kembali menaikan kedua bocah itu ke gerobak kerbaunya. Sepanjang perjalanan menuju Wat Phra Si Sanphet, suasana terasa berbeda.
Beberapa warga yang mereka lewati mulai menunjuk-nunjuk gerobak mereka. Ada rasa takut sekaligus hormat yang terpancar dari mata mereka.
Sesampainya di kuil, Patan tidak lagi menunggu di gerbang. Ia langsung menuntun Ingfah dan Nara menuju aula meditasi. Khun Khru rupanya sudah duduk menanti, seolah beliau sudah tahu bahwa hari ini akan datang lebih cepat dari perkiraan.
"Khun Khru," Patan bersimpuh dengan napas memburu.
"Kabar tentang Ingfah mulai menyebar. Dan semalam... ia mimpi tentang air bah yang merah lumpur. Seorang wanita yang baru sembuh dari gangguan roh juga mengatakan hal yang sama. Apa ini benar, Khun Khru? Apa yang harus hamba lakukan dengan putri hamba?"
Khun Khru membuka matanya perlahan. Beliau tidak tampak terkejut. Beliau mengisyaratkan Ingfah dan Nara untuk duduk di dekatnya.
"Patan, kau tidak bisa membendung aliran sungai dengan tangan kosong. Begitu juga dengan takdir anak ini," suara Khun Khru tenang namun berwibawa.
"Air bah itu memang akan datang. Itu adalah siklus alam, namun kali ini ada kemarahan dari tanah yang membuatnya lebih besar."
Khun Khru menatap Ingfah yang sedang memegang erat batu kristalnya.
"Ingfah bukan pembawa bencana, Patan. Dia adalah penunjuk jalan. Pesan yang ia terima lewat mimpi adalah instruksi. Air merah lumpur artinya air itu membawa tanah dari pegunungan di utara. Itu akan datang saat bulan mati berikutnya."
Khun Khru kemudian menatap Nara. "Nara, tugasmu adalah menjadi telinga dan mata bagi Ingfah. Saat dia terhanyut dalam penglihatannya, kau harus menariknya kembali ke dunia nyata untuk memberitahu Ayahmu ke mana arah evakuasi yang aman."
"Patan," Khun Khru kembali menatap sang ayah.
"Jangan larikan Ingfah dari kenyataan ini. Jika kau melarikan diri, penglihatannya akan menyiksanya karena ia tidak bisa menolong orang-orang yang ia lihat dalam mimpinya. Bawa dia ke tempat-tempat yang lebih tinggi di desa. Biarkan dia menunjuk mana yang akan tetap kering dan mana yang akan tenggelam. Gunakan anugerahnya untuk menyelamatkan nyawa."
Patan terdiam. Tubuhnya bergetar. Ia ingin Ingfah tumbuh seperti anak normal yang bermain lumpur tanpa beban, bukan anak yang menentukan hidup dan mati sebuah desa.
"Tapi Khun Khru... dia masih tiga tahun," bisik Patan lirih.
"Usia hanyalah hitungan bagi raga, tapi jiwanya sudah sangat tua, Patan," jawab Khun Khru.
"Pulanglah. Mulailah tandai tempat-tempat tinggi. Dan ingat, batu kristal itu bukan hanya pelindung, tapi pemersatu energi mereka. Saat mereka bersama, penglihatan itu akan menjadi sangat akurat."
***
Perjalanan pulang kali ini terasa jauh lebih berat bagi Patan. Roda gerobak yang berderit seolah menyuarakan kegelisahan hatinya. Namun, melihat Ingfah dan Nara yang duduk tenang sambil berpegangan tangan, Patan tahu ia tidak boleh terlihat lemah.
Setibanya di rumah panggung, Patan segera mengumpulkan Nenek Bua, Bibi Prang, dan Bibi Prik. Wajahnya serius saat ia menyampaikan pesan dari Khun Khru.
"Air itu akan benar-benar datang saat bulan mati nanti. Khun Khru meminta kita bersiap," kata Patan tegas.
"Nenek, Bibi Prang, Bibi Prik... tolong kumpulkan semua hasil bumi kita. Gabah, ikan kering, dan bumbu-bumbuan. Masukkan ke dalam karung-karung besar. Kita akan memindahkannya ke tempat yang lebih tinggi sebelum air lumpur itu sampai di sini."
Bibi Prik segera mengangguk. "Aku akan bicara dengan pedagang lain di pasar. Kita harus mulai memindahkan stok rempah-rempah ke perbukitan di belakang kuil."
Setelah memberikan instruksi di rumah, Patan kembali menaiki gerobaknya. Kali ini, ia membawa Ingfah dan Nara berkeliling desa. Ia ingin Ingfah menunjukkan titik-titik yang aman sesuai dengan penglihatannya.
Di tengah jalan, mereka bertemu dengan Prawat, pria yang istrinya telah disembuhkan oleh doa Ingfah kemarin. Prawat sudah menunggu di depan rumahnya dengan beberapa karung barang.
"Tuan Patan! Saya sudah bersiap. Saya percaya pada apa yang dilihat putri Anda," seru Prawat. Ia segera bergabung, berjalan di samping gerobak Patan sebagai pelindung tambahan.
Namun, tidak semua orang menyambut mereka dengan baik. Di kedai kopi pinggir jalan, sekelompok warga tampak berbisik-bisik dengan tatapan tajam yang penuh kebencian.
"Lihat itu... si 'Anak Cahaya' yang dibilang orang-orang," cibir seorang pria bertubuh gempal.
"Hanya anak kecil bermata aneh, tapi sudah berani menakut-nakuti kita dengan cerita banjir. Dia pasti membawa sial! Sejak dia mulai bicara soal air, suasana desa jadi tidak tenang!"
"Benar!" timpal yang lain.
"Jangan-jangan dialah yang mengundang roh jahat itu datang!"
Patan mengeratkan pegangannya pada tali kendali kerbau. Ia merasakan Nara merapat pada Ingfah, mencoba menutupi telinga adiknya agar tidak mendengar hinaan itu. Namun, Ingfah justru menatap pria gempal itu dengan pandangan yang tenang, hampir seperti rasa kasihan.
"Ayah, berhenti di sini sebentar," bisik Ingfah tiba-tiba.
Patan menghentikan gerobaknya tepat di depan sebuah gundukan tanah yang cukup tinggi di dekat balai desa. Ingfah turun dari gerobak, dituntun oleh Nara. Anak kecil itu menyentuh tanah tersebut dengan telapak tangan mungilnya, lalu menunjuk ke arah sebatang pohon beringin tua yang jauh di atas bukit.
"Di sini akan jadi kolam lumpur, Ayah," ucap Ingfah dengan suara jernih yang memecah keheningan warga yang mencemooh.
"Tapi di pohon besar itu, air tidak bisa sampai. Ikatlah perahu di sana sekarang, atau kalian tidak akan punya tempat berpijak."
Prawat segera mencatat ucapan Ingfah. "Saya akan siapkan tali dan perahu di sana, Nak Ingfah!"
Meskipun sebagian warga terus mencibir dan menyebut mereka "pembawa kabar buruk", Patan tetap melanjutkan perjalanannya. Ia membiarkan Ingfah menandai tempat demi tempat, sementara Nara dengan sigap membantu kakaknya mengingat setiap detail lokasi.
***
Malam itu, Ayutthaya terasa sangat sunyi, namun di bawah permukaan tanah yang tenang, Ingfah bisa merasakan getaran air yang mulai merayap naik, bersiap untuk menerjang.
Langit Ayutthaya yang biasanya cerah perlahan berubah menjadi kelabu pekat. Awan hitam menggantung rendah, seolah-olah perut langit tidak lagi sanggup menahan beban air. Tiga hari berturut-turut, hujan turun tanpa henti, mengubah jalanan debu menjadi parit-parit lumpur yang licin.
Warga yang tadinya mencibir kini mulai gelisah. Mereka melihat permukaan sungai Chao Phraya naik dengan kecepatan yang tidak wajar.
Detik-Detik Kedatangan Air Bah
Malam itu, di rumah panggung Patan, suasana sangat tegang. Ingfah tidak bisa tidur; ia terus menggenggam batu kristal birunya yang kini berpendar lebih terang dari biasanya.
"Ayah... dia datang. Air merahnya sudah dekat," bisik Ingfah tiba-tiba. Matanya menatap ke arah utara, menembus kegelapan malam dan lebatnya hujan.
Patan tidak membuang waktu.
"Nenek, Bibi, Nara! Naik ke gerobak sekarang! Bawa semua karung yang sudah kita siapkan!"
Patan berlari keluar, berteriak memanggil Prawat dan warga lainnya.
"Tanggul utara jebol! Lari ke pohon beringin di bukit! Sekarang!"
Tiba-tiba, suara gemuruh yang mengerikan terdengar dari kejauhan—suara seperti ribuan kuda berlari. Itu adalah suara air yang menghantam apa pun di jalannya. Lampu-lampu minyak di rumah warga mulai padam satu per satu tertiup angin kencang. Dalam kegelapan total, kepanikan pecah.
"Aku tidak bisa melihat jalan!" teriak seorang warga yang skeptis tadi, kini ia menggendong anaknya sambil terperosok di lumpur.
"Tolong! Jalannya tertutup air!"
Cahaya dalam Kegelapan
Patan memacu kerbaunya dengan susah payah. Air sudah setinggi lutut manusia di jalanan desa. Di atas gerobak, Ingfah melihat orang-orang yang berteriak ketakutan di tengah kegelapan. Ia menoleh pada Nara.
"Pii Nara, bantu Fah," ucap Ingfah.
Kedua bocah itu berdiri di atas gerobak yang bergoyang. Mereka saling menggenggam tangan dan mengangkat batu kristal mereka tinggi-tinggi.
Keajaiban terjadi; dari kedua batu itu terpancar sinar yang sangat kuat—perpaduan warna biru laut dan emas yang menembus pekatnya hujan dan kabut.
Cahaya itu membentuk "jalan" yang terang menuju bukit pohon beringin yang ditunjuk Ingfah tempo hari.
"Lihat! Cahaya itu! Ikuti cahaya anak-anak itu!" teriak Prawat sambil membantu warga yang lanjut usia.
Warga yang tadinya membenci Ingfah, kini berlari mengikuti pendar cahaya dari gerobak Patan seolah-olah itu adalah satu-satunya harapan mereka untuk hidup. Air merah berlumpur mulai menyapu rumah-rumah di bawah mereka, menghancurkan bangunan kayu dengan suara berderak yang memilukan.