NovelToon NovelToon
Naura, Seharusnya Kamu

Naura, Seharusnya Kamu

Status: sedang berlangsung
Genre:Nikahmuda / Diam-Diam Cinta / Cinta pada Pandangan Pertama / Cinta Seiring Waktu / Romansa / Menikah Karena Anak
Popularitas:3.2k
Nilai: 5
Nama Author: Fega Meilyana

"Aku ingin menikah denganmu, Naura."
"Gus bercanda?"

***

"Maafin kakak, Naura. Aku mencintai Mas Atheef. Aku sayang sama kamu meskipun kamu adik tiriku. Tapi aku gak bisa kalau aku harus melihat kalian menikah."

***

Ameera menjebak, Naura agar ia tampak buruk di mata Atheef. Rencananya berhasil, dan Atheef menikahi Ameera meskipun Ameera tau bahwa Atheef tidak bisa melupakan Naura.
Ameera terus dilanda perasaan bersalah hingga akhirnya ia kecelakaan dan meminta Atheef untuk menikahi Naura.
Naura terpaksa menerima karna bayi yang baru saja dilahirkan Ameera tidak ingin lepas dari Naura. Bagaimana jadinya kisah mereka? Naura terpaksa menerima karena begitu banyak tekanan dan juga ia menyayangi keponakannya meskipun itu dari kakak tirinya yang pernah menjebaknya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fega Meilyana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Jebakan

“Jadi kamu masih berhubungan dengan dia, ha?! Sekarang kamu hamil anaknya, lalu dia pergi begitu saja?!”

Bentakan itu menggema di ruang keluarga yang megah namun terasa dingin. Hanung Bimantara berdiri dengan wajah merah padam, urat di pelipisnya menegang menahan amarah.

Di hadapannya, seorang gadis muda hanya bisa menunduk. Bahunya bergetar, air mata jatuh tanpa suara.

“Maafin Aurel, Pa…” ucapnya lirih, hampir tak terdengar.

Ya, gadis itu adalah Aurel, putri bungsu Hanung dari istri keduanya. Adik tiri Alya—satu ayah, beda ibu.

“Papa gak mau tau!” Hanung membanting telapak tangannya ke meja. “Kamu sudah bikin papa malu! Papa gak mau sampai berita ini bocor ke publik. Reputasi papa bisa hancur! Anak papa hamil di luar nikah—apalagi dengan pria miskin yang bahkan gak berani tanggung jawab!”

“Aku mencintainya, Pa…” Aurel terisak. “Aku yakin dia—”

“Tapi dia tidak mencintai kamu!” potong Hanung geram. “Kalau dia mencintai kamu, dia gak akan ninggalin kamu dalam keadaan seperti ini!”

Alya yang sejak tadi berdiri di sudut ruangan sontak membulatkan mata saat mendengar keputusan ayahnya berikutnya. “Papa sudah ambil keputusan,” lanjut Hanung dingin. “Kamu akan papa jodohkan dengan Rendra.”

“Apa?!” Alya maju selangkah. “Pa, gak bisa gitu dong! Yang—yang mencintai Rendra itu aku, bukan Aurel!”

“Diam kamu, Alya!” bentak Hanung tanpa menoleh.

Alya langsung terdiam. Tangannya mengepal, dadanya naik turun menahan sesak.

Hanung menoleh padanya. “Kamu tenang saja. Papa akan serahkan setengah saham milik Aurel ke kamu. Kamu jalankan perusahaan papa di Singapura. Kamu tinggal di sana, hidup nyaman, dan menikah dengan siapa pun yang kamu mau.”

“Tapi… aku sukanya sama Rendra, Pa,” suara Alya melemah.

Hanung tersenyum sinis. “Papa tidak menerima penolakan. Atau kamu mau hidup miskin, hah? Kamu itu gak becus kalau gak papa yang urus!”

Kata-kata itu menghantam Alya tanpa ampun. Ia tercekat. Ia tahu betul, tanpa Hanung, hidupnya akan runtuh. Semua fasilitas, semua kemewahan—akan dicabut dalam sekejap.

Mau tak mau, Alya menunduk patuh. Lagi pula, Rendra sudah menikah. Tak mungkin ia berharap lebih.

“Tapi… Rendra sudah menikah, Pa,” ucap Alya lirih.

“Papa tau,” jawab Hanung singkat. “Dan itu urusan papa.”

Aurel yang sejak tadi diam akhirnya memberanikan diri mengangkat wajah. “Pa… aku gak mau menikah sama laki-laki yang sudah menikah. Aku gak mau nyakitin hati wanita lain…”

“Diam kamu, Aurel!” bentak Hanung tajam. “Kamu tidak punya hak memilih!”

Keputusan Hanung Bimantara sudah final. Tak bisa diganggu gugat.

Dengan hati hancur dan perasaan bersalah, Aurel hanya bisa mengangguk. Ia mengikuti perintah ayahnya—meski ia tahu, hidup banyak orang akan berubah karena keputusan itu.

Sementara itu, perusahaan Rendra berada di ujung tanduk.

Satu per satu investor menarik diri. Proyek-proyek besar dibatalkan. Arus kas macet. Banyak karyawan belum menerima gaji.

Rendra tahu, semua ini bukan kebetulan.

Ia yakin, orangtuanyalah yang berada di balik kehancuran itu—hukuman karena ia menikah tanpa restu.

Namun Rendra bukan tipe yang menyerah. Ia terus mencari investor baru, menawarkan kerja sama ke mana-mana, meski kelelahan mulai menggerogoti fisik dan mentalnya.

Hanung mengetahui kondisi itu.

Dan seperti seorang pemain catur ulung, ia melihat celah.

Dengan dalih kerja sama bisnis, Hanung mengutus Aurel untuk membantu Rendra—menjadi investor dan mitra strategis perusahaannya. Jika Rendra menjadi menantunya, maka dua kekuatan besar akan bersatu. Perusahaan mereka akan tak tertandingi.

Hanung mengenal Rendra dengan baik. Ia cerdas, pekerja keras, mandiri, dan bertanggung jawab. Dedikasinya tak diragukan.

Sayangnya, hati Rendra tak pernah berpihak pada kedua putrinya.

Dulu, Hanung ingin menikahkan Alya dengan Rendra. Namun Rendra tak pernah mencintai Alya.

Kini, dengan terpaksa, Hanung memilih Aurel.

Hubungan Rendra dan Aurel cukup dekat—sebagai teman. Aurel tak pernah menunjukkan ketertarikan pada Rendra, dan Rendra tahu Aurel telah memiliki kekasih. Justru itulah keuntungannya. Rendra tak akan pernah mencurigai niat tersembunyi Hanung.

Saat Rendra hampir putus asa, Hanung datang sebagai penyelamat.

“Saya dengar perusahaan kamu sedang sulit,” ujar Hanung sambil duduk di ruang kerja Rendra. “Saya ingin membantu.”

Rendra menatapnya ragu, lalu berdiri dan menjabat tangannya.

“Terima kasih banyak, Om. Saya benar-benar menghargainya.”

“Tidak perlu berterima kasih. Saya ikhlas membantu,” jawab Hanung tenang. “Saya juga turut bersedih karena orang tua kamu tidak merestui pernikahanmu.”

“Tidak apa-apa, Om,” Rendra tersenyum kecil. “Saya sudah bahagia bersama istri saya.”

“Oh iya,” lanjut Hanung seolah santai. “Nanti yang menjalani kerja sama ini putri Om, Aurel. Kamu masih ingat, kan?”

“Aurel?” Rendra mengangguk. “Tentu. Dia tertarik di dunia bisnis sekarang?”

“Iya. Katanya sedang menabung untuk masa depan. Dia ingin menikah dengan pacarnya.”

“Ah iya, saya tahu pacarnya,” sahut Rendra. “Pernah lihat.”

“Kalau begitu kamu tidak keberatan, kan?”

“Tidak sama sekali, Om. Saya cukup dekat dengan Aurel. Dia… berbeda dengan Alya.”

Hanung tersenyum tipis. “Alya sudah saya kirim ke luar negeri. Biar tidak mengganggu hubungan kamu lagi.”

Rendra terdiam sejenak. "Jadi benar…

Mereka diam bukan karena menyusun rencana,

tapi karena benar-benar menyerah?"

“Baiklah, Om,” ucap Rendra akhirnya. “Saya akan hubungi Aurel nanti.”

Tanpa ia sadari, sejak saat itu, hidupnya mulai digiring ke dalam perangkap yang rapi dan mematikan.

***

Rendra menceritakan semuanya pada Laras malam itu. Tentang kerja sama yang akan ia jalani dengan Aurel—adik tiri Alya, sekaligus putri Hanung Bimantara.

Ia berbicara dengan tenang, tanpa ada yang ia sembunyikan.

“Aurel itu gak pernah punya perasaan apa pun ke aku,” ujar Rendra yakin. “Kami cuma teman. Dari dulu juga dia tahu aku sudah menikah. Lagipula, dia sudah punya pacar.”

Laras mendengarkan dengan saksama. Wajahnya tenang, meski ada sedikit keraguan yang sempat singgah di hatinya. Namun ia memilih percaya—karena selama ini Rendra tak pernah memberinya alasan untuk curiga.

“Kalau kamu yakin,” ucap Laras akhirnya sambil tersenyum tipis, “aku juga percaya sama kamu.”

Rendra menggenggam tangan istrinya. “Aku gak mau ada apa pun yang aku sembunyikan dari kamu. Kerja sama ini murni bisnis.”

Laras mengangguk. Ia tahu betul kondisi perusahaan Rendra yang sedang terpuruk. Jika kerja sama itu bisa menyelamatkan banyak orang—terutama para karyawan—maka ia tak ingin menjadi penghalang.

“Aku cuma minta satu,” ujar Laras lembut. “Jujur terus sama aku.”

“Pasti,” jawab Rendra tanpa ragu.

Sejak saat itu, kerja sama antara Rendra dan Aurel resmi dimulai.

Pertemuan demi pertemuan berjalan profesional. Diskusi bisnis berlangsung lancar. Aurel bersikap dewasa, fokus, dan menjaga jarak sebagaimana mestinya. Tak ada sikap genit, tak ada lirikan berlebih—semuanya murni urusan kerja.

Proyek yang sempat tertunda mulai bergerak kembali. Investor perlahan datang. Keuangan perusahaan berangsur stabil.

Bagi Rendra, semua itu menjadi bukti bahwa keputusannya tidak salah.

Semuanya berjalan dengan baik.

Terlalu baik—hingga ia tak menyadari bahwa di balik kelancaran itu, ada rencana yang sedang disusun dengan sangat rapi.

***

Aurel tidak pernah menyangka ia bisa seakrab ini dengan Laras.

Perempuan itu hangat, sederhana, dan tulus—jenis ketulusan yang tidak dibuat-buat. Laras tidak pernah memandang Aurel dengan curiga, apalagi sinis. Ia memperlakukannya sebagai teman, bahkan saudari.

Dan di situlah luka Aurel bermula.

Ia sering melihatnya, cara Laras menatap Rendra. Tatapan penuh percaya, penuh cinta, seolah dunia hanya berputar di sekitar lelaki itu. Rendra pun sama. Dalam gestur kecil yang nyaris tak disadari, dalam nada suara yang lembut, Aurel melihat betapa lelaki itu mencintai istrinya.

Cinta yang nyata. Cinta yang saling.

Setiap kali Aurel menyadarinya, dadanya terasa sesak.

Ini salah. Aku berada di tempat yang salah.

Ia tidak ingin menyakiti siapa pun. Terlebih Laras—perempuan yang sama sekali tidak tahu bahwa rumah tangganya sedang dijadikan alat tawar oleh orang lain.

Namun keadaan tidak memberinya pilihan.

Setiap langkah Aurel terasa seperti menginjak duri. Semakin ia mendekat pada Laras, semakin besar rasa bersalah yang menggerogoti hatinya. Tawa Laras, cerita-cerita kecil tentang rumah tangganya, bahkan keluhan ringan tentang Rendra—semuanya terasa seperti pisau yang perlahan menusuk.

"Kalau kamu tahu kebenarannya,

apa kamu masih bisa tersenyum seperti ini?"

Aurel sering memalingkan wajah saat Laras berbicara tentang masa depan. Tentang mimpi sederhana, tentang ingin menua bersama Rendra. Aurel takut—takut jika matanya mengkhianatinya, takut jika air matanya jatuh di saat yang salah.

Ia ingin menolak. Ia ingin berteriak bahwa semua ini keliru. Namun bayangan wajah Hanung selalu muncul, dingin dan tak memberi ruang.

Papa tidak butuh persetujuanmu,

Papa hanya butuh kepatuhanmu.

Aurel tahu, jika ia melawan, bukan hanya dirinya yang akan hancur. Ada ibunya. Ada anak dalam kandungannya. Ada hidup yang dipertaruhkan.

“Maafin aku…” bisiknya dalam hati setiap kali berhadapan dengan Laras.

Bukan karena ia mencintai Rendra,

melainkan karena ia terpaksa menjadi bagian dari luka yang akan datang.

Dan yang paling menyakitkan bagi Aurel adalah kenyataan ini, ia menyakiti orang-orang baik—bukan karena keinginannya, tetapi karena ia tidak diberi hak untuk memilih.

***

Jebakan itu akhirnya dimulai.

Malam turun perlahan setelah rangkaian pertemuan yang melelahkan. Meeting dengan investor dan klien berjalan sukses. Rendra terlihat lega—bahkan sempat tersenyum puas. Ia tidak tahu bahwa keberhasilan hari itu hanyalah pintu masuk menuju kehancuran yang telah disiapkan.

Di salah satu jamuan penutup, seseorang menyodorkan minuman pada Rendra. Tampak biasa. Tak berbau. Tak mencurigakan.

Rendra meminumnya tanpa ragu.

Aurel yang berdiri tak jauh dari sana merasakan tangannya dingin. Dadanya berdebar tak karuan. Ia tahu persis apa yang telah dicampurkan ke dalam gelas itu—obat perangsang dosis rendah. Tidak langsung membuat hilang kesadaran, hanya perlahan mengaburkan nalar, melemahkan kendali.

Ini masih bisa dihentikan…

Masih ada waktu…

Namun rencana tidak memberi ruang bagi keraguan.

Tak lama kemudian, Rendra mulai terlihat tidak biasa. Nafasnya sedikit berat, wajahnya memerah, langkahnya goyah meski ia berusaha tetap terlihat normal.

“Aurel…” Rendra mengusap pelipisnya. “Aku kayaknya gak enak badan.”

Jantung Aurel seakan diremas. Ia tahu ini akan terjadi.

“Aku antar ke kamar hotel saja,” ucapnya pelan, menahan gemetar di suaranya. “Kamu perlu istirahat.”

Rendra mengangguk lemah. Ia tidak sepenuhnya sadar, tidak sepenuhnya mengerti. Dan di situlah letak kejahatannya.

Di dalam kamar hotel, obat itu mulai bereaksi sepenuhnya. Kesadaran Rendra semakin kabur, pertahanannya runtuh oleh sesuatu yang bukan keinginannya sendiri.

Aurel berdiri kaku. Air matanya jatuh tanpa suara.

“Aku minta maaf…” bisiknya lirih, lebih pada dirinya sendiri daripada pada Rendra.

Malam itu, batas-batas yang seharusnya tidak pernah dilanggar akhirnya runtuh—bukan oleh cinta, bukan oleh kehendak, melainkan oleh rencana keji yang memanfaatkan kelemahan manusia.

Dan ketika semuanya usai, Aurel tahu satu hal dengan pasti. Tidak ada satu pun dari mereka yang akan keluar dari malam itu tanpa luka.

1
Anak manis
😍
cutegirl
😭😭😭
anakkeren
authornya hebat/CoolGuy/
just a grandma
nangis bgt/Sob/
cutegirl
plislah nangis bgt ini/Sob/
anakkeren
siapa si authornya, brani memporakan hatiku dgj ceritanya😭
just a grandma
nangis banget😭
cutegirl
bagus laras💪
just a grandma
sedihnya sampe sini /Sob/
just a grandma
kasian laras, ginggalin aja si rendra
anakkeren
kasian laras
just a grandma
suka sm ceritanyaaa
anakkeren
kapan kisah nauranya kak?
Fegajon: nanti ya. kita bikin ortunya dulu biar nanti ceritanya enak setelah ada naura
total 1 replies
anakkeren
lanjut
just a grandma
raniA terlalu baik
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!