Rama dan Ayana dulunya adalah sahabat sejak kecil. Namun karena insiden kecelakaan yang menewaskan Kakaknya-Arsayd, membuat Rama pada saat itu memutuskan untuk membenci keluarga Ayana, karena kesalahpahaman.
Dalih membenci, rupanya Rama malah di jodohkan sang Ayah dengan Ayana sendiri.
Sering mendapat perlakuan buruk, bahkan tidak di akui, membuat Ayana harus menerima getirnya hidup, ketika sang buah hati lahir kedunia.
"Ibu... Dimana Ayah Zeva? Kenapa Zeva tidak pelnah beltemu Ayah?"
Zeva Arfana-bocah kecil berusia 3 tahun itu tidak pernah tahu siapa Ayah kandungnya sendiri. Bahkan, Rama selalu menunjukan sikap dinginya pada sang buah hati.
Ayana yang sudah lelah karena tahu suaminya secara terbuka menjalin hubungan dengan Mawar, justru memutuskan menerima tawaran Devan-untuk menjadi pacar sewaan Dokter tampan itu.
"Kamu berkhianat-aku juga bisa berkhianat, Mas! Jadi kita impas!"
Mampukah Ayana melewati prahara rumah tangganya? Atau dia dihadapkan pada pilihan sulit nantinya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Septi.sari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 11
"Untuk apa Mas Rama bersembunyi dibalik kata tanggung jawab?" Ayana baru menoleh. Sorot matanya penuh luka yang masih menganga. Ia menjeda kalimatnya sejenak, lalu berkata lagi, "Nggak usah berkata tanggung jawab, Mas! Padahal waktu itu jelas-jelas Mas Rama melihat sendiri bagaimana Zeva kesakitan minta tolong. Dan... Bagaimana bisa seorang Ayah hanya dapat berdiri kaku, padahal nyawa putranya sedang terancam!"
Diez!
Hati Rama bagai terhantam benda berat mendengar kalimat tajam Ayana. Lagi-lagi ia hanya mampu terdiam seribu bahasa.
"Seharunya kamu berterimakasih, bukan mencerca saya seperti itu!" Rama mulai melajukan mobilnya.
Ayana berdesis, "Berterimakasih? Heh," desahnya. "Untuk apa? Bahkan saya tidak pernah meminta bantuan apapun sama Mas Rama! Semenjak hari itu, saya sudah mengajarkan pada Putra saya agar kelak dia tidak menggantungkan apapun hidupnya pada Ayahnya! Bahkan, saya akan memberi tahu pada Zeva, jika AYAHNYA TELAH TIADA!"
Deg!
Rama menoleh sekilas dengan sorot mata tajamnya. Wajahnya menekuk, bahkan hati kecilnya merasa tidak terima dengan kalimat tajam itu.
"Kamu sudah gila?! Jelas-jelas saya masih hidup, bisa-bisanya kamu bilang tiada!" kesal Rama.
"Mas Rama memang masih hidup! Tapi hati nurani Mas Rama sudah MATI!" tekan Ayana. "Setelah ini, saya tidak ingin lagi melihat Mas Rama bersikap seolah-olah peduli pada keluarga saya! Saya tidak ingin melihat Zeva semakin sakit, mendapat harapan palsu dari Ayah kandungnya sendiri!" setelah berkata itu Ayana memalingkan wajahnya pada jendela mobil kembali.
Lagi-lagi kalimat Ayana bagaikan seribu jarum yang menusuk hatinya. Ia tak mampu menyangkalnya, sebab kenyataan yang sebenarnya memang seperti itu.
"Ayana sudah, STOP!"
Ayana tersentak. Namun ia tidak menoleh sekilas pun. Ia hanya memejamkan mata dalam-dalam sembari membekap kepala Zeva sekilas.
Melihat bagaimana cara istrinya bereaksi, Rama mencoba mengontrol emosinya kuat-kuat.
Air mata Ayana tak mampu lagi ia tahan. Ia terisak dalam diamnya, dan hanya sesegukan kecil yang keluar.
Mobil Rama kembali melaju tanpa ada percakapan lagi. Suasana kembali hening, dan masih terdengar suara isakan dari mulut Ayana.
"Paman Lama... Jangan bentak-bentak Ibu Zeva!" Bocah kecil itu menegakan badanya menampakan wajah tidak terima.
Rama menoleh sekilas bingung harus menjawab apa. Ia hanya mampu berdesis pelan, lalu bersuara cukup pelan.
"Saya tidak pernah membentak Ibumu. Ibumu saja yang cerewet!" sanggah Rama.
"Jangan jahat-jahat sama Ibu Zeva, Paman! Ibu cudah lelah cehalian ngulus Zeva. Tadi malam caja, Ibu nggak bobok kalena Zeva lewel telus!"
Rama bak tertampar dengan celotehan putranya kini. Sebagai sosok sang Ayah, tidak pernah sekalipun Rama mengusap kepala Zeva. Apalagi memberinya waktu beharga.
****
~Perusahaan Jayantaka~
Beberapa rekan bisnis Rama sudah berdatangan memasuki ruangan meting saat ini. 6 bangku yang semula kosong, kini sudah penuh dan hanya menyisakan 1 bangku kebesaran di ujung meja yang biasanya Rama singgahi.
"Jam berapa ini? Kenapa Pak Rama belum datang juga?" Pria parubaya blesteran itu membuka suara dengan wajah kesalnya.
Dan mungkin mereka jenuh, sebab sudah duduk menunggu hampir 10 menitan lamanya.
Sekertaris Rama-Nadia, yang kini duduk berhadapan dengan pria tadi, hanya mampu menenangkan sambil berkata, "Mohon sebentar lagi, Pak Erick!"
"Maaf, Bu Nadia... Tapi kami tidak punya waktu lama untuk menunggu lagi. Bukankah Anda sendiri yang bilang jika meting pukul 08.30! Tapi hampir pukul 09.00 Pak Rama belum juga datang?!" Wanita yang duduk di sebelah Nadia ikut menimpali.
Nadia langsung bangkit. Ia bersikap sopan, menunduk segan menatap satu persatu para rekannya.
"Sebentar, Bapak, Ibu! Saya coba hubungi Pak Rama dulu," kata Nadia melenggang keluar sambil mengotak atik gawainya.
Ia saat ini berada didepan ruangan meting, dan tampak gelisah menunggu panggilan dari Bosnya terjawab.
"Ini, Pak Rama kemana sih?" cemas Nadia masih terus saja mencoba menghubungi Rama kembali. "Coba aja deh aku telfon Bu Anita," katanya lagi dan langsung menekan nomor Ibu Bosnya itu.
Tut!
Tut!
Selang beberapa detik, akhirnya panggilan itu terjawab.
"Hallo, ada apa, Nadia?" tanya Bu Anita disebrang.
"Maaf, Bu, apa Pak Rama sudah berangkat ke kantor ya? Ini para investor sudah nggak nyaman banget nunggu Pak Rama datang," ucap Nadia.
Seketika Bu Anita membolakan mata tajam. Padahal, sejak pagi putranya itu sudah keluar. Namun Bu Anita tidak tahu jika Rama pergi mengantarkan Ayana ke rumah sakit.
"Loh, perasaan Rama sudah bergi sejak pukul 7 tadi, Nad! Kamu sudah coba telfon di nomor pribadinya?" Bu Anita masih mencoba meyakinkan.
"Sudah, Bu! Tapi Pak Rama bilang dia sedang ada problem mendadak, jadi agak telat datangnya. Ini saya bingung harus beralasan seperti apa." Wajah Nadia sampai mengeluarkan keringat dingin.
Sejenak, Bu Anita tampak berpikir. Namun setelah itu ia berkata kembali, "Begini saja, Nadia... Kamu suruh saja Deril untuk memulai meting terlebih dulu!"
Dan tak lama itu, Bu Anita yang masih berdiri di teras balkon, sontak saja menoleh ke arah halaman kala mendengar ada suara deru mobil yang berhenti.
Dan disana, Rama baru saja keluar, bersamaan pula dengan Ayana dari dalam.
Bu Anita berdiri kaku menatap pemandangan itu.
'Apa? Jadi, Rama rela datang telat ke metingnya, demi si Babu nggak tahu diri itu? Kurang ajar si Ayana! Aku nggak akan biarkan Rama bersimpati lebih pada Babu itu!' hati Bu Anita menjerit kuat, hingga membuat darahnya mendidih seketika.
"Ayana...."
Ayana menghentikan langkahnya.
Rama sedikit berlari mendekat, dan berhenti persis di belakang tubuh Istrinya.
"Ini obatnya ketinggalan!" Rama mengulurkan kantung plastik kecil yang berisikan obat milik Putranya.
Ayana menoleh setengah badan. Ia menatap Rama sekilas dengan wajah dinginnya, lalu segera menyambar plastik obat tadi dan langsung pergi.
Rama masih terpaku di tempat.
Sorot matanya seolah tidak ingin berpaling, meski hanya berkedip saja.
"Rama....!"
Deg!
Rama sudah tahu siapa pemilik suara itu. Ia segera membalikan badan, dan Bu Anita sudah menatap tajam kearahnya, berdiri diatas teras utama.
"Ada apa, Mah?"
Bu Anita menggeram. Wajahnya shock melihat bagaimana antusias putranya terhadap sang istri.
"Rama, kamu apa-apaan sih? Nadia baru saja menelfon gara-gara kamu telat memimpin meting, ini malah keluyuran nggak jelas sama si Babu itu!"
Hah!
Rama mendesah dalam. Ia lebih memilih masuk kedalam rumah, sambil menjatuhkan tubuhnya di atas sofa..
"Mah, lagian ya... Aku sudah bilang ke Nadia kalau aku telat! Dianya aja yang nggak becus mengganti jadwal," balas Rama sambil merebahkan badanya ke sofa.
Bu Anita beralih posisi.
Ia kini masih berdiri, namun berada didepan putranya sebrang meja. Wajahnya semakin memerah mendengar bantahan putranya itu, "Rama... Mamah nggak suka ya, kamu bersikap simpati pada keluarga Ayana! Ingat, Rama... Sebentar lagi kamu akan menikah dengan Mawar! Dan Mamah minta, setelah kamu menikahi Mawar, kamu harus bisa membuat Ayana meminta cerai darimu!"
Rama kembali menegakan badannya. Ia kini berusaha bangkit, membuang nafas beberapa kali, lalu segera melenggang pergi keluar lagi.
"Rama... Mamah belum selesai bicara!" teriak Bu Anita.
Rama tak mengindahkan. Ia terus saja berjalan menuju mobilnya dan langsung melajukan mobil pergi dari sana.
Bu Anita yang merasa kesal juga bercampur penasaran, kini langsung saja berjalan cepat menuju Paviliun untuk mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi.
*
*
Ayana baru saja selesai meminumi putranya obat.
"Bagaimana, Zeva? Pahit nggak obatnya?"
Zeva menggeleng lemah sambil melipat kedua bibirnya, "Hanya pahit sedikit taja, Ibu! Zeva tetap minum 'kan?!"
Ayana mengusap sayang kepala putranya.
"Cucu Nenek 'kan pintar, ya Zeva?!" kekeh Bu Ratih menimpali. Wanita tua itu duduk diatas kursi roda sambil memangku cucunya.
Zeva terkekeh sebab pipi gembulnya di cium gemas oleh sang nenek. Suasana Paviliun pagi itu tampak pecah dengan tawa serta obrolan ringan.
Brak!
Brak!
"Ayana... Buka pintunya!"
Deg!
Didalam, sejenak Ayana dan Bu Ratih saling tatap penuh tanya. Namun setelah itu Ayana segera bangkit, memberi isyarat pada Ibunya untuk mengajak cucunya-Zeva masuk kedalam.
Ayana segera bangkit dan langsung membukakan pintu.
Ceklek!
"Bagus! Sudah berani ya kamu sekarang, Ayana! Lancang betul hidup kamu, sampai menyuruh putra saya untuk mengantarkan kalian pergi!" Bu Anita sampai mendorong sebelah bahu Ayana, hingga menantunya itu hampir terhuyung ke belakang.
Dan untunglah Ayana berkesiap dan sadar.
Dahi Ayana berkerut merasa tidak terima di perlakukan seperti saat ini. "Maksud Ibu itu apa sih? Dateng-dateng terus nyalahin saya?" kali ini Ayana mencoba berani, tidak ingin hidupnya sebagai menantu di injak-injak terus. "Seharusnya Ibu tanyakan saja pada Putra Ibu sendiri, kenapa main mengusir taxi online yang saya pesan! Saya sejujurnya juga malas, Bu... Di antarkan oleh putra Ibu! Tapi karena keadaanya genting, jadi saya turunkan ego saya untuk mengalah!"
Wajah Bu Anita semakin memerah menahan amarah yang hampir meledak itu.
Jari telunjuknya terangkat tepat didepan wajah Ayana.
"Sudah berani kamu kepada saya, Ayana!" bentaknya hingga bergetar.
"Bu, lagian ya... Kalaupun saya di antarkan sama Mas Rama, apa salahnya? Mas Rama suami sah, saya! Saya juga berhak mendapat perhatian kecilnya-"
"Sudah, STOP! RAMA AKAN SEGERA MENIKAH DENGAN MAWAR! Dan sebentar lagi kamu akan di ceraikan oleh Rama!" tekan Bu Anita.
Dada Ayana bergemuruh, bersamaan deru nafasnya yang sudah tak teratur.
Ia terpaku bak ditawan sebilah pisau yang mengitari tubuhnya.
Terasa kaku, hingga menelan ludah saja kesulitan. Sekuat tenaga Ayana tahan air matanya meskipun kedua mantanya sudah memanas sejak tadi.