Sebuah kecelakaan tragis merenggut segalanya dari leon—kesehatan, kepercayaan diri, bahkan wanita yang dicintainya. Dulu ia adalah CEO muda paling bersinar di kotanya. Kini, ia hanya pria lumpuh yang terkurung dalam kamar, membiarkan amarah dan kesepian melumpuhkan jiwanya.
Satu demi satu perawat angkat kaki, tak sanggup menghadapi sikap Leon yang dingin, sinis, dan mudah meledak. Hingga muncullah seorang gadis muda, seorang suster baru yang lemah lembut namun penuh keteguhan hati.
Ia datang bukan hanya membawa perawatan medis, tapi juga ketulusan dan harapan.
Mampukah ia menembus dinding hati Leon yang membeku?
Atau justru akan pergi seperti yang lain, meninggalkan pria itu semakin tenggelam dalam luka dan kehilangan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ra za, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 3 Menemukan Sebuah Harapan
Pagi itu, suasana di rumah keluarga Mahesa terasa lebih sunyi dari biasanya. Gaby berdiri di depan cermin, sambil mengenakan blezer. Wajahnya terlihat sedikit lelah, tapi tatapan matanya tetap tegas. Hari ini ia harus berangkat lebih pagi ke kantor. Mau tak mau, setelah kecelakaan yang menimpa Leon, kini Gaby yang harus turun tangan langsung mengurus perusahaan.
Dengan napas berat, Gaby akhirnya melangkah keluar rumah. Ia menyempatkan diri menengok sebentar ke arah kamar Leon yang pintunya tertutup rapat. "Bertahanlah, Leon," gumamnya pelan sebelum akhirnya bergegas menuju mobil.
Sesampainya di kantor, Gaby langsung disambut oleh Rafael, asisten kepercayaan Leon. "Selamat pagi, Nyonya Gaby," sapa Rafa sopan sambil berjalan mendekat.
"Pagi, Rafa. Bagaimana persiapan rapatnya?" tanya Gaby, sambil mempercepat langkahnya menuju lift.
"Semua manajer sudah berkumpul di ruang meeting, Nyonya. Mereka menunggu kedatangan Anda," lapor Rafa cepat.
Gaby mengangguk, lalu mereka berdua masuk ke dalam lift. Begitu pintu lift tertutup, Rafa tampak ragu sejenak sebelum akhirnya membuka pembicaraan.
"Beberapa hari yang lalu saya sempat menghubungi Tuan Leon Nyonya. Ada sesuatu yang ingin saya sampaikan," ujar Rafa perlahan, menahan nada suaranya agar terdengar sopan.
Gaby menoleh, menatap Rafa dengan serius. "Leon tidak membalas teleponmu?"
Rafa menggeleng pelan. "Tidak, Nyonya. Seperti yang sudah Anda sampaikan, kondisi Tuan Leon memang belum stabil. Saya juga mendengar tentang kejadian dengan perawat yang baru."
Gabriel menghela napas panjang. "Ya, benar. Setelah kecelakaan itu, emosinya semakin tidak terkendali. Bahkan perawat yang terakhir, suster Mery, baru sehari bekerja sudah diperlakukan kasar oleh Leon. Belum lagi, Clarisa memutuskan hubungan mereka secara sepihak. Itu makin memperburuk keadaannya."
Rafa mengangguk penuh pengertian. Ia sempat ragu, namun akhirnya memberanikan diri menyampaikan apa yang menjadi kegelisahannya.
"Sebenarnya, Nyonya, selain masalah perusahaan... ada satu hal lagi yang ingin saya sampaikan."
Gaby menatap Rafael dengan penuh perhatian. "Apa itu, Rafa? Katakan saja."
Rafa tampak ragu-ragu, namun akhirnya berkata, "Beberapa malam lalu, saya tidak sengaja melihat Nona Clarisa... sedang makan malam berdua dengan Tuan davin."
Gaby langsung terbelalak mendengar ucapan itu. "Apa?!" serunya setengah berbisik. Matanya membulat tidak percaya.
Bagaimana mungkin secepat itu Clarisa sudah bersama pria lain? Terlebih lagi, Davin—pria yang kini bersama Clarisa—adalah musuh Leon.
Gaby masih ingin bertanya lebih lanjut, namun saat itu juga pintu lift terbuka, menandakan mereka sudah sampai di lantai ruang rapat.
"Kita bicarakan lagi nanti," kata Gaby cepat, sambil melangkah keluar dari lift, diikuti Rafa.
Mereka berjalan cepat menuju ruang meeting, di mana semua manajer sudah duduk rapi menunggu. Saat Gaby memasuki ruangan, semua mata tertuju padanya. Gaby berusaha mengesampingkan pikirannya tentang Clarisa dan Davin dan memfokuskan diri pada tugasnya hari ini.
Meeting pun berjalan lancar. Gaby memimpin diskusi dengan penuh ketegasan, mendengarkan satu per satu laporan dari para manajer mengenai kemunduran yang terjadi selama sebulan terakhir. Ia juga dengan cekatan mengajukan solusi dan strategi baru untuk membangkitkan kembali performa perusahaan.
Di dalam hatinya, Gaby bersyukur karena setidaknya rapat hari ini berjalan lebih baik dari yang ia bayangkan. Tapi, pikiran tentang Clarisa dan Davin masih mengganggunya... dan ia tahu, cepat atau lambat, hal itu akan membawa masalah baru bagi Leon yang sedang terluka.
---
Setelah rapat selesai, Gaby memutuskan untuk langsung menuju rumah sakit. Hari ini adalah jadwal pemeriksaan rutin Leon, sesuatu yang sudah direncanakan sejak minggu lalu. Meski lelah setelah rapat panjang, Gaby tetap bersemangat. Ia berharap ada kemajuan dalam kondisi putranya.
Namun, begitu baru saja tiba di parkiran rumah sakit, ponsel Gaby berdering. Tertera nama "Bibi Eli" di layar.
Gaby segera mengangkat telepon itu. "Halo, Bibi Eli?" sapanya.
Dari seberang, terdengar suara Bibi Eli yang terdengar cemas. "Nyonya Gaby.. maaf mengganggu. Tapi saya harus memberitahu, Tuan Leon menolak untuk datang ke rumah sakit. Dia... dia menolak keras pemeriksaan hari ini."
Gaby terdiam sejenak, hatinya terasa berat. "Tapi bukankah kita sudah sepakat bertemu di rumah sakit hari ini?" tanyanya, berusaha tetap tenang.
"Iya, Tuan. Tapi Tuan Leon benar-benar tidak mau. Dia bahkan mengunci diri di kamar dan tidak mau bicara dengan siapa pun," jawab Bibi Eli dengan suara penuh kekhawatiran.
Gaby menghela napas panjang. Ia memutuskan untuk duduk di kursi koridor rumah sakit, mencoba menenangkan pikirannya. Matanya menerawang jauh, pikirannya dipenuhi kekhawatiran dan kelelahan.
"Apa lagi yang harus aku lakukan untuk membuat Leon mau berjuang untuk dirinya sendiri?" pikir Gaby lirih dalam hati. Meskipun lelah dan hatinya nyaris putus asa, Gaby menolak menyerah. Leon adalah putranya. Dan ia bertekad akan melakukan apa pun agar Leon bisa sembuh.
Saat ia tenggelam dalam lamunannya, suara gaduh kecil dari ujung koridor menarik perhatian Gaby. Ia menoleh dan melihat seorang gadis muda berpakaian perawat sedang berusaha menyuapi seorang pasien lansia yang tampak keras kepala.
Pasien itu menggeleng keras, menolak suapan yang diberikan. Bahkan sebagian makanan sampai tercecer di lantai.
Namun, gadis itu tetap sabar. Senyum lembut tak pernah lepas dari wajahnya. Dengan sabar, ia membersihkan makanan yang tumpah, lalu kembali mencoba menyuapi pasien tersebut.
"Ayo, Pak. Sedikit saja makannya, ya? Kalau Bapak tidak makan, Bapak nggak akan cepat sembuh," ucap gadis itu dengan suara lembut, penuh kesabaran.
Si pasien tetap membuang muka, menolak makan.
Gadis itu tertawa kecil, lalu melanjutkan, "Kan Bapak sendiri yang bilang bosan terus-terusan di rumah sakit? Kalau Bapak mau cepat pulang, ya harus mau makan, lalu minum obat. Setuju, ya?"
Pasien itu mendengus kecil, namun kali ini, saat sendok kembali diarahkan ke mulutnya, ia akhirnya membuka mulut, meski dengan malas.
Gaby yang memperhatikan dari kejauhan, tanpa sadar tersenyum kecil. Ada ketulusan dan keteguhan yang terpancar dari gadis itu, sesuatu yang jarang ia lihat belakangan ini di antara perawat-perawat lain.
Saat gadis itu menoleh, mata mereka bertemu. Sang gadis melemparkan senyum hangat ke arah Gaby, dan Gabu pun membalas dengan anggukan kecil.
Di dalam hatinya, Gaby mulai membentuk sebuah pemikiran: "Andai gadis itu mau menjadi perawat untuk Leon, mungkin dia bisa membuat putraku berubah pikiran."
Sementara itu, si pasien kembali berulah, kali ini mencoba menjatuhkan sendok. Namun gadis itu dengan cekatan menangkap sendok tersebut sebelum jatuh ke lantai.
"Nah, Bapak ini... Kalau begini terus, nanti tambah lama di rumah sakit, loh!" celetuk gadis itu sambil tertawa kecil. "Bapak harus kuat, ya. Kita sepakat, habis makan langsung minum obat, terus cepat pulang! Setuju?"
Pasien itu akhirnya mengangguk pasrah, membuat gadis itu tersenyum puas.
Setelah sesi makan selesai, gadis itu membantu pasien kembali ke dalam kamar. Ia merapikan meja kecil yang berantakan, lalu berjalan keluar dari ruang rawat, tampak akan kembali ke ruang perawat.
Gaby yang sedari tadi memperhatikan, segera berdiri dan tanpa berpikir panjang, ia menyusul gadis itu.
"Aku harus bicara dengannya," pikir Gaby mantap. "Aku harus minta dia merawat Leon."
Ada harapan baru yang mulai tumbuh di hati Gaby saat ia mempercepat langkahnya, mengejar sosok perawat muda itu yang berjalan santai di depan matanya.