Dunia Yumna tiba-tiba berubah ketika sebuah video syur seorang wanita yang wajahnya mirip dengan dirinya sedang bercinta dengan pria tampan, di putar di layar lebar pada hari pernikahan.
Azriel menuduh Yumna sudah menjual dirinya kepada pria lain, lalu menjatuhkan talak beberapa saat setelah mengucapkan ijab qobul.
Terusir dari kampung halamannya, Yumna pun pergi merantau ke ibukota dan bekerja sebagai office girl di sebuah perusahaan penyiaran televisi swasta.
Suatu hari di tempat Yumna bekerja, kedatangan pegawai baru—Arundaru—yang wajahnya mirip dengan pria yang ada pada video syur bersama Yumna.
Kehidupan Yumna di tempat kerja terusik ketika Azriel juga bekerja di sana sebagai HRD baru dan ingin kembali menjalin hubungan asmara dengannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Santi Suki, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 11
Arundaru menyeringai tipis ketika layar ponselnya bergetar. Balasan dari Barata muncul singkat namun penuh nada protes. Jemarinya langsung menari di atas keyboard, membalas dengan cepat seperti seseorang yang benar-benar sedang dikejar waktu.
[Ngapain kamu nyuruh-nyuruh aku buat lacak akun. Bukannya hal beginian mudah bagi kamu]
Arundaru mendecak kecil. Mata tajamnya menyipit sambil menyandarkan punggung pada kursi plastik warung. Keramaian tempat makan itu masih terdengar suara sendok beradu, tawa para pegawai kantor, aroma kaldu soto yang mulai menguap sejak mereka selesai makan.
Dengan santai, dia mengetik balasan.
[Sorry, aku lagi sibuk. Jadi, cepat kamu periksa dan cari tahu. Kalau perlu retas daftar riwayat itu akun sudah apa saja]
Setelah mengirimnya, Arundaru mendengus puas, seolah baru menyuruh anak buah yang memang sudah pantas disuruh.
Dari seberang meja, Yumna mengusap mulut dan merapikan jilbab instannya. Suara azan magrib dari masjid dekat halte mengalun, menggema, membelah suasana petang yang mulai turun.
“Mas Arun, ini sudah magrib. Aku harus cepat pulang,” katanya, suara lembutnya membawa sedikit kesan tergesa.
Mangkuk mereka sudah kosong. Kuah soto hanya menyisakan garis tipis minyak di permukaan, dan aroma jeruk limau sudah menghilang. Yumna menatap jam tangannya, jelas ia merasa waktu mereka sudah habis.
Arundaru memiringkan kepala, tampak uring-uringan kecil. “E, padahal masih ada hal yang harus kita bicarakan,” gumamnya tidak rela, seakan kata-katanya dipotong oleh panggilan salat.
Yumna berdiri sambil memasukkan dompet kecilnya ke tas. “Kenapa buru-buru, sih?” tanya Arundaru sambil bangkit mengikuti, menatap wanita itu dari samping dengan ekspresi berat melepas.
“Aku harus mengajari cucunya ibu kost,” jawab Yumna sambil menenteng tasnya lebih erat. “Kalau aku rajin ngajari ngaji, aku enggak perlu bayar uang kost. Itu sudah perjanjian dari dulu.”
“Oh ....” Arundaru mengangguk pelan. Penjelasan itu sederhana, tetapi cukup untuk membuatnya mengerti mengapa gadis itu terlihat begitu disiplin dengan waktu.
Yumna kemudian menatapnya. “Aku pulang naik busway. Mas Arun pulang ke mana?”
“Kita satu arah.”
Tanpa menunggu jawaban lebih jauh, Arundaru menggandeng tangan Yumna ketika busway tujuan tiba di halte. Gerakan itu spontan, bahkan mengejutkan dirinya sendiri. Namun, dia tidak ada keinginan melepaskannya, seolah takut waktu akan menghilangkan kesempatan kecil itu.
Dalam hati, Arundaru merasakan suara lain berbisik, ada keengganan, ketidaksiapan untuk berpisah, seperti dirinya ingin menyimpan Yumna sedikit lebih lama di dunia sempit bernama petang.
“Aku baru tahu kalau tujuan kita sama,” ucap Yumna sambil tersenyum manis. Senyuman yang sederhana, tetapi mampu membuat dada Arundaru seperti diremas lembut.
“He-he-he, aku juga baru tahu.”
Arundaru tertawa kecil, berbohong. Dia sangat tahu alamat gadis itu. Bahkan tahu jalan pintas menuju gang tempat kosnya. Rumah Arundaru sendiri berada di arah yang berbeda, jauh dari rute busway Yumna. Tapi dia pura-pura saja, demi beberapa menit tambahan bersama perempuan ini.
‘Maafkan aku sudah berbohong, Yumna. Aku melakukan ini karena masih ingin bersama kamu walau sebentar lagi.’ Batin Arundaru mengucapkan kalimat itu lirih, hampir seperti doa yang tidak berani keluar dari bibirnya.
Bus berhenti. Lampu-lampu halte menyala redup, dan Yumna berdiri sambil memegang tasnya.
“Aku turun di sini,” kata Yumna lembut.
Arundaru mengangguk. “Hati-hati,” ucapnya singkat, tapi ada ketegangan di nada suaranya. Matanya mengikuti langkah Yumna, cepat, ringan, tapi jelas bergegas. Ia melihat perempuan itu masuk ke dalam gang kecil, menuju deretan pintu-pintu kosan Oma Sri, sekitar dua puluh pintu yang saling berhadapan. Suasana gang tampak temaram, namun Yumna berjalan tanpa ragu.
Barulah ketika Yumna lenyap di balik tikungan kecil, Arundaru menghela napas panjang dan turun di terminal berikutnya.
Begitu menginjak trotoar, dia langsung menghubungi Barata.
Tak lama, mobil Barata berhenti dengan suara rem jengkel. Begitu Arundaru masuk ke dalamnya, Barata langsung melempar tatapan sebal.
“Heh, aku ini bukan babu atau asisten kamu!” semprot Barata, membenturkan bahunya ke kursi seolah ingin menegaskan protesnya.
“Siapa yang bilang kamu babu aku? Kurang ajar sekali!” balas Arundaru sambil menyeringai penuh provokasi.
“Dasar!” Barata mendelik sambil menggerakkan setir dengan agresif kecil.
Arundaru menyilangkan tangan sambil menatap sahabat sekaligus sepupunya itu. “Gimana? Apa kamu sudah mendapatkan apa yang aku minta tadi?”
Barata melirik dari sudut mata. Sorotnya menunjukkan bahwa dia kesal, tapi tugas tetap tugas.
Keheningan sejenak menyelimuti mobil yang melaju pelan di jalan yang mulai padat saat jam pulang kerja. Lampu-lampu toko menyala, membasuh kaca depan dengan warna kuning keemasan. Arundaru menunggu jawaban dengan sabar, meski hatinya penuh ketegangan.
Barata menghentikan mobil di pinggir jalan yang cukup remang, hanya diterangi lampu jalan yang temaram. Arundaru langsung menjatuhkan tubuhnya ke sandaran kursi, seperti orang yang menunggu kabar paling penting dalam hidupnya.
Barata melirik kesal namun tetap membuka ponselnya. “Aku sudah dapat beberapa hal,” ujarnya sambil menggeser layar, seolah menahan diri untuk tidak menertawakan betapa terburu-burunya Arundaru tadi.
Arundaru mencondongkan tubuh. “Cepat bilang, Bara. Jangan bikin aku deg–”
“Sabar, calon detektif gagal,” Barata menepuk kepala sepupunya itu. “Jadi begini…”
Barata mengatur nada suaranya, menjadi lebih serius. Ponselnya diputar agar Arundaru bisa melihat beberapa tangkapan layar.
“Ini, riwayat login salah satu akun media sosial Zakia. Aku sudah cek lewat jejak IP. Ada beberapa kejanggalan.”
Arundaru memicingkan mata. “Kejanggalan apa?”
“Pertama,” Barata menunjuk layar, “akun itu aktif malam sebelum video kamu dan Yumna tersebar. Bukan sesuatu yang spesial sebenarnya, tapi lihat jamnya.”
Arundaru membelalak. “Jam tiga pagi?”
“Ya. Dan biasanya dia nggak pernah aktif jam segitu. Ada pola waktunya dan ini berbeda jauh.”
Arundaru terdiam, napasnya mengeras. “Oke, lanjut.”
“Kedua,” Barata menggeser lagi, memperlihatkan jejak perangkat. “Ada perangkat baru yang login. Bukan HP dia. Bukan laptopnya juga. Sesuatu yang beda.”
“Perangkat pinjaman, atau dia pakai punya orang lain?”
“Bisa jadi. Atau ....” Barata menatap Arundaru dengan makna yang menggantung, “bisa jadi ada orang lain yang pakai akunnya tanpa dia tahu.”
Arundaru memijit dagunya, kepala terasa penuh. “Kalau begitu bukan cuma soal dia benci atau tidak suka Yumna. Ada pihak ketiga lagi?”
“Tidak tahu,” jawab Barata jujur. “Tapi aku merasa ada sesuatu yang jauh lebih besar dari sekadar iri hati.”
Arundaru mengembuskan napas panjang, bahunya turun perlahan. “Aku makin nggak suka suasananya.”
“Yang pasti,” lanjut Barata, “riwayat aktivitasnya aneh. Dia buka folder gambar pribadi, terus hapus-hapus sesuatu. Ada jejaknya.”
Arundaru langsung menoleh tajam. “Hapus apa?”
Barata mengangkat bahu. “Belum tahu. Tapi aku bisa coba pulihkan file yang dihapus itu. Paling butuh satu atau dua hari.”
“Bagus.” Arundaru menepuk pahanya, meskipun matanya menerawang jauh. “Aku ingin bukti, Bara. Kalau memang benar dia atau kalau bukan dia, siapa pun orang itu, aku ingin tahu.”
Barata menyingkirkan ponsel dan menyandarkan elbow di jendela. “Kamu serius banget sama Yumna, ya?”
Arundaru terkesiap kecil. Tatapannya yang sebelumnya tajam tiba-tiba melunak.
“Aku cuma ....” Ia menelan ludah. “Aku cuma nggak mau dia disakiti lagi.”
Barata mendengus geli. “Ohh begituuuu ...,” godanya sambil menyikut lengan Arundaru. “Padahal tadi sepanjang jalan kamu curiga-curiga ke banyak orang. Eh, giliran ngomong Yumna, wajahmu langsung kayak orang jatuh cinta pertama kali.”
Arundaru memukul pelan pundak Barata. “Jangan ngomong sembarangan.”
“Yaaah, orang jatuh cinta memang suka menyangkal,” Barata makin menggoda. “Tadi kamu sampai pura-pura satu arah busway demi jalan bareng dia lebih lama. Kalau bukan cinta, apa itu namanya?”
“Bukan—itu cuma—”
“Cinta.”
“Barata!”
Barata tergelak puas melihat wajah sepupunya yang merona halus. Jarang sekali ia melihat Arundaru, pemilik tampang sangar yang sering bikin orang takut, jadi gugup begini.
Lalu Barata kembali bersandar, mengusap wajahnya. “Ya sudah. Yang penting, aku lanjut cari data lain. Urusan kamu sama Yumna itu urusan lain.”
Arundaru memejamkan mata sebentar. “Terima kasih, Bara.”
“Oke, oke. Sejak kapan kamu sopan begini? Aneh.”
“Dasar berisik.”
“Hahaha.”
Barata menyalakan mobil, bersiap melanjutkan perjalanan menuju rumahnya. Sementara Arundaru menatap keluar jendela, melihat lampu-lampu kota berlari mundur bersama jalanan. Ada perasaan hangat yang tidak bisa ia jelaskan. Juga rasa takut kenyataan yang akan ditemukan nanti jauh lebih kejam. Namun, satu hal pasti, dia ingin melindungi Yumna, apa pun yang terjadi.
Mobil melaju, malam Jakarta menyambut dengan kerlap-kerlip lampu yang tampak jauh lebih sunyi daripada biasanya.
“Kita teruskan penyelidikannya besok lagi,” ujar Barata. “Aku bakal kabarin kalau ada perkembangan.”
Arundaru mengangguk pelan. “Iya. Besok, jangan sampai lupa.”
Dalam hati Arundaru, tahu ini akan menjadi permulaan.
Modus mas Arun moduusss 😂😂😂
semoga keluarga Arun bisa menerima Yumna