Di hari pernikahannya, Farhan Bashir Akhtar dipermalukan oleh calon istrinya yang kabur tanpa penjelasan. Sejak saat itu, Farhan menutup rapat pintu hatinya dan menganggap cinta sebagai luka yang menyakitkan. Ia tumbuh menjadi CEO arogan yang dingin pada setiap perempuan.
Hingga sang ayah menjodohkannya dengan Kinara Hasya Dzafina—gadis sederhana yang tumbuh dalam lingkungan pesantren. Pertemuan mereka bagai dua dunia yang bertolak belakang. Farhan menolak terikat pada cinta, sementara Kinara hanya ingin menjadi istri yang baik untuknya.
Dalam pernikahan tanpa rasa cinta itu, mampukah Kinara mencairkan hati sang CEO yang membeku? Atau justru keduanya akan tenggelam dalam luka masa lalu yang belum terobati?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sylvia Rosyta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Prolog
Malam itu terasa begitu mencekam. Awan gelap bergulung di langit, menghalangi setiap cahaya bulan dan bintang yang mencoba untuk menembusnya. Angin berhembus kasar, menggugurkan daun dan menggerakkan dahan-dahan pohon dengan liar. Seolah alam ikut murka, ikut menertawakan takdir pahit seorang lelaki yang hatinya baru saja dihancurkan.
Di taman belakang rumah orang tuanya, Farhan Bashir Akhtar berdiri mematung. Setelan pengantin yang masih melekat di tubuhnya kini hanya menjadi simbol kehinaan. Adilla, wanita yang seharusnya menjadi istrinya, menghilang tepat sebelum akad. Meninggalkannya dengan pertanyaan dan rasa malu yang tak terhingga.
Bisik-bisik tamu, tatapan sinis relasi bisnis, dan wajah kecewa kedua orang tuanya terus berputar di kepala Farhan. Semua yang terjadi hari ini terasa seperti penghinaan terbesar dalam hidupnya.
Farhan menatap langit yang kacau, berharap ada jawaban jatuh bersama angin. Tapi yang datang justru rasa sakit yang menyeruak hingga ke dadanya.
“ADILA!!!” teriak Farhan yang suaranya pecah dan penuh luka. Nafasnya terhenti-henti saat ia menunduk sementara kedua tangannya mengepal kuat.
“Kenapa, kenapa kau tega melakukan ini padaku, Adilla? Apa salahku hingga kau harus meninggalkanku dan mempermalukan ku dengan cara seperti ini?”
Air mata yang Farhan tahan akhirnya jatuh tanpa bisa dibendung. Ia mencintai Adilla dengan tulus, memberikan segalanya tanpa ragu. Namun balasannya? Ia justru mendapat penghinaan di hari yang seharusnya menjadi paling bahagia dalam hidupnya.
Cukup lama Farhan membiarkan dirinya hancur. Hingga saat air matanya mengering, tatapannya berubah kosong, dingin dan tak lagi sama.
“Rasa sakit ini akan selalu aku ingat,” bisiknya pelan, namun mengerikan. “Mulai sekarang, tidak ada lagi kata cinta, tidak ada perempuan yang berhak menyentuh hidupku lagi.”
Malam itu, Farhan mengubur sisi lembut dirinya. Ia memilih menjadi seseorang yang tidak bisa lagi disakiti.
Dan ia menepati janji itu.
Dalam waktu singkat, Farhan berubah menjadi CEO muda yang diperhitungkan dunia. Sukses, kaya dan tak mudah tersentuh dengan yang namanya perasaan. Namun semakin tinggi ia melangkah, semakin jelas kesepian yang ia abaikan. Kedua orang tuanya hanya bisa menatap putra mereka yang kini membangun tembok setinggi langit dan menolak setiap wanita yang mencoba mendekatinya.
Mereka takut, jika Farhan terus seperti ini, suatu saat ia akan benar-benar kehilangan hatinya sebagai seorang manusia dan selamanya hidup menyendiri. Kedua orang tua Farhan tidak mau kalau putra mereka hidup tanpa memiliki hati.
Malam ini, Farhan kembali pulang larut malam setelah seharian bekerja di perusahaannya, Akhtar Global corporation, perusahaan milik keluarganya yang bergerak di bidang properti dan real estate. Langkah kaki Farhan terdengar berat saat ia memasuki rumah megah keluarga Akhtar. Setelan jas hitam yang masih melekat pada tubuhnya tampak sedikit kusut, dan dasi yang melonggar di lehernya menjadi saksi kesibukan yang tak pernah Farhan tinggalkan.
Lampu-lampu kristal di ruang utama masih menyala terang. Rumah sebesar ini seolah tidak pernah benar-benar tidur. Namun meski kemewahan mengelilinginya, rasa dingin dan kesepian justru menyelimuti dinding-dindingnya. Farhan membuka kancing kerahnya sambil menghela napas panjang, ia hanya ingin segera naik ke kamar dan mengistirahatkan dirinya dari dunia yang menguras tenaganya.
Namun baru beberapa langkah saat Farhan menapaki anak tangga, suara berat yang sangat ia kenal menghentikan langkahnya.
“Farhan.”
Farhan memejamkan matanya sebentar. Suara itu bukan suara yang bisa ia tolak atau abaikan. Perlahan ia menoleh ke belakang dan di sanalah Farhan melihat ayahnya berdiri.
Pak Ardhan Rasyid Akhtar. Pria berusia akhir lima puluhan itu masih terlihat gagah dan berkarisma, dengan postur tubuh tegap yang menunjukkan kedisiplinan yang terbentuk selama puluhan tahun saat memimpin perusahaan keluarganya.
"Ada yang ingin ayah omongin sama kamu." Ucap pak Ardhan sembari memberi isyarat dengan kepalanya agar anaknya itu mau mengikutinya. Ekspresinya sulit ditebak, namun ada sesuatu yang jelas terlihat dari sorot matanya, sebuah kekhawatiran.
“Ayah, aku lelah. Bisakah ayah mengatakan apa yang ayah ingin omongin itu besok pagi saja?” pinta Farhan sembari menghela napas berat.
"Kalau ayah bilang sekarang ya sekarang, cepat turun dan ikut ayah sebentar."
Mau tidak mau Farhan melangkah menuruni tangga, mengikuti ayahnya menuju ruang kerja yang berada di sisi timur lantai bawah rumah itu. Pintu kayu besar berwarna gelap terbuka dan memperlihatkan ruangan yang seolah mencerminkan siapa pemiliknya.
Ruangan itu terlihat luas dengan dinding-dinding yang dipenuhi rak buku. Sebuah meja kayu mahoni besar berdiri di tengah ruangan, dilapisi permukaan kaca dengan lampu meja bercahaya hangat di atasnya. Sementara karpet Persia mewah terhampar di tengah-tengah yang memberikan kesan klasik dan berkelas.
Di sisi ruangan terdapat jendela besar setinggi langit-langit yang menampilkan pemandangan luar di malam hari. Ayah Farhan berjalan pelan menuju jendela itu, berdiri tegak dengan kedua tangan di balik punggungnya. Ia tidak langsung berbicara. Ia tengah memikirkan kata-kata yang tepat agar tidak melukai anaknya lebih jauh.
Farhan berdiri beberapa langkah di belakangnya. Diam dan menunggu. Meski mata dan tubuhnya terlihat lelah, ia tahu ayahnya tidak akan memanggilnya jika hanya ingin membahas hal sepele. Namun perbincangan apapun mengenai cinta atau hubungan, ia paling benci itu.
Angin malam dari celah jendela yang sedikit terbuka meniup tirai perlahan dan menambahkan suasana tegang yang sulit diabaikan. Setelah cukup lama berpikir, pak Ardhan akhirnya berbicara. Suaranya rendah namun terdengar jelas.
"Mau sampai kapan kau akan hidup seperti ini, Farhan? Ini sudah dua tahun dan ayah tidak mau melihat kamu hidup seperti ini." Ucap pak Ardhan yang membuat Farhan mengerutkan keningnya sedikit.
"Apa maksud ayah?"
Pak Ardhan tidak langsung berbalik. Matanya masih tertuju pada pemandangan di luar yang gelap, dingin namun tanpa kehangatan.
“Mau sampai kapan kau akan terus menyiksa dirimu sendiri seperti ini, nak?”
Farhan memalingkan wajahnya, seolah mencoba menyembunyikan kejengkelannya terhadap pertanyaan ayahnya.
“Aku tidak menyiksa diri, Ayah. Aku melakukan yang terbaik untuk perusahaan.” jawab Farhan yang membuat Pak Ardhan menghela napas berat.
“Tidak menyiksa diri kau bilang? Farhan, coba kau lihat dirimu sebentar nak. Kau bekerja seperti orang yang sedang berlari dikejar waktu. Berangkat sebelum matahari terbit dan pulang larut malam. Kau tidak memberi dirimu kesempatan untuk beristirahat dan menikmati kehidupan mu sendiri.”
Pak Ardhan kemudian berbalik. Sorot tajam namun perhatian tetap terpancar dari matanya saat ia tengah berbicara dengan putranya.
“Kau menolak setiap wanita yang mencoba mendekatimu, Farhan. Kau menutup pintu hatimu dan tidak membiarkan siapapun masuk.”
Farhan menatap ayahnya tanpa ekspresi.
“Aku tidak butuh wanita untuk bahagia, ayah. Aku bisa hidup tanpa mereka.”
Untuk mencapainya, Allah subhanahu wata'ala telah memberi pedoman dalam Al-Qur'an, dan Rasulullah SAW telah menjadi tauladan untuk meraih keluarga yang sakinah mawaddah wa rahmah.
Bahwasannya keluarga yang sakinah, mawaddah wa rahmah berarti menciptakan rumah tangga yang tenang (sakinah), penuh cinta (mawaddah), dan kasih sayang (warahmah) dengan landasan kuat pada keimanan dan ketaqwaan,
dapat tercapai jika suami istri saling memenuhi peran dan tanggung jawab dengan sebaik-baiknya...😊
Aku ikut terharu membaca Bab22 ini, hati jadi ikut bergetar...👍/Whimper//Cry/